20 Jun 2013 17:23:32 | by Admin
| 55094 views | 3 comments
|
4.5/5 Stars dari 2 voter
Semangat pagiii!!! Walau sore, atau malam sekalipun, semangat kita harus seperti semangat di pagi hari.. Tak bosan-bosannya saya menulis kembali mengenai modernisasi militer Indonesia khususnya Angkatan Udara (AU). Kalau pembaca jeli, maka pasti akan bisa menangkap bahwa lebih dari 60% tulisan saya adalah mengenai Angkatan Udara. Bukan karena saya tidak menyukai topik tentang Angkatan Darat dan Angkatan Laut, tetapi lebih karena saya lebih menguasai materi artikel mengenai AU di bandingkan AD dan AL. Ada suatu keraguan dalam batin saya jika menulis artikel tentang AD dan AL, karena sejujurnya saya belum terlalu menguasai materinya, sehingga saya kuatir tulisan saya memberikan informasi yang salah. Informasi yang salah ini akan membuat para pembaca sekalian juga menerima informasi yang salah. Untuk itu saat ini saya masih belajar mengenai topik AD dan AL, sehingga saya bisa menulis artikelnya sebaik saya menulis artikel tentang AU.
Belajar dari Polemik Hibah F-16 yang terus menuai kontroversi sampai saat ini, saya mengajak pembaca sekalian untuk mempermasalahkan Pengganti F-5 dari sekarang, supaya ini tidak menjadi polemik yang tak berujung lagi. Mumpung keputusan belum ada, inilah saat yang tepak kita berargument sehingga bisa saja apa yang kita diskusikan mengenai pengganti F-5 ini, masih bisa ‘didengar’ pengambil keputusan sehingga bisa saja dipertimbangkan sebagai masukan. Untuk itu juga saya berpesan bagi pecinta dunia militer yang masih mempermasalahkan Hibah F-16 Bekas, sudahlah lupakanlah polemik itu, mari kita ciptakan polemik baru, yaitu Polemik Pengganti F-5. Ini juah lebih bermanfaat, karena belum ada keputusan. Ini lebih berguna dibanding dengan mempermasalahkan Hibah F-16 yang keputusannya sudah tidak bisa diganggu gugat. Bukan berarti saya setuju 100% dengan Hibah F-16 bekas itu, namun apapun yang kita permasalahkan dari hibah itu saat ini, hasilnya toh tak akan berubah sedikitpun.
Alternatif ke-3 Pengganti F-5 TNI AU.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ini adalah tulisan saya yang ketiga mengenai pengganti F-5 TNI AU. Disetiap tulisan saya mengusulkan alternatif penganti F-5 TNI AU yang mungkin bisa menjadi pertimbangan. Adapun alternatif pengganti F-5 TNI AU yang sudah/akan saya usulkan adalah sebagai berikut :
1. Su-35 BM dari Rusia (klik disini untuk membaca detailnya)
2. Tambahan Hibah F-16 dari Amerika (klik disini untuk membaca detailnya)
3. Dassault Rafale dari Prancis (yang akan dibahas di artikel ini)
4. Ada 1 atau 2 usulan lain yang akan saya tulis analisanya.
Dalam usulan ketiga ini, saya menempatkan Rafale sebagai usulan yang saya kira logis untuk di pertimbangkan sebagai pengganti F-5, walaupun dalam beberapa hal, opsi ini memiliki dampak yang negatif bagi TNI AU.
Mengapa Dassault Rafale cukup masuk akal sebagai pengganti F-5 TNI AU?
Dari segi karakteristik dan kemampuan pesawat, saya kira Rafale tidak usah lagi diragukan sebagai salah satu pesawat Multirole Fighter terbaik saat ini. Pesawat ini, menurut pandangan saya sebagai admin AnalisisMiliter.com memliki level yang sejajar dengan pesawat-pesawat generasi 4.5 seperti Su-35 BM dari Rusia, EF Typhoon dari Uni Eropa, Grippen NG dari Swedia (walaupun masih belum produksi), F-16 Block 60 dan F/A-18 E/F Super Hornet. Untuk itu dari segi kemampuannya, saya tidak akan terlalu membahas di artikel kali ini. Saya lebih menyoroti arah kebijakan para pengambil keputusan serta pertimbangan pertimbangan non teknis dalam menentukan pilihannya.
