Pro Kontra Pembelian Super Tucano oleh Indonesia

30 Mar 2012 16:19:55 | by Admin | 2780 views | comments


Seperti yang sudah kita ketahui, banyak alutsista yang digunakan untuk mempertahankan Negara ini telah terlalu usang untuk digunakan. Salah satunya adalah burung gaek anti perang greliya OV-10 Bronco. OV-10 bronco telah lama mengabdi sebagai pedang penjaga kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia, sebut saja sejak Operasi militer di Timor-Timur hingga Operasi militer di Aceh. Namun seperti teknologi lainnya, tentu saja akan ada titiknya dimana teknologi tersebut sudah tidak dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang sudah ada, sehingga dinyatakan sebagai “obsolete” (usang). Selain itu akibat adanya batas waktu pemakaian badan pesawat terbang (Air Frame), tentu saja pengoperasian OV-10 Bronco sudah tidak dapat diteruskan. Oleh Karena itu tentu saja harus dicarikan pengganti yang tepat, sehingga TNI tetap dapat berfungsi sebagai penjaga Negara Indonesia.


Kemampuan lainnya yang menjadikan Super Tucano sangat “versatile” adalah kemampuannya membawa berbagai macam senjata. 5 cantelan di sayapnya dapat dimuati dari senjata mesin caliber 12,7 mm, Bomb tak berpemandu hingga berpemandu laser, rudal udara ke udara jarak dekat seperti AIM-9 Sidewinder atau Phyton 3/4, sampai berbagai rudal anti permukaan. Semua persenjataan tersebut dikendalikan melalui dua computer pusat, Yang mengintegrasikan system persenjataan termasuk software untuk mengarahkan senjata, manajemen persenjataan, perencanaan misi, hingga melaksanakan simulasi misi. Dan tentu saja untuk meningkatkan kemampuannya dalam pertempuran di malam hari Super Tucano juga dapat dilengkapi perangkat pengelihtan malam FLIR (forward Looking Infra Red), jenis AN/AAQ-22 SAFIRE.


Dengan kemampuannya tersebut tentu saja sebenarnya Super Tucano adalah pesawat yang sangat tepat untuk menggantikan sang “burung gaek” OV-10 Tucano. Namun entah mengapa dalam usaha TNI AU mengakuisisi pesawat ini mengalami berbagai macam pertentangan. Salah satunya adalah dalam Rapat Dengar Pendapat antara DPR komisi I dan Kemenhan pada Senin 22/2/2010, sebagian besar anggota DPR mempertanyakan kebijakan pembelian pesawat tersebut. Intinya, mereka meragukan kualitas pesawat pilihan TNI AU dan prosedur pengadaannya juga terkesan tidak transparan.


Ada beberapa pernyataan dari anggota DPR yang menurut saya terbilang agak “nyeleneh” dari acara dengar jejak pendapat tersebut, antara lain Max Sopacua, yang menayakan “Apakah pesawat jenis ini tidak bisa diproduksi oleh bangsa Indonesia? PT Dirgantara, misalnya. Sebab kalau dilihat spesifikasinya tidak terlalu hebat. Apalagi kalau dibandingkan dengan Sukhoi.”, Jika kita lihat tentu kemampuan PT DI, dalam memproduksi pesawat tidak dapat diragukan, namun yang kita bicarakan disini adalah pesawat militer yang segera diminta penggantinya dalam waktu dekat. Jika kita membuat pesawat sejenis dari awal tentu akan dibutuhkan riset, pengembangan, test prototype, masa produksi, hal tersebut tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang juga besar. Untuk memangkas “waktu dan biaya” tersebut adalah dengan melakukan TOT (Transfer Of Technology), namun bagaimana bisa kita melakukan TOT, tanpa membeli produk jadi dan melakukan kerjasama dengan produsen pembuat pesawat tersebut ?


