13 Apr 2016 14:59:09 | by Admin
| 19684 views | 46 comments
|
4.8/5 Stars dari 2 voter
Modernisasi militer Indonesia sampai saat ini terus digalakkan pemerintah dengan mengganti alutsista TNI yang lama dan juga menambah jumlah dan kualitas alutsista TNI. Salah satunya yang cukup mendapat perhatian luas belakangan ini adalah pengganti pesawat tempur F-5 E/F Tiger II TNI AU dengan pesawat tempur baru. Walaupun pengganti F-5 tampaknya akan segera diumumkan, proses modernisasi alutsista TNI khususnya pesawat tempur, masih akan berjalan hingga beberapa tahun kedepan. Ada kemungkinan proses modernisasi selanjutnya adalah pengadaan skuadron pesawat tempur baru, atau pengadaan skuadron pesawat tempur khusus untuk Kohanudnas atau mungkin juga pengganti pesawat tempur Hawk-109.
Nah kali ini kita akan membahas pesawat tempur terbaik yang paling bagus untuk dibeli oleh Indonesia untuk kebutuhan diatas. Dalam pembahasan ini, penulis mengajak semua pembaca untuk melupakan proses penggantian pesawat tempur F-5 TNI AU, karena tulisan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan itu. Namun sebelumnya ada baiknya kita pelajari lebih dahulu kondisi angkatan udara Indonesia dan juga komposisi pesawat tempur Indonesia saat ini. Militer Indonesia saat ini mengoperasikan 2 skuadron pesawat tempur serang Hawk-109/209, 2 Skuadron F-16 Block 15/Block 25 Upgrade, 1 skuadron pesawat tempur latih T-50i Golden Eagle dan 1 skuadron pesawat tempur kelas berat Su-27/30.
Mengingat F-5 E/F TNI AU kemungkinan besar akan digantikan oleh pesawat tempur Sukhoi SU-35S buatan Rusia, maka kemungkinan militer Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan mengoperasikan 2 skuadron pesawat tempur kelas berat (1 skuadron Su-27/30 dan 1 skuadron Su-35S). Sedangkan untuk pesawat tempur kelas medium, Indonesia juga memiliki 2 skuadron pesawat tempur F-16 buatan Amerika. Pesawat tempur Hawk-109/209 tidak kita masukkan dalam hitungan karena pesawat tempur ini kemungkinan akan diganti dan tulisan ini juga membahas penggantinya.
Dengan melihat komposisi diatas, dimana Indonesia mengoperasikan 2 skuadron pesawat tempur kelas berat dan 2 skuadron pesawat tempur kelas medium, maka kecil kemungkinan pengadaan pesawat tempur Indonesia selanjutnya berasal dari pesawat tempur kelas berat. Mengingat biaya operasional kelas berat yang besar, dan maka kemungkinan pengadaan pesawat tempur Indonesia selanjutnya adalah dari pesawat tempur medium seperti F-16 C/D Block 52, SAAB Gripen C/D, SAAB Gripen E/F, dan F-16V Viper. Hal ini karena pesawat tempur kelas medium ini akan relative lebih murah untuk dioperasikan. Namun selain penekanan pada biaya operasional yang murah, tentunya pesawat tempur ini diharapkan memiliki jarak operasional yang memadai untuk melindungi seluruh wilayah Indonesia yang luas.
Nah dengan melihat hal ini, maka kali ini kita akan membahas perbadingan secara umum pesawat tempur diatas satu per satu. Tulisan ini akan dibuat dalam bentuk seri yang akan membandingkan satu kandidat dengan kandidat lainnya. Dan dalam tulisan seri pertama ini, penulis akan membahas perbandingan pesawat tempur SAAB Gripen C buatan Swedia melawan F-16 C/D Block 52 buatan Amerika.
Sekilas tentang Pesawat Tempur SAAB Gripen C dan F-16 C/D Block 52
Kedua pesawat tempur ini merupakan pesawat tempur generasi 4 yang cukup canggih dan sudah banyak digunakan dibanyak Negara. Pesawat tempur SAAB Gripen C sendiri adalah pesawat tempur kelas ringan/medium buatan Swedia yang dikembangkan dari pesawat tempur JAS39 Gripen A/B. Pesawat tempur ini sudah digunakan oleh Swedia, Hungaria, Thailand, Ceko dan Afrika Selatan.
Di lain sisi, pesawat tempur F-16 C/D Block 52 merupakan pesawat tempur buatan Lockheed Martin Amerika yang sudah malang melintang dalan berbagai konflik di dunia. Pesawat tempur ini sendiri merupakan salah satu pesawat tempur yang diproduksi paling banyak hingga saat ini. Di ASEAN sendiri, Singapura tercatat sebagai tetangga Indonesia yang mengoperasikan pesawat tempur canggih ini. Sedangkan militer Indonesia sendiri sudah mulai mengoperasikan 23 unit pesawat tempur F-16 C/D Block 25 yang di upgrade mendekati kemampuan F-16 C/D Block 52.
Pesawat tempur F-16 C/D Block 52 milik Pakistan. Source : www.avionale.com
Dari segi harga akuisisi pesawat tempur ini, tampaknya kedua kandidat memiliki harga yang relative tidak jauh berbeda. Harga pembelian akan bergantung pada paket yang termasuk dalam pembelian pesawat. Namun sebagai perbandingan, Pakistan beberapa waktu lalu mengumumkan pembelian 8 unit pesawat tempur F-16 C/D Block 52 dengan nilai $699 Juta. Jika dihitung-hitung harga unit pembelian ini sekitar $80an Juta/unit. Harga pesawat tempur Gripen C/D juga diperkirakan tidak akan berbeda jauh dari nilai itu, namun akan sangat bergantung kepada paket dalam pembelian. Sayangnya pesawat tempur Gripen C/D terakhir yang terjual adalah untuk Thailand pada tahun 2011 yang lalu, sehingga susah untuk dibandingkan dengan harga pembelian F-16 C/D Block 52 Pakistan baru-baru ini.
Perbandingan Biaya Operasional Pesawat Tempur Gripen C Vs F-16 C/D Block 52
Selain biaya akuisisi, yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah biaya operasional pesawat tempur tersebut. Bahkan jika dihitung dalam jangka panjang, biaya operasional pesawat tempur selama 30 tahun kedepan akan jauh lebih besar dari pada biaya akuisisi pesawat tempur diawal. Nah berbicara mengenai biaya operasional, kedua pesawat tempur ini sudah mendapat pengakuan sebagai pesawat tempur yang mumpuni namun memiliki biaya operasional yang relative rendah.
SAAB sebagai produsen pesawat tempur Gripen C/D bahkan sering sekali menegaskan bahwa biaya operasional Gripen jauh lebih murah dari pesawat tempur lain termasuk F-16 C/D Block 52. SAAB selalu merujuk kepada riset IHS Janes yang memberikan angka biaya operasional US$4700/jam untuk Gripen C/D. Namun tentu saja angka tersebut hanyalah angka yang digunakan dalam marketing dan dalam upaya menarik perhatian Negara calon pembeli Gripen C/D.
Biaya operasional pesawat tempur Gripen C/D untuk Angkatan Udara Swedia sendiri disebutkan beberapa sumber mencapai US$6000 – US$7000/jam. Angka tersebut lebih besar dari pada angka studi HIS Janes yang sering digunakan oleh tim marketing SAAB dalam menjual pesawat tempur ini. Studi IHS Janes yang menghasilkan angka biaya operasional US$4700/jam untuk Gripen C/D sendiri pun sebenarnya bukan sebuah studi yang benar-benar independen, karena studi itu sendiri dilakukan atas permintaan SAAB.
Afrika Selatan yang juga sudah mengoperasikan sebanyak 26 unit pesawat tempur Gripen C/D sejak satu decade terakhir juga merasakan bahwa biaya operasional Gripen C/D tidaklah semurah US$4700/jam seperti yang sering disebutkan tim marketing SAAB. Pejabat angkatan udara Afrika Selatan pada tahun 2013 yang lalu menyebutkan bahwa pesawat tempur tersebut membutuhkan biaya operasional sekitar US$9.000/jam. Hal ini dipengaruhi oleh system perawatan yang tidak baik di tubuh AU Afrika Selatan sendiri.
Pesawat tempur SAAB Gripen C Republik Ceko. Source : Wikipedia.org
Perbedaan angka biaya operasional per jam Gripen Swedia yang hanya sekitar US$6000an dengan Gripen Afrika selatan yang mencapai US$9000an adalah hal yang wajar. Hal ini mengingat bahwa Swedia adalah produsen pesawat tempur ini sehingga secara suplay logistic dan sparepart akan lebih murah dan mudah. Selain itu, Swedia sudah lebih lama dan mengoperasikan pesawat tempur Gripen yang jauh lebih banyak. Namun tentu saja dibandingkan dengan pesawat tempur kelas berat seperti F/A-18 E/F Super Hornet, EF Typhoon, Dassault Rafale, Su-35S dan Su-30MK2, biaya operasional pesawat tempur Gripen C/D ini akan jauh lebih murah.