Selain faktor teknis diatas, tentunya kita harus melihat sudut pandang yang lain. Sebagai contoh, apakah Indonesia memiliki dana untuk mengakuisisi Rafale sebagai pengganti F-5 TNI AU. Saya rasa dengan MEF jilid II (2015-2019), dimana F-5 akan digantikan, saya rasa Indonesia dapat mencurahkan budget modernisasi TNI AU untuk fokus pada penggantian F-5. Dengan fokus pada proses ini, maka saya rasa Indonesia mampu membeli setidaknya satu skuadron Rafale.
Namun faktor utama sebenarnya bukan terletak pada kedua faktor yang sudah saya sebutkan diatas. Faktor utamanya saya melihat bahwa Indonesia harus mencari alternatif sumber teknologi dalam Project KFX/IFX Indonesia.
Kemungkinan Dassault Rafale sebagai Alternatif Technology untuk Project IFX Indonesia
Saat ini, saya sebagai admin AnalisisMiliter.com melihat bahwa kebijakan alutsista pertahan udara Indonesia saat ini sedang bertumpu pada project jangka panjang, yaitu project KFX/IFX bekerjasama dengan Korea. Setidaknya ini dapat kita lihat dari beberapa penyataan pihak pemerintah Indonesia, bahwa pemerintah Indonesia sangat berharap akan project KFX/IFX ini. Setidaknya itu terjadi di pemerintahan saat ini, entah keadaan ini akan berlanjut ke pemerintahan selanjutnya atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawab. Namun dapat kita katakan, suka atau tidak suka, saat ini Pemerintah Indonesia menempatkan project KFX/IFX sebagai pusat modernisasi angkatan udara Indonesia dimasa yang akan datang. Project ini sendiri sedang dalam masa penundaan sekitar 1.5 tahun yang berjalan sejak Maret 2013 yang lalu. Jika tidak ada kendala lagi, maka project ini kemungkinan akan dilanjutkan kembali di September 2014.
Nah, dalam perkembangan kerja sama dengan Korea Selatan ini, terdapat beberapa point penting yang mungkin saja harus dihadapi dan dipertimbangkan oleh Indonesia. Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan teman-teman di dunia maya serta mencari beberapa referensi yang cukup kredible, saya mendapati kesimpulan awal bahwa Indonesia memiliki banyak pelajaran berharga dan juga tantangan yang besar dalam project KFX/IFX ini. Salah satu tantangan terbesar dalam project KFX/IFX adalah adanya kemungkinan beberapa core technology yang dibutuhkan dalam project ini yang bisa diakses oleh Korea Selatan, namun tidak bisa diakses oleh Indonesia. Hal ini memang belum pasti 100% terjadi, namun kemungkinan itu saya kira bisa saja terjadi.
Kenapa kemungkinan ini bisa saja terjadi? Pertama sekali bahwa Project KFX/IFX ini adalah inisiatif Korea Selatan dan Korea Selatan memiliki persen sharing yang jauh lebih besar yaitu 80%, sedangkan Indonesia hanya 20%. Kedua, bahwa Korea Selatan sangat berharap sekali bahwa Korea Selatan akan mendapatkan Transfers of Technology (ToT) dari pemenang tender project FX-III mereka dimana kandidatenya ada 3, yaitu F-15 Silent Eagle dari Amerika, F-35 dari Amerika dan EF Typhoon yang merupakan produk gabungan beberapa negara Eropa, sekutu Amerika. Faktor ketiganya adalah kenyataan bahwa Korea Selatan adalah salah satu sekutu dekat Amerika dan juga negara Eropa lainnya (NATO), sedangkan Indonesia bukan sekutu dekat mereka (walaupun juga bukan musuh mereka).
Nah, yang menjadi persoalan adalah pada seberapa banyak ToT yang akan di peroleh Korea Selatan dari pemenang tender FX-III mereka. Saya sebagai admin AnalisisMiliter.com memandang bahwa Korea Selatan memiliki daya tawar yang cukup kuat untuk mendapatkan ToT ini. Namun pertanyaannya, apakah ToT yang diperoleh Korea Selatan itu juga boleh diberikan kepada Indonesia? Disinilah sebenarnya permasalahan yang cukup pelik namun juga menjadi tantangan bagi Indonesia. Bisa saja baik negara-negara Eropa (pengusung EF Typhoon) dan Amerika (pengusung F-15 SE dan F-35), mensyaratkan bahwa ada teknology sensitif yang mereka hanya bisa diberikan kepada Korea Selatan, namun tidak untuk Indonesia.
