GI |
29 Apr 2015 19:20:02
=======================
Konsekuensinya ke Indonesia
=======================
Yang lebih lucu lagi, nilai tukar Rupiah terhadap SEK Swedia juga sedang menguat. Dari Rp1750 setahun yg lalu, skrng turun ke Rp1550 -- malah sempat menyentuh Rp1450.
Berita paling bagus disini -- tidak seperti yg lain, kontrak Gripen dapat ditandatangani dalam SEK Swedia.
Typhoon dan Rafale kontraknya pasti dalam Euro; sedangkan F-16 dan Sukhoi sudah pasti akan dalam US Dollar.
(Lihat di atas untuk Sukhoi! Russia tidak akan menjual dalam Rubel, krn mrk sedang butuh USD)
Tentu ini juga akan memperhitungkan faktor konversi biaya pembelian komponen utk Gripen seperti mesin F414G yg harus dibayar Swedia dalam US Dollar.
Tetapi karena primary kontraktor utama Gripen adalah SAAB Swedia --- Gripen tetap berpotensial menjadi penawaran yang justru PALING MURAH dalam tender pengganti F-5E.
Mari kita bermain asumsi disini!
:)
Kalau nilai kontrak Brazil yg 40 milyar SEK (tepatnya 39,3 milyar SEK) itu dijadikan acuan, dan taruh kata Indonesia hanya membeli 16 pesawat; dan kita bisa mendapat nilai kontrak 10 milyar SEK.
Kenapa semurah ini? Krn kontrak Indonesia yg lebih kecil tidak akan menuntut terlalu banyak extra seperti yg diminta Brazil.
Brazil berencana utk memproduksi Gripen disana, dan memasang sebanyak mungkin komponen Brazil; sedangkan Indonesia sepertinya masih belum siap, jadi lebih cenderung akan import utuh ala Thailand.
Kalau 10 milyar SEK ini dijadikan acuan, berarti nilai kontraknya hanya US$1,2 milyar!
US$74 juta / unit utk harga penuh (bukan harga kosong spt pembelian2 yg lain) -- termasuk initial provision, training, spare part, dan investasi infrastruktur.
Dengan harga segini, sepertinya masih cukup kembalian untuk membeli Erieye radar, dan license production RBS-15 missile di Bandung.
Faktor yg lebih baik lagi --- Swedia akan mengajukan kontrak Government-to-Government langsung TANPA perantara seperti you-know-who.
Melektech |
29 Apr 2015 21:48:15
Wow, analisa yang detail dan komplit, luar biasa, salut buat anda
memang sekarang program pemerintah untuk Impor menghindari US$
Korsel dengan Won :
"Tahun 2014 yang lalu Bank Indonesia (BI) dan Bank of Korea (BoK) menandatangani kerjasama barter mata uang (bilateral currency swap agreement)"
Nah sekarang tinggal China dengan Yuan nya
Melektech |
30 Apr 2015 01:10:17
Namun yang bikin pertanyaan bung @GI
bilateral currency swap itu nilai neraca perdagangan harus seimbang antara Indonesia - Swedia
dengan kata lain, sebenarnya adalah Imbal-Beli, atau saling membutuhkan
atau dengan kata lain adalah Offset 100%, entah itu barangnya apa
dan itu saya yakin pembicaraanya butuh waktu yang panjang
itulah kenapa ada uang "Internasional" yaitu US$, agar tidak beresiko
iboy6 |
30 Apr 2015 08:32:08
@bung GI
salah satu faktor penghalang deal gripen adalah delivery time,dimana gripen pertama baru bisa diantar(jika deal) tahun 2020 keatas solusi yg dulu bung GI kasih adlah dgn menyewa gripen C/D namun dgn kejaddian terbakarnya f-16 hibah dulu sepertinya TNI AU bakal menolak opsi pespur second baik beli,hibah ataupun sewa so bagaimana peluang gripen sekarang?