Disisi lain pesawat tempur F-16 C/D Block 52 juga sudah dikenal sebagai pesawat tempur modern dengan biaya operasional yang relative murah. Namun sampai saat ini sangat sulit mencari angka biaya operasional per jam untuk varian pesawat tempur ini. Hal ini karena masing-masing Negara operator memiliki patokan sendiri-sendiri dalam menentukan perhitungan ini, dan jarang dibuka ke public. Angka paling jelas terlihat adalah dari studi IHS Janes yang sama, dimana datanya diambil dari skuadron pesawat tempur F-16 C/D Block 50 Amerika, dimana nilainya adalah sekitar US$7000/jam. Namun mengingat Amerika mengoperasikan pesawat tempur ini dalam jumlah yang banyak, maka Negara yang mengoperasikan dalam jumlah yang jauh lebih sedikit kemungkinan akan lebih mahal dari angka tersebut.
Penulis sendiri memprediksi (meski sulit) jika Indonesia membeli pesawat tempur F-16 C/D Block 52 ini, biaya operasionalnya akan mencapai tidak akan kurang dari US$8000 – US$10.000/jam nya. Sedangkan pesawat tempur Gripen C/D menurut prediksi US$7000-US$9000/jam. Penulis memandang pesawat tempur biaya operasional per jam pesawat tempur F-16 C/D Block 52 akan sedikit lebih mahal dari pada pesawat tempur Gripen C/D, namun perbedaannya tidak terlalu siknifikan. Hal ini sangat wajar mengingat pesawat tempur F-16 C/D Block 52 memiliki dimensi fisik yang sedikit lebih besar dari pesawat tempur Gripen C/D, serta juga memiliki daya angkut senjata yang lebih besar.
Disamping itu kedua tipe pesawat tempur ini dikabarkan relative mudah dalam perawatannya dibandingkan dengan pesawat tempur kelas berat. Pesawat tempur Gripen C/D dikabarkan dapat beroperasional dari jalan raya yang tidak terlalu panjang. Tidak jauh berbeda pesawat tempur F-16 C/D Block 52 juga memiliki kemampuan ini, dimana sudah dibuktikan oleh Angkatan Udara Singapura beberapa waktu yang lalu.
[Baca Juga : Pesawat Tempur Gripen E/F Sebagai Pengganti F-5 TNI AU]
Beberapa sumber menyebutkan bahwa perawatan pesawat tempur Gripen C/D juga sangat mudah, salah satunya adalah proses penggantian mesin pesawat tempur ini bisa dilakukan dengan cukup cepat dan tidak memerlukan banyak tenaga teknisi. Dilain sisi, militer Indonesia sendiri sudah pernah membuktikan bisa melakukan proses penggantian mesin pesawat tempur F-16 di pangkalan aju dengan waktu yang relative cepat dan juga dengan teknisi yang tidak banyak. Memang ketika itu pesawat tempur yang diganti mesinnya bukanlah pesawat tempur F-16 C/D Block 52 yang sedang kita bicarakan tetapi F-16 A/B Block 15 OCU. Namun pengalaman tersebut membuktikan keluarga pesawat tempur F-16 juga cukup mudah dalam pemeliharaannya meski jauh dari pangkalan induk sekalipun.
Untuk permasalah biaya operasional dan perawatan ini, kedua pesawat tempur ini tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti. Namun pesawat tempur F-16 C Block 52 yang sudah diproduksi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari pada pesawat tempur Gripen C. dan juga dioperasikan oleh lebih banyak Negara. Hal ini akan menjamin perawatan, sparepart dan juga upgrade yang lebih terjamin.
Perbandingan Spesifikasi Pesawat Tempur Gripen C dengan F-16 C/D Block 52
Berbicara mengenai spesifikasi teknis pesawat tempur tentu saja bukanlah sebuah perkara yang mudah karena kita harus mempelajari banyak factor dan aspek. Tidak hanya itu sebenarnya relative sulit mendapatkan data spesifikasi teknis pesawat tempur yang sangat akurat. Apa yang kita bisa lakukan adalah dengan mempelajari spesifikasi teknis yang tersedia secara public untuk mendapatkan gambaran secara garis besarnya. Sehingga apa yang kita bahas kali ini belum tentu benar benar akurat, namun sudah cukup memberikan gambaran.
Data yang penulis himpun dari berbagai sumber, terlihat bahwa spesifikasi teknis kedua pesawat tempur ini tidak jauh berbeda. Namun pesawat tempur F-16 C Block 52 relatif memiliki berat kosong, internal fuel, payload dan thust mesin yang lebih besar. Berikut ini adalah data teknis perbandingan kedua pesawat tempur ini :
Perbandingan spesifikasi Pesawat tempur SAAB Gripen C dengan F-16 C Block 52
Untuk combat range, jarak tempuh terjauh dalam menjalankan misi pertempuran, kedua pesawat tempur memiliki combat range yang relative sama. Pesawat tempur SAAB Gripen C dalam misi Air to Air dengan misi profil Hi-Hi-Hi dengan membawa 1 tanki external berserta 2 AIM-120C AMRAAM dan 2 AIM-9 Sidewinder menurut beberapa sumber mampu menempuh jarak tempur 1600 Km. Disisi lain pesawat tempur F-16 C Block 52, dengan misi dan flight profil yang sama serta membawa 1 extenal tank dan 2 AIM-120C AMRAAM dan AIM-9 Sidewinder juga mampu menempuh jarak tempur yang relative sama yaitu 1600 Km.
Untuk misi CAP (Combat Air Patrol), yaitu misi patroli menjaga wilayah udara, kedua pesawat tempur ini juga menunjukkan jarak tempuh yang tidak jauh berbeda demikian juga dengan lama waktu pesawat tempur bisa berpatroli menjaga keamanan udara di wilayah operasinya. Pesawat tempur SAAB Gripen C dalam misi CAP dengan membawa 1 extenal tank, 2 AIM-120C dan 2 AIM-9 Sidewider mampu menjalankan misi CAP sejauh 380 Km dari pangkalan dan mampu melaksanakan patrol udara disekitar wilayah tersebut selama 2 jam sebelum akhirnya harus kembali ke pangkalan.
[Baca Juga : Alutsista : Mengenal Pesawat Tempur F-16 Block 52ID TNI AU]
Pesawat tempur F-16 C Block 52 dengan misi yang sama dan membawa senjata dan external tanki yang sama jumlahnya, mampu melaksanakan misi CAP sejauh 375 Km dari pangkalan dan mampu melakukan patrol udara disekitar lokasi tersebut selama 2 Jam 20 menit sebelum akhirnya harus kembali ke pangkalan. Terlihat kemampuan kedua pesawat tempur dalam menjalankan misi CAP tidak berbeda jauh. Untuk masalah combat range, kedua pesawat tempur ini dapat kita simpulkan tidak ada yang lebih unggul dari yang lainnya.
Faktor lain yang cukup penting adalah factor Payload, jumlah beban berupa senjata dan external tank yang mampu dibawa pesawat tempur dalam menjalankan satu misi. Dari data diatas dapat kita lihat bahwa pesawat tempur F-16 C Block 52 memiliki kemampuan angkut senjata yang lebih besar dari pesawat tempur SAAB Gripen C. Pesawat tempur F-16 C Block 52 mampu membawa senjata dan external tanki hingga 7.700 Kg dalam satu misi, sedangkan pesawat tempur Gripen C hanya mampu memnggotong senjata dan extenal tank seberat 5.300 Kg. Untuk urusan payload ini, jelas dimenangkan oleh pesawat tempur F-16 C Block 52 ini.
Perbandingan Thrust to Weight Ration (T/W) Pesawat Tempur SAAB Gripen C Vs F-16 C Block 52
Faktor lain yang akan kita bicarakan sekarang adalah Thrust to Weight ratio (T/W) yang merupakan perbandingan daya dorong mesin dengan berat pesawat tempur itu sendiri. Semakin besar nilai T/W maka bisa dipastikan pesawat tempur itu lebih lincah dibandingkan pesawat tempur lain yang memiliki nilai T/W yang lebih kecil. Faktor T/W ini akan sangat menentukan dalam pertempuran udara antar pesawat tempur khususnya dalam pertempuran jarak dekat atau Within Visual range (WVR).
Untuk melihat perbandingan T/W pesawat tempur F-16 C Block 52 dengan SAAB Gripen C ini, penulis membuat sebuah simulasi dimana kedua pesawat tempur diibaratkan menjalankan misi yang sama yaitu misi air superiority dengan hanya membawa 2 rudal AIM-120C AMRAAM dan 2 rudal AIM-9 Sidewinder tanpa external tank. Dari beberapa sumber yang penulis kumpulkan, rudal AIM-120C AMRAAM memiliki berat 152 Kg dan AIM-9 Sidewinder seberat 85 Kg. Jadi untuk senjata yang terdiri dari 2 AIM-120C dan 2 AIM-9 Sidewinder, kedua pesawat tempur ini akan menggotong total berat senjata 474 Kg.