Lalu jika kita lihat spesifikasinya Sukhoi (SU)-27/30 SK/SKM/MK/MK II jelas lebih tinggi dari pada Super Tucano. Hal tersebut karena SU-27/30 SK/SKM/MK/MK II adalah pesawat Heavy Fighter untuk keperluan pertempuran udara ke udara, dan menyerang sasaran di darat, sementara Super Tucano adalah pesawat yang didisain untuk keperluan anti greliya, latih, dan patrol perbatasan. Jika di analogikan SU-27/30 adalah Lamborghini Murchielago LP-640, dan Super Tucano adalah Lotus Exige. Untuk menguber mobil maling di jalan bebas hambatan Lamborghini Murchielago LP-640 adalah pilihan yang tepat, namun jika mobil malingnya masuk ke jalan yang sempit dan penuh belokan tentu Lamborghini Murchielago tidak dapat mengejar, nah disini lah Lotus Exige masuk, mengejar mobil maling tersebut, menembaki pengemudi mobil malingnya, dan menyelamatkan dunia.


Kemudian ada Roy Suryo, yang menilai OV-10 Bronco yang punya double tail di belakangnya, lebih gagah dibandingkan Super Tucano. Dan menyatakan bahwa “Super Tucano ini seperti pesawat tahun 1950-an”. Padahal tentu saja Super Tucano didisain sepenuhnya untuk keperluan bertempur, bukan “gagah-gagahan” semata. Sehingga disainernya di Embraer lebih mementingkan kemapuan membawa senjata, avionik, jarak jangkau, kemampuan maneuver, dan senjata yang mampu dibawa, dimana jika hal-hal tersebut disatukan, maka tentu akan mempengaruhi alasan bentuk dari super tucano ini. Saran sebagai alternatif lain pengganti OV-10 dari anggota DPR adalah pembelian pesawat jenis Pilatus dari Swiss. Saya tidak begitu paham maksud “Pilatus dari Swiss” jenis yang mana yang dimaksud anggota DPR tersebut, karena Pilatus Aircraft sendiri telah memproduksi berbagai jenis pesawat. Namun memang terdapat salah satu pesawat militer buatan Pilatus yang digunakan untuk keperluan anti greliya yakni PC-7/9. Baik Super Tucano dan PC-7/9 memiliki kemampuan yang kurang lebih mirip, namun tentu saja yang perlu diperhatikan disini adalah ke inginan “user”, dalam hal ini adalah TNI AU. Karena TNI AU yang akan mengoperasikan peralatan tersebut, apalagi pilihan tersebut dijatuhkan setelah adanya pertimbangan mengenai kesiapan dari TNI AU sendiri, pemilihan mengenai spesifikasi yang diinginkan, dan resiko adanya embargo.


Kelanjutan dari proses Penggantian OV-10 Bronco ini tengah di ajukan ulang. Hal tersebut seperti yang dinyatakan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Iman Sufaat, bahwa “Pengganti OV-10 itu kita sudah proses ulang, dari awal lagi. Pengajuan yang pertama tidak lengkap dan terpaksa harus diproses dari awal sampai kepada proses penawaran harga. Pada hari Jumat (23/4), kita sudah ajukan ke Mabes TNI.”, dengan dilakukannya proses ulang tersebut, tentu saja pengadaan pengganti OV-10 akan semakin tertunda, hal tersebut tentu juga akan mempengaruhi pengembangan kemampuan alutsita yang menjaga Negara ini. Hal tersebut seharusnya dapat dihindari, apa lagi pada saat ini Indonesia tengah bersitegang dengan Malaysia mengenai kepemilikan blok Ambalat, lalu belum lagi dengan adanya peningkatan aktivitas sparatisme di wilayah NKRI. Sehingga pengembangan kekuatan alutsista TNI yang sangat mempengaruhi kemampuan TNI, tidak dapat ditunda-tunda lagi.


Oleh karena itu pada untuk di masa yang akan mendatang, harusnya terdapat adanya komunikasi yang baik antara TNI, Kemenhan, dan DPR. Sehingga proses penggantian Alutsista dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan se-efesien mungkin, dan Alutsista yang dipilih adalah benar-benar sesuai untuk di operasikan oleh TNI.


Kata Kunci : Super Tucano| TNI-AU

Sumber : Kaskus




Artikel ini menarik bagi Anda? Mari kita berdiskusi dan berbagi informasi terkait artikel ini dengan memberikan komentar di bawah ini. Mungkin saja tulisan yang saya sampaikan masih kurang tepat, sehingga komentar dan perbaikan dari anda dapat memberikan masukan baru sehingga kita semua mendapatkan informasi yang benar-benar akurat. Silahkan komentari artikel ini menggunakan Account Sosial Media anda, namun hindari memberikan komentar yang menghina atau merendahkan pihak manapun.