GI |
30 Apr 2015 10:04:56
Bung Melektech,
Sy rasa batasannya KALAU dalam transaksi dengan SAAB, hanya akan terbatas ke nilai kontrak, bisa ditandatangani dalam SEK, bukan US Dollar.
Orang SAAB sendiri bilang, kalau kontrak di Brazil selalu ditanda-tangani dalam SEK. Hanya saja, krn Brazil sebagai exportir minyak, mempunyai kebiasaan utk menilai semua transaksi dalam USD, yah, pernyataan umumnya dibuat dalam USD.
==============================================
“The contracts are signed in Swedish kronor, but Brazil is an oil economy where a lot is based on the dollar,” Carlsson told SVT.
==============================================
Kalau soal currency swap seperti yg dilakukan Indonesia-Korea itu lebih mengacu ke perdagangan internasional yg men-cover bermacam2 produk. Ini memang jauh lebih rumit.
Btw -- dalam setiap transaksi Gripen, biasanya pemerintah Swedia jg mulai dapat menawarkan offset package-nya sendiri, mulai dari investasi di industri lokal negara pembeli, sampai penawaran beasiswa di Swedia. Mungkin transaksi2 semacam ini juga akan di-negosiasikan dalam Krona juga.
GI |
30 Apr 2015 10:21:27
Bung iboy6,
Benar. Masalah berikut utk Gripen adalah delivery time.
Kalau mau cepat tetapi menghindari pilihan bekas, option lain adalah membeli Gripen-C/D baru, dengan "swap option" ke versi E di masa depan.
Kita boleh membeli dulu 12 Gripen-C/D baru, dan kemudian bisa "tukar tambah" ke versi E/F kalau pesawatnya udah siap di masa depan.
Ini bukan tehnik pembelian yg dibuat2.
Boeing menawarkan deal yg sama ke Malaysia, untuk membeli kembali 8 F-18D mereka, dan menawarkan option utk menggantinya dengan F-18F.
Tentu saja kontrak semacam ini lebih mahal dibanding menyewa seperti yg akan dilakukan Brazil (dan waktu itu, Swizerland).
Lagipula, dalam 200 ribu lebih jam terbang, belum pernah ada 1-pun Gripen yg mengalami kecelakaan krn kerusakan tehnis.
Jadi ini tergantung kebijaksanaan pmrnth saja.
## Di lain pihak, spt sy sudah pernah menulis.
Krn Indonesia masih dalam rangka menyiapkan integrasi ke-24 Block-52ID; sy rasa untuk saat ini, Indonesia masih belum siap untuk menambah pesawat tempur baru lagi, apalagi secepat mungkin.
Sblm membeli pengganti F-5E, Indonesia justru harus terlebih dahulu membeli senjata yg lebih baru utk armada F-16 --- AIM-9M dan AMRAAM C5. Jangan biarkan mereka terbang "kosong" seperti Sukhoi selama 10 tahun, kasihan!
Jadi dalam hal ini -- IMHO, konteks delivery Gripen-E yg terlambat justru sebenarnya paling sesuai dengan timeline kesiapan Indonesia utk menambah pespur / skuadron tempur baru.
Melektech |
30 Apr 2015 12:52:06
Bung @GI,
Dalam pertukaran mata uang langsung, model SEK Rupiah, gampangannya kita bertukar mata uang.
Swedia dapat Rupiah
Indonesia dapat SEK
tentunya kita membeli Gripen dengan SEK
Namun, Rupiah yang dipegang Swedia lalu untuk Apa ???
Tentunya Swedia akan membeli sesuatu ke Indonesia dengan Rupiah bukan ? ngak mungkin Swedia beli ke negara lain dengan Rupiah.
http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/06/15/neraca-perdagangan-indonesia-dengan-swedia-sangat-defisit-catatan-kunjungan-presiden-sby-ke-swedia-568946.html
dengan info diatas, kemungkinan pembelian Gripen langsung SEK Rupiah kemungkinan sangat tipis sekali, jadi tetap dengan Dolar US
Berbeda dengan Brazil yang masih memungkinkan dengan mata uang langsung, karena sesuai info anda di atas, Brazil adalah eksportir minyak
GI |
30 Apr 2015 15:37:08
@Bung Melektech,
Sepertinya ada salah pengertian disini.