Selain berat senjata yang digotong, maka total berat pesawat tempur keseluruhan juga akan kita lihat berat kosong pesawat tempur serta jumlah berat internal fuel yang bisa dibawa oleh pesawat tempur. Dari data spesifikasi teknis pesawat di table diatas terlihat bawah berat kosong F-16 C Block 52 adalah 8.600 Kg dengan internal fuel seberat 3.100 Kg dan ditambah berat senjata 474 Kg. Maka untuk simulasi ini berat total pesawat tempur F-16 C Block 52 ini adalah 12.179 Kg
Sedangkan untuk daya dorong mesin F110-PW-229 di F-16 C Block 52 memiliki dry thrust sebesar 75.616 N dan wet thurst (afterburner) sebesar 126.596 N. Untuk mengitung T/W ini kita akan menggunakan nilai wet thrust (afterburner) diatas. Dengan dalam perhitungan sederhana, penulis memperoleh nilai T/W sebesar 1.06. Perhitungannya seperti gambar dibawah ini :
Perhitungan Thrust to Weight ratio (TWR) Pesawat tempur F-16 C Block 52
Sedangkan untuk pesawat tempur SAAB Gripen C yang memiliki berat kosong 6.800 Kg dan internal fuel seberat 2.400 Kg, ditambah senjata yang sama seberat 474 Kg, maka berat total pesawat tempur ini dalam simulasi ini adalah 9.674 Kg. Sedangkan mesin RM-12 yang menjadi tenaga pendorong di pesawat tempur ini memiliki dry thust sebesar 54.000 N dan wet thrust (afterburner) 80.500 N. Maka dengan metode perhitungan yang sama seperti diatas, diperoleh nilai T/W hanya sebesar 0.84. Perhatikan gambar perhitungan dibawah ini :
Perhitungan Thrust to Weight ratio (TWR) Pesawat tempur Gripen C
Dari hasil perhitungan diatas jelas terlihat bahwa dalam misi yang sama, pesawat tempur F-16 C Block 52 memiliki nilai T/W yang jauh lebih besar dari pada pesawat tempur SAAB Gripen C. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam pertempuran jarak dekat, pesawat tempur F-16 C Block 52 jauh lebih lincah dari pada pesawat tempur SAAB Gripen C.
Untuk lebih memperlengkapi perhitungan kita, penulis menambah simulasi dengan kondisi internal fuel masing-masing pada level 75% dan 50% untuk melihat perubahan jumlah internal fuel dengan T/W masing-masing pesawat tempur ini. Dengan menggunakan metode perhitungan yang sama seperti diatas, diperoleh hasilnya adalah seperti table dibawah ini :
Variasi perhitungan T/W pesawat tempur Gripen C dan F-16 C Block 52
Terlihat dari data pehitungan diatas, pesawat tempur F-16 C Block 52 memiliki T/W yang lebih besar dari pada SAAB Gripen C baik di konfigurasi 100%, 75% maupun 50% internal fuel. Gripen C bahkan belum bisa mencapai angka T/W 1.0 meski internal fuel hanya tinggal 50% saja.
Metode perhitungan yang sama yang penulis lakukan terhadap 5 calon pesawat tempur masa depan Indonesia yaitu Gripen C, Gripen E, F-16 C Block 52, F-16V Viper dan Sukhoi Su-35S juga menunjukkan bahwa pesawat tempur Gripen C memiliki nilai T/W paling buruk, di ikuti oleh produk SAAB lainnya yaitu Gripen E. Untuk masalah T/W, pesawat tempur F-16 C Block 52 berada pada posisi yang paling baik diikuti F-16V Viper, Su-35S, Gripen E dan Gripen C. Tapi pembahasan mengenai pesawat tempur lain akan penulis bahas di artikel berikutnya.
Perhitungan T/W beberapa calon pesawat tempur masa depan Indonesia
Perbandingan Wing Loading Pesawat Tempur SAAB Gripen C Vs F-16 C Block 52
Factor lain yang kita bicarakan kali ini adalah Wing Loading yang merupakan perbandingan berat pesawat tempur dibagi luas penampang sayap pesawat tempur tersebut. Wing loading ini juga memiliki peranan dalam menentukan kelincahan pesawat tempur. Semakin kecil nilai Wing Loading, maka kemungkinan pesawat tempur relative lebih lincah dari pesawat tempur lainnya yang memiliki Wing Loading lebih besar.
Pesawat tempur F-16 C Block 52 memiliki area sayap sebesar 28M2, sedangkan pesawat tempur SAAB Gripen memiliki rentang sayap 30M2. Dengan mengambil data simulasi misi pesawat tempur yang sama persis seperti perhitungan T/W diatas, maka nilai Wing Loading dapat dihitung dari total berat pesawat tempur dibagi luas rentang sayap. Dan hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
Perhitungan Wing Loading pesawat tempur Gripen C dan F-16 C Block 52
Terlihat pesawat tempur SAAB Gripen C memiliki nilai Wing Loading yang lebih baik dari pesawat tempur F-16 C Block 52. Hal ini setidaknya sedikit membantu untuk menutupi kekurangan pesawat tempur ini karena memiliki nilai T/W yang cukup buruk. Pesawat tempur SAAB Gripen bisa memiliki nilai Wing Loading yang lebih baik karena pesawat tempur ini memiliki design delta canard yang memiliki sayap yang relative lebih lebar dari design saya conventional, serta ditambah dengan canard di dekat hidung pesawat tempur.
Factor Radar dan RCS Pesawat Tempur SAAB Gripen C dan F-16 C Block 52
Pesawat tempur Gripen C dalam konfigurasi kosong (sama sekali tidak membawa senjata dan external tank) dipercaya memiliki nilai RCS relative kecil bahkan jika dibandingkan dengan F-16 C Block 52. Nilai RCS pesawat tempur dalam konfigurasi combat (membawa senjata dan external tank) sendiri akan lebih besar daripada nilai RCS dalam konfigurasi kosong. Namun hingga artikel ini ditulis, tidak ada sumber valid yang bisa membuktikan nilai RCS ini. Untuk itu kita anggap saja untuk masalah RCS ini, pesawat tempur SAAB Gripen sedikit lebih baik dari F-16 C Block 52, meski penulis prediksi tidak akan terlalu signifikan.
Radar yang digunakan kedua pesawat tempur ini juga bisa disebut memiliki teknologi dan daya endus yang relative sama. Radar APG-68(v)9 yang digunakan pada pesawat tempur F-16 C Block 52/52+ belum menggunakan teknologi AESA sama seperti radar PS-05A Mark 3 yang digunakan di SAAB Gripen C. Beberapa sumber (yang belum tentu valid) menyebutkan jarak jangkau kedua radar juga relative sama.
Selain itu kedua pesawat tempur ini juga sudah dilengkapi dengan sederet teknologi modern seperti tactical datalink, IFF module, radar warning receiver (RWR), dan lainnya. Sehingga bisa disebut kedua pesawat tempur ini tidaklah memiliki perbedaan yang jauh dalam hal teknologi.
Kesimpulan Perbandingan Gripen C Vs F-16 C Block 52 Sebagai Pesawat Tempur Masa Depan Indonesia
Untuk kebutuhan pengadaan alutsista TNI khususnya pesawat tempur dengan biaya operasional cukup murah dan jangkauan tempur yang cukup serta dilengkapi dengan sederet teknologi canggih, maka kedua pesawat tempur ini sangat layak untuk diperhitungkan militer Indonesia.
Harga akuisisi kedua pesawat tempur ini bisa dikatakan tidak jauh berbeda, demikian juga dengan biaya operasional kedua pesawat tempur ini bisa disebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal yang sama juga terlihat dari jarak tempur kedua pesawat tempur dalam beberapa misi pertempuran juga bisa dikatakan relative sama.
Pesawat tempur F-16 C Block 52 memiliki keunggulan dalam jumlah persenjataan dan tanki external yang mampu diangkut dalam sebuah misi dibandingkan dengan pesawat tempur Gripen C. Hal ini memungkinkan pesawat tempur ini lebih fleksibel dipakai militer Indonesia dalam berbagai misi pertempuran dibandingkan dengan Gripen C. Selain itu pesawat tempur F-16 C Block 52 juga memiliki keunggulan yang jauh lebih baik dalam hal Thrust to Weight Ratio dibandingkan Gripen C. Hal ini akan membuat F-16 C Block 52 jauh lebih lincah dari pada Gripen C dalam pertempuran.
Pesawat tempur SAAB Gripen memiliki keunggulan di aspek Wing Loading yang lebih baik dari pesawat tempur F-16 C Block 52. Demikian juga dalam hal nilai RCS pesawat tempur, Gripen C lebih baik dari F-16 C Block 52 dalam konfigurasi kosong tanpa senjata. Namun tidak ada data valid yang menunjukkan berapa nilai RCS masing-masing pesawat tempur dalam misi pertempuran dimana pesawat akan maju dalam konfigurasi dilengkapi dengan senjata dan external tank yang akan menambah nilai RCS pesawat tempur.
Namun untuk menentukan pesawat tempur mana yang akan diakuisisi untuk memperkuat alutsista TNI dimasa mendatang, tentunya tidak hanya akan ditentukan oleh factor-faktor yang kita bahas dalam artikel ini. Ada banyak sekali factor lain seperti factor politik, hubungan internasional, kerjasama militer dan instrustri, dan lainnya juga akan berpengaruh.
Jika penulis diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan bagi militer Indonesia, maka penulis akan menjatuhkan pilihan kepada pesawat tempur F-16 C Block 52 dibandingkan Gripen C.