Sy salah tangkap point-of-concern anda.
Anda berbicara ttg "currency swap".
Sepengetahuan sy, currency swap seperti ini lebih diperuntukan konteksnya untuk perdagangan bilateral, dibanding transaksi militer yg sifatnya lebih terbatas.
======================================
http://www.investopedia.com/articles/forex/11/introduction-currency-swaps.asp
======================================
Seperti dalam kasus Indonesia - Korea;
ini artinya perusahaan2 Korea yg mau export / import ke Indonesia, bisa mengambil pinjaman dngn bunga lokal yg lebih murah; dan sebaliknya, kalau perusahaan2 dari Indonesia mau export / import ke Korea, juga bisa mendapat pinjaman dalam mata uang dan bunga lokal yg lebih murah. Ini mempermudah proses expansion bagi kedua belah pihak.
Krn kontrak militer sifatnya tidak seluas bisnis semacam ini, biasanya tidak ada currency swap yg sedemikian. Lagipula hanya akan ada dua pihak yg berurusan lgs utk G-to-G agreement.
Kalau Swedia menginginkan kontrak utk nilainya dalam SEK; maka mereka akan terima bersih dalam SEK, tidak perlu menimbun rupiah utk currency swap.
Indonesia yg justru harus membeli SEK dari pasar valas.
Kalau untuk financing agreement begitu, biasanya negara penjual yg akan memberi loan guarantee (biasanya dari bank lokal mrk sendiri) untuk partial financing bagi negara pembeli. Kontrak transaksi Rafale Mesir juga diatur sedemikian rupa.
Nah, sisanya pembayaran financing ini -- kemudian bisa di-negosiasikan lagi. Apa mau ttd "currency forwarding" agar nilai tukar SEK thd Rupiah atau USD bisa dikunci dahulu pada nilai tertentu, atau tidak.
GI |
04 May 2015 10:00:53
Saab's Gripen Enter a new High-Fly Zone.
===================================
http://www.defensenews.com/story/defense/air-space/strike/2015/05/03/saabs-gripen-enters-a-new-high-fly-zone/26692269/
===================================
Cuplikan dari paragraf yg menarik re Indonesia dan India
=====================================================
"We know Malaysia is interested, Ahlqvist said, "and Indonesia has started an F-5 replacement program. They want something as early as 2019. We know there's a tradition there to buy Russian, but the new president wants a transparent procurement process, and we believe we have a good chance there."
India, which chose Rafale over Gripen in the Medium Multi-Role Combat Aircraft competition, remains "always of interest," Ahlqvist said. "We know there is something else needed. They're struggling with their Light Combat Aircraft [LCA] program, and should there be a requirement for something else, we are there with technological transfer and industrial cooperation."
The LCA program could involve 150 to 200 aircraft, he noted, "so it's very interesting to us. We are ready to do a very comprehensive program in India."
=======================================================
Presiden Jokowi menginginkan "transparant procurement process" untuk Indonesia.
Setuju sekali.
Tidak ada lagi konsep pakai perantara, sogok-menyogok, dan biaya "komisi" tambahan % seperti kontrak dgn you-know-who. Sudah spesifikasinya kemungkinan dirahasiakan -- kita hanya akan membeli kucing dalam karung.
Kita lihat saja bagaimana kompetisi ini akan berlanjut.
Artikel ini sendiri menuliskan, kalau SAAB sedang menyidiki kemungkinan Embraer Brazil untuk membuka "second production line" utk Gripen-NG. Jadi isu kalau SAAB tidak bisa memenuhi produksi (untuk Indonesia) konteksnya semakin kurang relevan.
Dan spt sudah sy tuliskan diatas --- India juga kemungkinannya cukup besar utk memilih Gripen-NG sebagai pengganti MiG-21.
Dengan Brazil berencana membeli 100 pesawat, dan kemungkinan India membeli sekurang2nya 200 pesawat, peta akuisisi kontrak pesawat tempur akan sangat menarik.
Keputusan India akan membuat posisi Gripen-NG sangat solid sebagai ahli waris tulen dari F-16A/B --- yg pada awalnya sbnrnya dibenci USAF yg mencintai konsep twin-engine heavy fighter yg muahal, dan cenderung SELALU dipercundangi pespur single engine.
Mau mengganti pswt2 Generasi ke-3 yg kemampuannya solid, dan biaya operasional-nya murah seperti MiG-21, dan F-5E?
Pilihan sebenarnya memang tidak pernah banyak.
Gripen-NG.
Admin |
04 May 2015 14:06:39
@GI :
terkait komentar mas dibawah :
===================
Presiden Jokowi menginginkan "transparant procurement process" untuk Indonesia. Setuju sekali.
Tidak ada lagi konsep pakai perantara, sogok-menyogok, dan biaya "komisi" tambahan % seperti kontrak dgn you-know-who. Sudah spesifikasinya kemungkinan dirahasiakan -- kita hanya akan membeli kucing dalam karung.
===================
yup setuju sekali jika ini benar benar bisa dilaksanakan. tapi saya pribadi memandang ini terlalu indah untuk terjadi di Indonesia. dipermukaan, semuanya akan terlihat begitu rapi, di bawah ah siapa yang tau. kita tidak bisa menutup mata bahwa hampir semua punya jalur belakang, tanpa terkecuali (menurut saya)
terkait komentar mas dibawah :
==================
Artikel ini sendiri menuliskan, kalau SAAB sedang menyidiki kemungkinan Embraer Brazil untuk membuka "second production line" utk Gripen-NG. Jadi isu kalau SAAB tidak bisa memenuhi produksi (untuk Indonesia) konteksnya semakin kurang relevan.
==================
good news, tetapi tetap saja tidak bisa merubah keadaan dengan sedemikian drastis. diartikel ini sendiri, petinggi SAAB sudah menyadari Indonesia menginginkan pengganti F-5 di tahun 2019. Sementara pesawat Gripen E/F untuk AU Swedia untuk 60 pesanan pertama baru mulai dikirim pada tahun 2018. Pesawat tempur Gripen E Brazil pertama juga di 2019. kalaupun ada penambanan "lini produksi baru" di Brazil, kemungkinan besar itu berbarengan dengan "produksi" Gripen E/F di Brazil untuk pesanan Brazil ini. maka otomatis pesanan Brazil yang akan diutamakan.
maka, konteks masalah delivery time Gripen E/F ke Indonesia tahun 2019 tetap akan menjadi masalah bagi SAAB, kecuali jika salah satu atau lebih syarat ini dipenuhi :
1. Indonesia menunda rencana penggantian F-5 menjadi diatas tahun 2019 (mungkin tahun 2022-2023 mendatang)
2. Swedia bersedia mengalah dan memberikan kuato produksinya untuk Indonesia di 2019
3. Brazil mengalah dan memberikan kuota produksinya untuk Indonesia di 2019
4. SAAB menawarkan pesawat Gripen C/D plus untuk pengganti F-5 Indonesia.
5. SAAB merelakan pengganti F-5 menjadi milik kandidat lain, dan mengincar pasar pengadaan alutsista pesawat tempur Indonesia selanjutnya.
tanpa itu, tetap saja delivery time akan menjadi masalah bagi SAAB dalam menjual pesawat tempur Gripen E/F ke Indonesia. apalagi Swedia beberapa waktu lalu sudah merencanakan untuk menambah pesanan pesawat tempur Gripen E dari hanya 60 unit menjadi 70 unit.
apalagi ditengah kondisi kawasan Eropa yang memanas terkait konflik di Ukraina, besar kemungkinan Swedia akan memastikan pesanan Gripen E mereka bisa di delivery sesuai dengan Schedule.
jadi, masalah delivery Time tetap akan menjadi masalah.
just IMHO
GI |
04 May 2015 17:59:47
@Admin
Sbnrnya sy sendiri tidak terlalu khawatir dengan masalah delivery time.