Pada artikel selanjutnya penulis akan membahas perbandingan pesawat tempur F-16V Viper dengan pesawat tempur SAAB Gripen E. Silahkan di tunggu ya. Untuk artikel kali ini, penulis memohon maaf jika ada kekeliruan dalam artikel ini. Kritik, saran dan tanggapan pembaca silahkan disampaikan dalam form komentar dibawah ini. Salam dari Admin AnalisisMiliter.com
Label : Alutsista |
Kekuatan Militer Indonesia |
Pesawat Tempur |
Alutsista Indonesia |
Alutsista TNI |
Militer Indonesia |
Pesawat Tempur Indonesia |
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Tender Kontraktor Utama Project KFX/IFX di Korea
2.
Analisa Join Development KFX/IFX Indonesia dengan Korea Selatan
3.
3 Unit F-16 C/D Block 52ID Sudah Tiba di Indonesia
4.
Kombinasi Maut Alutsista F-35A, Super Hornet dan Growler Australia
5.
Joint Development KFX Korea – Indonesia di Ujung Galau?
6.
Turki Tembak Jatuh Pesawat Tempur Rusia, Konflik Suriah Memanas
7.
Pentingnya Perananan T-50i Sebagai Pesawat LIFT TNI AU
8.
Pesawat T-50 LIFT dan Faktor Man Behind The Gun di TNI AU
9.
Prediksi Pesawat MRCA Malaysia
10.
Kaskus Leaks Dan Modernisasi Militer Indonesia
meteor.arraw |
13 Apr 2016 15:42:01
bbrapa artikel yg prnah saya baca justru tunjukkan TWR pesawat tmpur Gripen jauh lebih baik dari pada F-16 berbeda dgn yg ditulis di artikel ini
saya ga yakin apa yg ditulis diartikel ini benar atau tdk
Admin |
13 Apr 2016 15:56:37
@meteor.arraw,
bisa disertakan link artikel yg menyebutkan hal itu, agar bisa kita telusuri kebenarannya. trs Gripen yg mana yg mas maksud punya T/W yg lebih baik dari F-16 (f-16 versi mana neh)?
selain itu konfigurasi yg dipakai untuk menghitung T/W di artikel tersebut swperti apa, sehingga bisa sampai kepada kesimpulan T/W Gripen lebih baik dari F-16?
tanpa tau itu, ya klaim seperti itu ga berarti apa apa menurut saya.
Salam
Admin |
13 Apr 2016 18:29:39
@meteor.arraw,
silahkan di posting disini mas, krn saya juga penasaran Gripen varian mana yg punya T/W lbh besar dari F-16, karena setau saya baik Gripen C maupun Gripen E punya T/W yg lbh jelek dibandingkan F-16 C Block 52 maupun F-16 E Block 60.
saya jg penasaran konfigurasi Gripen tersebut kwtika perhitungan T/W nya itu. jangan jangan pada kondisi tanpa senjata dan extenal tank dan dgn internal fuel yg terbatas.
saya akan tertarik jika om kasih link yg menjelaskan itu.
salam
meteor.arraw |
13 Apr 2016 21:05:17
admin, maaf trnyata sya salah baca, bukan TWR gripen yg lbh tinggi dari f16. tp ternyata artikelnya bahas bandingan twr gripen ng dgn su35.
disitu dijelasin kok klo twr gripen ng lbh baik dari twr su35, nilai nilainya jg ada kok
Admin |
13 Apr 2016 21:53:34
@meteor.arrow,
Thrust to Weight ratio punya Gripen NG lebih baik dari Su-35S??? bisa di share penjelasannya seperti apa, dan perhitungan T/W Gripen NG dan Su-35S itu dilakukan dalam konfigurasi kosong atau full internal fuel atau bawa senjata atu gimana? karena berbeda konfigurasi itu nilai T/W nya pasti beda juga.
dalam perhitungan saya, untuk misi yang sama dan jumlah senjata yang sama, serta di isi intenal fuel sampai 100%, T/W pesawat tempur Su-35S itu nilainya sekitar 0.95 lebih baik dari pada Gripen E yang hanya 0.92
makanya saya penasaran klaim yang mengatakan T/W pespur Gripen E itu lebih baik dari Su-35S itu sumbernya dari mana? dan bagaimana perhitungannya.. saya penasaran.. silahkan di share link nya disini supaya kita teliti labih jauh.
Salam
meteor.arraw |
13 Apr 2016 23:08:58
admin, ini sya dah nemu link nya http://gripen-indonesia.blogspot.co.id/2016/02/kenapa-su-35-adalah-kesalahan-terbesar.html
disitu jelas klihatan TWR Su-35 cuma 0.915 sedangkan gripen NG 1.35, mkanya td saya sebutkan TWR Gripen NG lbh baik dari pada Su-35
ini cuplikan artikel itu :
------------
T/W Ratio untuk Su-35 (bensin penuh), hanyalah 0,915; jauh dibawah dari angka target 1 yang dikejar semua pesawat tempur Barat lain. Angka ini HANYA SEIMBANG dengan Super Hornet, yang setengah pembom, atau sama sekali tidak bersaing dengan pesawat tempur murni seperti F-15C (1,07), dan F-16C Block-50 (1,095).
Ini membawa kita ke kelemahan pertama dari Su-35: dengan berat kosong 18,400 kg, pesawat ini sebenarnya termasuk yang TERBERAT di dunia. Di lain pihak, daya dorong mesin AL-41F1 117S (32,000 lbf wet thrust) tidak mencukupi untuk memberikan pesawat ini T/W ratio yang lebih bersaing.
Sukhoi sendiri sengaja menuliskan T/W ratio 1,13, kalau bensin sudah setengah tangki! Memang dalam keadaan demikian pesawat ini akan lebih cepat, tetapi demikian juga dengan semua lawannya: F-15, F-16, Typhoon, Rafale, dan Gripen-NG, yang T/W Ratio-nya akan melebihi 1.35!!
------------
Admin |
14 Apr 2016 00:10:59
@meteor.arrow,
hmmm saya kira artikelnya dari mana gitu, ternyata dari situ. tipikal bahasanya saya kenal bgt, penulis artikelnya jg dah sering berdebat dgn saya sebelumnya di blog ini.
disitu memang disebut T/W Gripen lbh baik dari Su-35. dia yakin skali bahwa dgn hanya isi stengah tangki internal T/W Gripen E mencapai 1.35 dibandingkan Su-35 yg hanya 1.13.
yg jadi pertanyaan saya, pernyataan dia itu benar ga? atau cuma celoteh tanpa didukung data yg valid?
skrng mari kita telusuri pernyataan bombastis tersebut benar atau cuma celoteh belaka. kita akan hitung T/W Su-35 dgn kondisi 50% internal fuel dan bawa dua rudal R-77 dan dua rudal R-73. akan kita bandingkan dengan T/W Gripen E dgn kondisi sama yaitu 50% internal fuel plus bawa senjata 2 rudal AIM-120 dan 2 rudal AIM-9.. biar perhitungannya fair.
Kita mulai dari Gripen E, yg memiliki berat kosong 6.820Kg dan bahan bakar internal (50% saja) 1552Kg serta senjata (2 aim-120 dan 2 aim-9) 474Kg, maka total beratnya jadi 8.974Kg
sementara daya dorong Thrust dgn afterburnir mesin F414G yg dipakai Gripen E nilainya 97.900N. maka nilai T/W Gripen E = 97.900/(8.974*9.8)=97.900/87.945 = 1.13
sedangkan untuk Su-35S yg punya berat kosong 18.400Kg dan intenal fuel (50% saja) 5750kg dan senjata (2 R77 plus 2 R73) 560Kg. totalnya jadi 24.710 Kg
trust mesin AL-41F dgn afterburner adalah 284.000N. maka T/W Su-35S = 284.000/(24.710*9.8)=284.000/242.158=1.17
jadi jelas kelihatan dalam kondisi sama sama tinggal tersisa 50% internal fuel dan bawa rudal yh relatif sama, T/W Su-35S jauh lbh baik dari Gripen E.
hasil perhitunhan kita membuktikan klaim beliau bahwa T/W Gripen e akan lbh baik dari Su-35S jika sama sama cuma diisi 50% internal fuel. penjelasan lbh detail akan saya buatkan artikelnya sendiri nanti
klo saya sih dah sering baca tulisan bombastis dan nerlebihan seperti itu, saya hanya tersenyum saja dan malas counter argumen sprti itu krn cuma buang buanh waktu.
tp krn ada org lain yg kejebak dan anggap argumen ngawur itu benar, maka saya tertantang kasih data yg lbh bisa dipertanggungjawabkan, ga cuma swkedar cuap cuap ga ada makna saja.
tp saya sih kembalikan ke pembaca, percaya tulisan bombastis apa mencoba berpikir kritis dan menelusuri kebenaran setiap statemen bombastis itu.
Salam
Admin |
14 Apr 2016 12:36:37
@meteor.arrow,
untu data empty weight, internal fuel, dry thrust, weigt thust dan lainny untuk Gripen C saya ambil dari data resmi SAAB, dan untuk Su-35S saya ambil dari data KNAAPO... trs saya juga ambil data dari sumber lain sprti wikipedia sbg perbandingan aaja..
silahkan mas ambil sendiri datanya trs mas itung sendiri, biar lbh paham mana prnyataan yg masuk akal dan mana yg sekedar bombastis
salam
robyan |
19 Apr 2016 10:11:59
tanya pak admin klo dr perhitungan diatas tu, apakah artinya Su35 lbh lincah manuvernya dibanding gripen?
Admin |
19 Apr 2016 11:02:37
@robyan,
untuk aspek perbandingan Thrust dengan Weight yg sering disebut T/W, dengan melihat variable berat kosong, berat internal fuel, berat swnjata, dan nilai thrust afterburning, nilai T/W pesawat tempur Su-35S lebih baik dari Gripen E apalagi dengan Gripen C.
jadi secara teoritis, nilai T/W yg lebih besar akan membuat Su-35S relatif lbh lincah dalam bermanufer dibandingkan dengan Gripen E dan Gripen C.
detailnya akan saya bahas dalam artikel selanjutnya.
salam
errik |
13 Apr 2016 16:52:14
Nambahin:
- Soal air refueling, Gripen C bisa pake sistem yg udah dimiliki TNI-AU, sebagaimana Hawk & Sukhoi2 seri terkahir kita, yg masih ngandalin tanker Hercules sementara F-16 kita sampe saat ini nggak bisa karena sistem yg berbeda sehingga Gripen C bisa punya jarak jangkau lebih & endurance lebih lama.
- Soal jenis senjata yg bisa digotong, Gripen C bisa pake lebih banyak jenis rudal dibanding F-16 (pake rudal Eropa, AS, Afsel, Brazil, Israel).
Btw, baca di majalah angkasa terakhir disebutkan TNI-AU lagi rencanain pengganti pesawat intai strategis & salah satu calon kuatnya Global Eye karena kemampuan air, ground, & maritime surveillance yg nanti cocok untuk deteksi maling2 ikan sekaligus pelanggar2 udara secara efektif.
Sementara Paskhas udah mulai rencanain pembelian rudal pertahanan udara jarak menengah & Nasams jadi salah satu calon bersama 3 calon dari RRC (produk Rusia & negara lain nggak disebutin. Mungkin nggak masuk).
Majalah angkasa edisi terakhir kelihatannya memang banyak memuat soal SaaB & sedikit 'mengkritik' kecocokan SU-35 dengan kondisi TNI-AU terkini. Salah satu berita lain adalah SaaB jalin kerja sama penelitian dengan UI (lembaga kesekian yg diajak kerjasama). Bisa dibilang SaaB bener2 serius investasi jangka panjang dengan Indonesia.
Mari tunggu tawaran2 dari Rusia :D
Admin |
13 Apr 2016 17:06:41
@errik,
thanks buat komentarnya, dan izinkan ane nanggapin.
pertama terkait masalah air refueling, benar sekali bahwa Gripen C punya sistem drage n proble yg kompatible dgn Hercules TNI AU, yg bisa menambah jarak tempuh Gripen C, sementara F-16 tidak bisa karena pake sistem air refueling yg berbeda.
tp harus kita ingat juga bahwa saat ini, jumlah KC-130B Hercules milik TNI AU tinggal sebiji, karena satu sudah jatuh di Medan tahun yg lalu. sementara jumlah pesawat tempur yg harus "disusuin" ada banyak, ada 30an Hawk-109/209, 16 Su-27/30 ditambah Su-35S jika beneran di beli. artinya satu tanker untuk puluhan jet fighter jika ditambah Gripen C lagi maka itu bukan lagi sebuah keuntungan.
ditambah lagi usia KC-130B yg tua, maka sudah selayaknya KC-130B digantikan. kmrn sudah ada isu kearah sana, untuk penggantian KC-130B dgn yg lbh modern.
nah terkait penggantian ini, mengingat jumlah F-16 Indonesia dalam waktu dekat mencapai 33 unit dan tanpa air tanker, maka tidak menutup kemungkinan pengadaan air tanker dimasa mendatang di haruskan tanker yg memiliki kedua sistem tersebut untuk mendukung opersi F-16 yg pakai sistem boom maupun Flanker dan Hawk yg make sistem drage n probe...
bersambung.....
Admin |
13 Apr 2016 17:42:07
@errick,
terkait keragaman senjata yg bisa dibawa dan diopersikan, benar itu satu keuntungan jg. tp jangan lupa itu seperti pisau bermata dua yg satu sisi bisa jadi keuntungan tp disisi lain bisa jadi masalah logistik dan jg masalah sparepart.
sebagai contoh misalnya untuk rudal BVR, kita akan beli AIM-120C7 dan rudal WVR kita beli AIM-9x block 2.. rudal itu pun harus dirawat dan memerlukan sparepart untuk operasional jangka panjang. biaya maintenance dan sparepartnya sendiri bukan hal yg murah.
nah katakan kita mau perbayanyak rudal sejenis dari negara lain sebut saja dari eropa seperti IRIS-T, meteor, rudal afrika selatan, brazil dll... satu sisi bagus banyaj pilihan senjatanya... pertanyaan saya bagaiman dengan masalah sparepart, maintenance dll nya? bukannya makin nambah mahal???
saya sih lbh prefer jenis rudalnya tetap sedikit misalnya untuk BVR tetap AIM-120C, untuk WVR pakai AIM-9x block 2 dan untuk AGM pake keluarga AGM-65 Maverick. tinggal jumlahnya aja dibanyakin, maka itu ga akan menimbulkan masalah logistic nightmare..
bersambung...
Admin |
13 Apr 2016 18:02:47
@errick,
logika sederhana nya saja, kira kira biaya operasional, maintenance, dan sparepart jika komposisi rudalnya seperti ini :
a. Kondisi pertama :
Rudal BVR : 100 unit AIM-120C7
Rudal WVR : 200 unit AIM-9x Block 2
b. Kondisi dua :
rudal BVR : 50 AIM-120C7 + 20 Meteor + 30 Derby
rudal WVR : 100 AIM-9x block 2 + 50 Python 4 + 50 A-Darter
jumlah rudal BVR dan WVR nya sama di kedua kondisi tapi typenya berbeda jumlahnya.... kira kira mana yg lbh murah operasional, maintenance dan sparepartnya untuk penggunaan jangka panjang di tengah isu terbatasnya anggaran militer indonesia?
saya kira mas pasti tau jawaban dan maksud saya kan..
salam
brian |
13 Apr 2016 22:14:23
mas errick
Saab setahun trakhir ini kan emang serius banget masarkan produknya di indonesia krn liat peluang bags di indonesia
trs saab jd stahun trakhir ini melakukan pendekatan khusus ke media indonesia n jg komunitas penyuka militer di indonesia. makanya ga heran banyak berita ttg saab. ga hanya di media massa media sosial jg saab kasih perhatian khusus krn mereka sadar ga akan bs nersaing dgn amerika n rusia klo cara promosinya biasa
makanya skrng saab itu lg gencar bgt bentuk opini publik ttg nilai plus produknya n berusaha jatuhkan produk lain. jd ga usah heran klo berita baik tth gripen kedepan akan makin banyak di media. ga usah heran jg berita negatif pesaing utama gripen jg bakal mkn banyak.
errik |
14 Apr 2016 11:52:27
Penjelasan Bung admin bener juga.
Jadi pengadaan tanker udara2 sistem ini nilainya penting banget buat dongkrak kemampuan jet2 tempur TNI-AU.
Logika Bung Admin soal rudal sih saya paham. Emang sebaiknya gitu. Tapi yg saya tetep nggak paham logikanya TNI-AU (TNI secara keseluruhan). Entah kenapa mereka seneng banget yg gado2 trus dibeli dikit2 (tuh shoradnya macem2), tapi jumlah per jenisnya tetep dikit :D
Moga2 soal rudal hanud jarak menengah logikanya Bung Admin diterapkan TNI-AU.
Bung Brian, saya sih nggak heran dengan ramenya berita SaaB di sini akhir2 ini. Saya seneng dengan cara pendekatan mereka & investasi jangka panjang mereka di sini (selain soal politik luar negeri mereka yg non-blok & lebih kalem soal global dibanding Eropa Barat, Rusia, AS, Asia Timur). Padahal belum tentu next jet fighternya kita Gripen & malah F-16 berpeluang lebih besar karena aspek pengalaman menggunakan ditambah nilai plus yg dijelasin Bung Admin.
Yg saya heran itu soal fansboy Rus.....
#eh #bedatopik :D
Halilintar |
14 Apr 2016 15:50:23
Karena semuanya minta "jatah" sendiri sendiri
setiap ganti pimpinan, panti ada rencana beli alutsista jenis baru
dulu ada rencana penyederhanaan alutsista
toh rencana hanya sekedar rencana, nafsu dunia (uang) lebih diutamakan
MANPAD SHORAD saja ada 6 jenis :
SA-7, RBS-70, SA-18 (Grom), Mistral, QW3, Startreak
Roket/rudal Anti Tank ada lebih dari 7 :
RPG, LRAC-89, PF-89, C90-CR, Armburst, NLAW, Javelin
Seolah olah siapa yang dapat tawaran "menarik" akan langsung diterima
Betapa pusingnya bagian logistik, untuk mengelola keuangan yang serba cekak
jatuhnya beberapa alutsista TNI beberapa hari yang lalu juga bisa diakibatkan
tidak terawatnya dengan protap aslinya (dilanggar)
Admin |
14 Apr 2016 19:03:12
@errick,
mengenai konsep ideal VS realita di Indonesia memang bikit mata sepet mandanginnya.. pengadaan alutsista indonesia seperti tak punya arah dan tujuan yg jelas..
makanya hampir di semua lini alutsista TNI gado gado.. ga hanya di alutsiata TNI AU tapi AD dan AL juga. belum lagi ego sektoral antar angkatan yg buat jenis alutsiata makin beragam yg ujung ujungnya bikin biaya maintenance dan sparepart.
ya bigitulah indonesia. semiga akan ada perubahan.
just IMHO
salam
Admin |
14 Apr 2016 19:07:28
@halilintar,
ya begitulah. ada gula ada semut. tidak hanya itu saja, Helikopter yg dioperssikan TNI aja ragamnya banyak bgt. TNI AU punya jenis heli swnsiri... TNI AD punya jenis sensdiri... TNI AL jg...
padahal klo jenisnya disama kan antar matra bisa memangkas biaya maintenance dan sparepart. tp ya itu lah, ego sektoral masih kuat. semoga kedepa makin baik.
just imho
salam
gelatik |
17 Apr 2016 10:10:17
@admin
Menyambung @errick,mengenai variatifnya pilihan rudal, bom&sensor; pd gripen lebih menitik beratkan pd faktor flexibilitas, artinya afsel&brazil; bisa memaksimalkan penggunaan rudal dalam negri, atau bisa jg negara lain dg anggaran yang tersedia bisa memiliki kombinasi sedikit rudal high end&banyak; rudal low end.