Ini memang sering diperbincang2kan bagaimana Indonesia begitu membutuhkan delivery dalam waktu yg sangat cepat.
Tp kalau melihat keadaan skrg: Sy meragukan kalau Indonesia bahkan siap untuk menambah pespur baru di tahun 2019 --- mengingat proses pengadaan Block-52ID (dan upgrade Block-15OCU) saja masih terus berjalan, dan belum akan selesai sampai tahun 2017 (Lihat diatas!).
Proses ini sendiri sangat penting -- krn kekuatan udara Indonesia akan bertambah 2x lebih kuat -- dari sebelumnya hanya 26 pesawat menjadi 50 pesawat. Kalau terlalu terburu2, demi gandrung utk menambah kuantitas, apakah kualitas kesiapan tempur dan training bisa terjamin? Butuh waktu dan resource untuk juga investasi dalam re-organisasi kembali struktur Angkatan Udara agar siap menyokong begitu banyak pespur Gen-4.
Tentu saja, kalau Indonesia memesan pesawat baru; paling cepat semua manufacturer baru bisa memproduksi pesawat pesanan ini dalam tempo 3 tahun. Kalau memang Indonesia memang mengejar deadline 2019, paling cepat tahun depan sudah mesti taruh order.
Kita lihat saja perkembangan lebih lanjut.
Jadi akhirnya keputusan akan berada di tangan pemerintah.
IMHO sih, pilihannya cukup sederhana.
Kalau mau delivery cepat (Sukhoi atau F-16), berarti Indonesia HARUS membayar dalam USD. Kurs tengah dari xe.com saat ini Rp 12,992. Ini berarti 30-40% lebih mahal dibanding tahun 2010-2. Belum termasuk biaya komisi (kalau berurusan dengan pihak tertentu), dan dari segi spesifikasi sih belum tentu kualitasnya akan sebanding dengan yg diiklankan.
Pilihan dua Eurocannards yg lain tentu saja delivery time juga tidak akan masalah.
Harga kurs Euro (Rp14,461) boleh dibilang sedang cukup bersaing dibandingkan USD yg skrg sedang melambung tinggi, tetapi masalah utamanya -- Rafale dan Typhoon bukanlah pespur yg murah meriah dari segi biaya akuisisi ataupun operasional.
Lain daripada itu, baik Rafale ataupun Typhoon akan membawa keuntungan yg sebanding (atau lebih baik) dengan SAAB Gripen dalam hal partisipasi industri lokal, dan ToT --- kalau ini yg menjadi prioritas pemerintah.
Pilihan terakhir: Gripen.
Delivery mungkin akan agak terlambat, TAPI pembayaran pasti lebih hemat HANYA KARENA nilai tukar SEK (Swedish Krona) sedang murah2nya baik terhadap USD ataupun Rupiah.
============================================
Hanya Rp1500, dibandingkan Rp 1750 setahun yg lalu
============================================
Harga untuk paket lengkap 36 F-16 Block-52+ untuk Pakistan nilainya $3 milyar -- atau $1,5 milyar per skuadron (18 pesawat), atau kira2 $1,3 milyar untuk 16 pesawat. Angka inilah yg sering diberitakan dalam anggaran pembelian pengganti F-5.
IMHO (perhitungan kasar), harga untuk paket lengkap 16 Gripen-E akan berada di kisaran 10 milyar SEK, atau sekitar $1,1 milyar.
Biaya jangka panjang juga lebih murah, Gripen tidak mempunyai resiko downgrade; dan tentu saja peluang kerjasama dengan industri lokal juga juga akan lebih terjamin secara jangka panjang.
Jadi yah, mau cepat tapi mahal, atau mau sabar (sedikit) tapi lebih untung.