Beralih kpd kondisi geografis Indonesia yang adl negara maritim, baik gripen(rbs-15) maupun F-16 block 52(penguin&harpoon;) sama2 telah disertifikasi utk menggotong rudal ASHM (tidak tahu dg F-16 52id?)...jarang sekali terlihat foto2 F-16 menggotong rudal AShM (kecuali F-16 norwegia dg penguinnya).
Bagaimana tanggapan oom ttg hal ini...dan apabila AU membeli F-16 block 52 apakah akan diijinkan utk membeli harpoon?
Andre |
18 Apr 2016 08:44:43
@admin
Saya silent redear di blog ini dan sebenarnya "merindukan" debat sehat admin dan GI yang cukup menghibur beberapa waktu yang lalu :)
Terkait missile yang bisa digotong, bukankah Gripen bisa langsung menggotong rudal AIM120 dan AIM-9 yang ada di inventori TNI-AU? Untuk kesederhanaan tipe dan keterbatasan budget, pilihan F-16 adalah yang paling logis, tetapi pertanyaan berikutnya adalah: apakah dengan membeli F-16 Indonesia bisa disetujui untuk menambah pembelian rudal canggih macam AIM120-C7, AIM-9X, atau rudal canggih lain yang belum ada di gudang TNI-AU seperti HARM, Harpoon, bom GBU Paveway, JDAM, dll. tanpa "embel-embel" politik (baca: kuantitas dan kualitas tidak boleh melebihi negara-negara sekutu AS di kawasan)? Saya agak khawatir dengan cara akuisisi alutsista TNI-AU yang doyan membeli kosongan, untuk urusan pensil nantilah dibeli berikut, seharusnya apapun alutsista yang dibeli, khususnya pespur pembeli memiliki daya tawar yang kuat apabila membeli paketan dengan senjatanya. Pada titik ini pasti "keterbatasan anggaran" pasti jadi alasan.
Admin |
18 Apr 2016 18:42:11
@gelatik,
terima kasih komentarnya, dan izinkan saya menanggapi.
Terkait keragaman senjata untuk Gripen di Brazil dan Afrika Selatan, untuk konteks Brazil dan Afrika Selatan itu bisa disebut adalah sebuah keuntungan. hal ini kerena Brazil dan Afrika Selatan sudah memiliki rudal produksi sendiri sebut saja A-Dater (kerjasama Brazil dan Afrika Selatan) maupun Piranha. tentunya integrasi rudal lokal ini akan menguntungkan bagi Brazil dan afrika selatan, sehingga mereka punya solusi jika tidak ada rudal dari negara lain.
Untuk konteks Indonesia, seandainya Indonesia punya kondisi yang sama tentu akan menjadi keuntungan juga. permasalahannya hingga saat ini dan kedepannya (paling tidak 10 tahun kedepan), belum ada tanda-tanda Indonesia akan punya rudal sendiri. sehingga jika ingin membuat keragaman rudal untuk pesawat tempur solusinya hanyalah Import dari luar.
maka kondisi diatas yang saya sebut mengenai sisi positif dan negatif banyaknya tipe rudal di Indonesia akan berlaku.
Mengenai rudal AShM untuk F-16 Hibah, saya kurang tau apakah pesawat tempur F-16 hibah itu sudah di upgrade untuk kemampuan menggotong rudal Harphoon. hampir belum pernah ada di singgung masalah kemampuan maritime strike untuk F-16 hibah ini.
namun jika Indonesia membeli F-16 C/D Block 52, setau saya sejak F-16 Block 40 keatas sudah memiliki kemampuan untuk menggotong rudal anti kapal harphoon ini. bahkan beberapa varian dibawahnya juga sudah dimodifikasi untuk bisa membawa rudal Harphoon ini. sehingga seharusnya F-16 C/D Block 52 sudah memiliki kemampuan itu.
Sebenarnya ga hanya F-16 Norwegia kok yang bawa rudal AShM, F-16 USAF, F-16 Taiwan (bahkan sudah test penembakan), dan F-16 Oman setau saya sudah pernah membawa rudal AGM-48 Harphoon.
namun untuk case Indonesia, saya sih belum melihat ada arah kebijakan pemerintah untuk memperlengkapi rudal anti kapal sekelas Harphoon untuk F-16 Hibah dan F-16 block 15 OCU selama ini. karena jujur saja, pesawat tempur yang memiliki kemampuan maritime strike di Indonesia masih keluarga Su-30MK2 itupun belum ada 10 tahun belakangan ini.
namun untuk pengadaan alutsista kedepannya, tidak tertutup kemungkinan pemerintah akan mulai memikirkan agar semua pesawat tempurnya juga memiliki kemampuan maritime strike termasuk F-16 (jika Indonesia membeli F-16 lagi) atau pesawat tempur lainnya.
Mengenai apakah Indonesia akan di izinkan membeli AGM-84 Harphoon? saya kira tidak ada kepastian akan itu karena kita hanya bisa menebak nebak saja, selebihnya akan bergantung kepada lobi pemerintah Indonesia dan Amerika. Dan mengingat panasnya konflik laut China Selatan, dimana China sedemikian agresif dan Indonesia punya peranan penting dalam konflik ini, maka kemungkinan ini digunakan sebagai kartu lobi ke Amerika sangat besar.
dulu juga banyak kan yang skeptis indonesia akan diizinkan Amerika untuk membeli rudal AIM-9X Block 2 sidewinder (yang bisa disebut varian sidewinder terbaik saat ini, yang block 3 belum operasional). banyak yang memprediski Indonesia hanya akan diberi maksimal varian AIM-9M, tapi belakangan kita lihat Indonesia di ixinkan beli AIM-9X Block 2.
Demikian juga untuk AMRAAM. kebanyakan prediksi dulu menyebutkan Indonesia palingan hanya akan diberikan varian yang lebih jadul dari punya Singapura, palingan AIM-120C5. nyatanya Indonesia beli AIM-120C7 yang termasuk varian terbaik saat ini. jadi sebenarnya jika Indonesia memang mengingnkan F-16 dengan kemampuan maritime strike dengan rudal AGM-84 Harphoon sebenarnya peluangnya besar kok di approve US.
permasalahan yang saya lihat (setidaknya sampai saat ini), belum ada rencana Indonesia menjadikan F-16 sebg pesawat tempur dengan kemampuan maritime strike yang mumpuni. entahlah kedepannya.
just IMHO n CMIIW
salam
Admin |
18 Apr 2016 19:01:24
@andre,
terima kasih komentarnya dan izinkan saya menanggapi.
pertama, terkait debat sehat hanya bisa terjadi jika pihak pihak yang berdebat bisa berdebat dengan data yang benar (tidak melebih-lebihkan dan juga tidak mengurang-ngurangi fakta yang ada). jika data sudah dilebih-lebihkan dari yang sebanrnya atau dikurangi dari yang sebenarnya, apalagi jika sudah tendensius ke produk tertentu maka debat yang sehat akan sangat sulit terjadi. dalam konsep berpikir saya, debat sehat hanya bisa terjadi jika setiap pihak yang terlibat dalam perdebatan bisa memposisikan diri di posisi netral dalam menganalisa satu fakta. jika hal itu bisa terjadi, maka dengan siapapun kita berdebat, maka itu adalah kondisi debat yang sehat, tidak perduli siapa lawan debatnya.
yup, Gripen juga bisa menggtong semua rudal AIM-120C7 dan AIM-9x Block 2 seperti yang akan dibeli Indonesia, tidak ada masalah akan itu. jika kita sudah berbicara politik, maka itu akan rumit bergantung bagaimana pemerintah kita bisa berdiplomasi untuk kepentingan Indonesia.
terkait apakah Indonesia akan di izinkan menambah jumlah rudal AIM-120C7 dan AIM-9x Block 2? jawaban saya, kenapa tidak.... seperti argumen saya di post sebelumnya, dulu banyak orang meragukan indonesia akan di beri izin beli AIM-120C7 dan AIM-9X BLock 2, nyatanya di izinkan juga kan. tentunya pemerintah pasti melakukan lobi-lobi sebelumnya sebelum izin itu ada. demikian juga dengan jika beli dari negara selain US sekalipun tetap pemerintah pada walnya akan melakukan lobi-lobi sebelum pembelian. maka sekali lagi itu akan bergantung kepada lobi-lobi Indonesia.
nah sekarang dalam msalah konflik Laut China selatan yang akan menjadi 'inti' permasalah asia tenggara kedepannya, Indonesia berada pada posisi yang relatif sama dengan posisi Amerika yang tidak ingin China semakin agresif, meski Indonesia melakukan pendekatan berbeda dengan mengupayakan dialog. tetapi peranan Indonesia dalam konflik ini sangat besar, dan tentu saja Amerika dan sekutunya memerlukan Indonesia untuk lebih mendekat kepada mereka dibanding kepada China. tentu ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk 'kepentingan Indonesia' termasuk masalah rudal ini dan lainnya. maka sekali lagi itu sangat bergantung bagaimana lobi dan permainan politik Indonesia.
kalau kita berbicara masalah pembelian alutsista Indonesia yang "hoby kosongan", ya selama ini memang fakta nya seperti itu. tapi belakangan sudah ada indikasi hal itu mulai menurun, dan semoga kedepannya tidak lagi. jika hal ini masih selalu terjadi, maka mau pesawat tempur apapun yang dibeli baik dari Rusia, Amerika, Eropa, SWedia, China dan lainnya pun, masalahnya akan sama saja, jika proses pengadaan alutsista di sisi Indonesia ga berubah. yang semoga saja akan segera berubah.
just IMHO n CMIIW
salam
liest |
14 Apr 2016 13:35:13
membandingkan dari segi politik biaya dan upgrade kedepanya..jauh saab lebih baik karena adanya politikal will yang baik dari saab sendiri,..jika f16yang sekarang ini cuma di jadikan stop gap dengan ifx mengapa harus dari varian f16 juga. toh tahun 2020 f16 sudah tidak di produksi lagi.terlepas tni au sudah merasa nyaman dengan f16 kan mau di ganti dengan kfx ifx yang setara dengan f16 viper. dengan komposisi berat =shukoi sedang=ifx ringan=ya setara dengan f5tiger dari segi operasional ya gripen c\d toh kita butuh awac yang satu paket dengan gripen c..nilai tambah banyak dari segi tot pesawat dan tot rudal rbs dan gripen c dapat compatible dengan rudal yang di bawa f16 nato. tambah ilmu aja bahwa biaya perawatan gripen jauh lebih mahal dari btosur yang di bawa saab.artikel bagus ,sip koreksi jika salah.
Admin |
14 Apr 2016 14:05:27
@liest,
thanks komentarnya mas.. tp izinkan saya tanggapi
artikel saya kali ini memang lbh menyoroti aspek teknis mas, aspek politik ga terlalu saya bahas krn dah sering bgt bahas itu.
namun terkait F-16 sbg stop gap KFX, jujur saya agak bingung. krn setau ane dari awal F-16 termasuk hibah ga pernah direncanakan sebagai stop gap KFX. KFX mnrt rencana awal akan jadi pengganti Hawk-109/209 dan jg F-16 Block 15 OCU. namun belakangan F-16 Block 15 ocu rencana akan di upgrade sehingga mungkin akan ttp bisa dipakai Indonesia sampai tahun 2035 mendatang. jd klo dibilang F-16 sbg stop gap sampai KFX masuk, kurang tepat juga. krn KFX itu klo lancar tahun 2026 udah bisa operasional, sementara F-16 juga masih bisa sampai 2030an.
hal lain yg mau saya koreksi adalah komposisi pesawat tempurnya, dimana mas sebut Berat =sukhoi, KFX = medium, ringan = setara f5
setau saya KFX itu punya dimensi dan thrust yng relatif sama dengan F/A-18 E/F Super Hornet, EF Typhoon dan Dassault Rafale. artinya KFX ini juga masuk kategori kelas berat.
dan sejauh pengamatan saya kedepan Indonesia hanya akan menggunakan fighter kelas berat dan medium..
kelas berat = Sukhoi dan KFX (sampai sukhoi pensiun semua)
kelas medium = f-16
klopun ada kelas ringan itu akan di"kuasai" oleh keluarga T-50i Golden Eagle...
jadi klo SAAB mau menawarkan pesawat tempur Gripen ke Indonesia sejatinya lawannya sih bukan Sukhoi family, tetapi falcon family.
just IMHO
salam
Haidar |
14 Apr 2016 16:24:03
@Admin
Mengapa anda menggolongkan kfx/ifx sebagai fighter kelas berat sama dengan sukhoi padahal di lihat dari dimensi dan beratnya kfx/ifx setaraf dengan super hornet,typhoon dan rafale yang merupakan fighter kelas medium
Admin |
14 Apr 2016 16:56:17
@Haidar,
sebenarnya di Indonesia sendiri ga dikenal yg namanya Heavy Fighter, Medium Fighter atau Light Fighter. itu adalah istilah yg populer di Amerika..
Di Indonesia sendiri ga kenal konsep itu. Di indonesia hanya ada jet tempur yg punya kemampuan serang yg jauh dan mampu menggotong senjata berat, yg sering di analogikan dgn Heavy Fighter...
dan ada lagi fighter yg secara kemampuan jarak jangkau dan daya angkut lbh rendah, yg sering dianologikan Medium Fighter..
Tp faktanya dalam operasional sehari hari hampir tidak ada perbedaan antara peranan pesawat tempur kelas berat, medium dan ringan di Indonesia. semua di sama ratakan.. yg sebensrnya itu akan menjadi masalah di biaya operasional.
tp idealnya mnrt saya, indonesia harus nya konsisten dgn membagi yg mana menjadi misi mana yg lbh cocok di berikan ke fighter "kelas berat" dan mana yg lbh cocok diemban "fighter medium". tp sayangnya di Indonesia hal itu masih jauh dari ideal. itu satu hal...
hal lain adalah, sampai saat ini tidak ada batasan yg jelas apa tolak ukur sebuah fighter disebut Heavy, Medium atau Light. hal ini karena setiap negara punya konsep dan patokan mereka sendiri sendiri. sebagai contoh Thailand, bisa saja disnaa f-16 disebut sebagai " heavy fighter" dan Gripen sbg "medium fighter", tp di negara lain bisa berbeda lagi.
contoh lain di Prancis misalnya, Rafale jadi kelas Berat dan Mirage-2000 jadi mediumnya. di Inggris, Typhoon jg kelas berat dan Tornado jd mediumnya. jadi setiap negara beda. itu hal kedua yg harus kita pahami.
nah kembali ke konteks Indonesia, untuk KFX memang itu dimensinya hampir sama dgn Rafale, Typhoon, dan Super Hornet.. maka jelas KFX itu akan menjadi pesawat tempur yg punya biaya operasional yg cukup tinggi, jarak jangkau operasional yg telatif lbh jauh dsri medium fighter dan juga mampu menggotong senjata yg lbh banyak dari sekelas F-16.
dan di Indonesia, kemampuan KFX itu dari segi biaya operasional, radius operasional, dan payload lebih besar dari F-16 (yg masuk kategori medium). kemampuan KFX dalam beberapa aspek akan 11-12 dengan Su-30/25/35.
jadi klo kita pakai terminologi Heavy - Medium Fighter (yg sebenarnya ga dikenal di indonesia), maka KFX lbh cocok masuk Heavy Fighter dari pada Medium Fighter.
just IMHO
salam
Haidar |
15 Apr 2016 22:04:33
@Admin
Trims..atas jawabannya
Btw belum lama ini saya baca berita saab mengatakan satu tahun setelah tanda tangan kontrak maka gripen sudah bisa di kirimkan ke indonesia,pertanyaan saya apakah yang di maksud saab itu untuk gripen bekas atau gripen yang baru.
Salam
Admin |
15 Apr 2016 22:33:51
@Haidar,
terkait klaim SAAB yg sebut mereka bisa kirim Gripen C ke Indonesia satu tahun setelah kontrak, menurut saya itu hanyalah pernyataan tim marketing saja untuk menarik perhatian indonesia. tim teknis SAAB blm tentu mengamini pernyataan itu.
kenapa saya katakan demikian? ya membuat pesawat tempur itu bukan hal yg mudah dan cepat. proses produksi nya lama, dan setelah produksi pun harus menjalani serangkaian testing sblm dikirim ke pembli. mnrt saya paling tidak butuh 2 tahun setelah kontrak baru delivery. itu klo mwmbuat pesawat Gripen baru.
SAAB sendiri punya opsi upgrade pesawat tempur Gripen A/B ke Gripen C/D, tp tetap saja upgrade ini juga membutuhkan waktu yg ga sebentar. dan waktu satu tahun itu aama swkali ga masuk akal menurut saya, lihat aaja itu upgrade F-16 Hibah dari tahun 2012 baru sebagian yag dikirim.
lagian pertanyaannya emang mau indonesia pakai Gripen bekas yg di upgrade? klo bekas jg, kenapa ga F-16 hibah aja yg ditambah?
makanya ane lihat pernyataan SAAB "bisa kirim Gripen ke Indonesia satu tahun setelah kontrak" itu cuma bahasa marketing yang ga penting dan ga bermakna.
kenapa saya bilang itu bahasa marketing? coba mas telusuri, kenapa baru sekarang (disaat pengganti F-5 sudah di ujung) SAAB keluarkan pernyataan itu? dari dulu kenapa ga keluarin pernyataan itu? ya tak lain karena ada berita di media yh menyebutkan kontrak Su-35S untuk ganti F-5 segera di realisasikan. KNAAPO tahun lalu menyebutkan bisa kirim Su-35S tahun 2018.
nah sekarang SAAB krn dah seperti habis peluru tp belum mau menyerah, ya kasih pernyataan ke Media untuk membuat opini publik bahwa mereka bisa kirim lbh cpt, dgn harapan Indonesia berubah dari Su-35 ke Gripen. jelas sekali itu trik dan bahasa marketing kan...
kedepannya saya yakin bakal ada lagi berita berita sperti ini kok.
just IMH
salam
harphoon |
15 Apr 2016 16:50:08
admin,
ijin bertanya, operasional cost gripen bukannya cuma 4700 dolar? knp diartike ini ditulis jauh lbh besar sampe 9000 dolar,sumbernya dr mana?
Admin |
15 Apr 2016 23:20:01
@harphoon,
terkait masalah biaya operasional, kita harus paham dulu bahwa biaya operasional itu sangat ditentukan oleh banyak sekali faktor. misalkan ada dua negara yang sama sama menggunakan pesawat tempur yang sama persis, belum tentu biaya operasinal nya juga sama. hal ini karena setiap negara memiliki variable dan faktor penentu operasional cost yang berbda. bahkan dalam satu negara yang sama pun, 2 skuadron pesaawt tempur yang sama belum tentu punya operasinal cost yang sama.
jadi kita ANDAIKAN misalnya operasional cost gripen 4700 itu benar, pertanyaannya 4700 itu untuk operasional negara mana? Apakah negara lain yang mengoperasikan Gripen nilai nya juga pasti 4700? ya ga juga, ada banyak sekali faktor penentunya. salah satunya adalah harga bahan bakar yang merupakan faktor yang dominan dalam operasional cost. klo harga bahan bakar di negara itu murah, ya bisa saja jatuhnya harga operasionalnya juga relatif lebih murah dibandingkan dengan negara yang harga bahan bakar jet nya lebih mahal.
nah sekarang kembali ke pertanyaan mas, "bukannya operasional Gripen $4.700?". nah sebelum menjawab saya balik nanya, apakah informasi "operasional Gripen $4.700" itu valid tanpa syarat dan ketentuan? apakah (JIKA) indonesia beli 12 unit Gripen biaya operasionalnya tetap $4700? ga segampang itu juga perhitungannya.
nah sekarang mari kita amati, kenapa SAAB selalu menyebut angka "4700 dolar ini" dalam setiap promosinya? ya namanya bahasa marketing, ya pasti itulah yang dibawa terus. padahal dalam kenyataannya angka itu sendiri berasal dari studi IHS Janes yang "di persiapkan atas permintaan SAAB" yang tentu saja bukanlah sebuah studi yang independen yang lepas dari kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan dari studi itu.
angka "4700 dolar" itu menurut studi IHS Janes "yang di request SAAB" itu, katanya diambil dari angka operasional cost gripen AU Swedia sendiri. tp di sumber lain (sekaligus menjawab pertanyaan mas), pejabat tinggi Swedia menjelaskan bahwa pada sekitar dua tahun lalu menyebutkan bahwa biaya operasional Gripen C/D AU Swedia mencapai SEK48.000 atau kurang lebih $6000/jam.
silahkan baca beritanya disini, bahwa Swedia silahkan di terjemahkan. http://www.nyteknik.se/nyheter/fordon_motor/flygplan/article3817857.ece
Disumber lain menyebutkan biaya operasional Gripen C/D Swedia mencapai $7000/jam. Jadi terlihat kan bahwa '$4700/jam" yang sering diembuskan marketing SAAB tidaklah benar-benar menggambarkan keadaaan sebenarnya meski di AU Swedia sendiri. padahal AU Swedia mengoperasikan ratusan Gripen C/D yang seharusnya membuat operasionalnya lebih murah dari negara yang hanya operasionalnya belasan unit.
Jika di AU Swedia saja angka operasional costnya lebih besar dari pada yang sering didengungkan tim marketing SAAB, bagaimana dengan negara lain yang hanya operasional sedikit Gripen C/D? secara logikanya sih pasti lebih mahal dari operasional Gripen C/D Swedia. namun sayangnya sulit sekali mendapatkan ifnormasi mengenai operasional cost negara pengguna Gripen lain seperti Ceko, Thailand, dan Hungaria.
angka paling jelas ditunjukkan oleh Afrika Selatan yang mengoperasikan 26 pesawat tempur Girpen C/D. Tahun 2013 yang lalu pejabat tinggi militer Afrika Selatan menyebutkan bahwa biaya operasional Gripen C/D mereka mencapai R135.000 atau sekitar US$9.250/jam, jauh diatas AU Swedia yang berada di sekitar $6000-$7000/jam, dan dua kali lipat dari yang didengung-dengungkan tim marketing SAAB.
Bahkan beberapa tahun lalu, banyak Gripen C/D Afrika selatan yang terpaksa di grounded sementara karena mahalnya biaya operasional Gripen C/D itu bagi Afrika Selatan, namun belakangan di revisi dengan cara merotasi penggunaan Gripen C/D.
nah disini kelihatan sekali bahwa beda negara, bisa membuat biaya operasional juga berbeda karena ada banyak sekali faktor ytang mempengaruhi. yang jelas tidak akan semurah angka "4700 dolar" yang disebut tim marketing SAAB.
untuk biaya operasional gripen C/D Afrika Selatan silahkan baca di sini :
http://www.iol.co.za/news/politics/saaf-jets-arent-in-storage-says-general-1572829
Just IMHO
salam
Jangkrik |
18 Apr 2016 00:59:23
Dari artikel sebelah, video gripen yang sangat cantik
https://www.youtube.com/watch?v=vP2jcorIOFw
Niko |
18 Apr 2016 19:34:01
Mas admin: klo menurut saya tawaran SAAB cukup menarik, dan klo kita mengambil gripen NG bisa cukup membantu menyederhanakan maintenance mesin, karena kesamaan mesin dengan TA-50 kita, sama" dari varian keluarga GE F-404 dan GE F-414, siapa tau nanti IFX kita memakai varian mesin ini juga. Untuk rudal saya pernah baca pt sari bahari berhasil membuat prototipe rudal petir V-101 yah meskipun masih varian surface to surface tp siapa tau nantinya berhasil membuat varian air to air. Dan kita juga ditawari Erieye yg bisa mengisi untuk keperluan AWACS menggantikan boeing 737 kita yg sudah uzur, belum lagi tawaran membuat datalink sendiri yg mempermudah kita menshare data dan informasi antar 3 matra, AU-AD-AL kita.
Admin |
18 Apr 2016 20:32:57
@Niko,
yup, tawaran SAAB memang menarik, tidak ada keraguan akan itu. tp fokus artikel kita ini bukan ttg pengganti F-5 lg, meski itu masih relevan. dan yg kita bahas di artikel ini sejatinya adalah Gripen C/D bukan Gripen E/F, tp its ok.
klo kita beli Gripen E/F memang ada sisi baiknya dari segi maintenance mesin krn mesinnya adalah keluarga F404 yaitu F414G.. krn Indonesia sudah punya 15 unit (satu jatuh) T-50i Golden Eagle yg operasikan mesin F404.
tp jika kemiripan mesin F404 dengan F414 kita anggap sebuah keunggulan, maka kita juga seharusnya tidak lupa bahwa mesin F-16 C/D Block 52 itu juga sekeluarga dengan mesin F-16 A/B Block 15 OCU dan F-16 C/D Block 25.
F-16 C/D Block 52 itu memakai mesin F110-PW-229 yg masih sekeluarga dengan mesin F110-PW-220 (pada F-16 A/B Block 15 OCU) dan F110-PW-220E(pada F-16 C/D Block 25). Jumlahnya pun lumayan banyak untuk ukuran Indonesia yaitu 33 unit, dan sudah dioperasionalkan di Indonesia sejak tahun 1989.
cuma memang jika KFX sukses dan benar benar memakai mesin F414, maka akan berdampak lbh positif jika Gripen E/F jg ada di Indonesia. meski variannya berbeda tipis, dimana Gripen E memakai varian F414G dan KFX kemjngkinan pakai F414-400, setidaknya akan memudahkan maintenance mesinnya kedepan.
terkait rudal petir atau rudal buatan indonesia lainnya, bukan hendak mengkerdilkan atau sejenisnya, tp saya sangat ragu sekali, rudal rudal tersbut bisa masuk tahap operasional di militer Indonesia dalam 10 tahun kedepan meski itu masih pada level rudal dari darat ke udara sekalipun.
apalagi jika berbicara agar rudal itu bisa masuk ke level rudal air to air sekelas R-73 maupun AIM-9 sidewinder.. jalan menuju kesana masih teramat jauh sekali (jika tak ingin disebut itu sebagai mimpi atau jauh panggang dari api).
untuk keperluan AWACS, SAAB memang menawarkan Erieye, tp jangan lupa bahwa itu hanya satu dari beberapa kandidat untuk kebutuhan itu. ada kandidat lain seperti C-295 varian AEW, Boeing, dll.. masih akan panjang jalan menuju AEW kok.
just IMHO n CMIIW
salam