Bagaimana Indonesia harus bersikap jika kondisi ini benar-benar terjadi? Disini saya melihat bahwa Indonesia harus memiliki alternatif sumber teknologi alias plan B untuk meminimalisir terjadinya resiko ini. Nah disinilah saya melihat bahwa Indonesia harus menggandeng atau setidaknya melakukan pendekatan dengan sumber technology lain, sebagai sumber teknology alternatif. Dan saya melihat bahwa Prancis dapat dijadikan sebagai alternatif lainnya selain Rusia.
Nah, bagaimana caranya kita bisa memperoleh beberapa core technology dari Prancis? Ya tentu saja tidak ada ilmu dan teknology yang gratis. Semuanya harus dibayar…!!! Disinilah perlunya Indonesia memainkan sebuah kartu strategis. Kartu strategis yang saya maksud adalah Penggantian 1 Skuadron F-5 dengan 1 Skuadron Dassault Rafale. Kita tau saat ini Prancis sangat getol sekali menjual pesawat Rafale mereka keseluruh dunia. Dan saya kira kesempatan ini bisa digunakan oleh Indonesia untuk mendapatkan sesuatu yang di butuhkan Indonesia. Indonesia bisa saja memilih Rafale sebagai pengganti F-5 TNI AU dengan syarat bahwa Prancis harus bersedia memberikan teknology yang dibutuhkan Indonesia dalam project KFX/IFX tadi. Dalam hal ini, saya melihat bahwa baik Indonesia dan Prancis akan mendapatkan keuntungan, Prancis mendapatkan kontrak baru dan Indonesia mendapatkan pesawat baru beserta teknology yang bisa diterapkan di project KFX/IFX sebagai alternatif jika ada teknology yang “restricted” untuk Indonesia.
Dengan mempertimbangkan ini, saya melihat bahwa memilih Dassault Rafale sebagai pengganti F-5 TNI AU adalah suatu hal yang cukup masuk akal. Namun dibalik semuanya, pilihan ini juga tidak berarti bebas dari dampak buruk bagi modernisasi militer Indonesia baik jangka panjang, mapun jangka pendek. Nah sekarang, mari kita lihat, apa dampak buruknya jika Rafale dipilih sebagai pengganti F-5 TNI AU.
Dampak Negatif Jika Rafale sebagai pengganti F-5 TNI AU
Pilihan Rafale sebagai pengganti TNI AU juga memiliki banyak dampak negatif bagi modernisasi TNI AU. Sebagaimana kita ketahui, untuk fighter TNI AU saat ini mengoperasikan tiga jenis Fighter yaitu F-5 E/F, F-16 A/B (sebentar lagi akan ditambah 24 F-16 C/D) dan Su-27/30. Dan cita-cita pemerintah sendiri adalah melakukan penyederhanaan type fighter dari tiga type menjadi 2 type saja. Itulah harapannya bahwa pengganti F-5 TNI AU diharapkan akan menyederhanakan type fighter ini. Nah seandainya Dassault Rafale benar-benar dipilih sebagai pengganti F-5, maka TNI AU tetap akan memiliki tiga type fighter yaitu Rafale, F-16 dan Sukhoi. Sebenarnya kombinasi ini cukup memberikan efek gentar bagi tetangga, namun juga akan memberatkan Indonesia dari segi logistik dan juga masalah maintenance.
Saya membayangkan seandainya Rafale ini benar-benar menjadi pengganti F-5 TNI AU, maka di tahun 2020 TNI AU akan ada Rafale dengan senjata MBDA Meteor-nya, ditambah Sukhoi dengan R-77 (asumsi sudah datang) dan F-16 dengan AIM-120 C (asumsi sudah dibeli). Satu kombinasi maut sebenarnya, namun apakah ketiganya dapat mendukung satu dengan lain dalam sebuah system Network-centric Warfare masih menjadi pertanyaan. Apakah ketiganya dapat bertukar data untuk membentuk system tempur yang saling membantu, masih menjadi pertanyaan besar. Padahal kedepannya system Network-centric Warfare inilah yang sangat menentukan sukses tidaknya satu operasi tempur sekali besar.
Maka saya mengambil istilah kombinasi Rafale, F-16 dan Sukhoi ini akan menciptakan alutsista gado-gado di TNI AU. Memang tidak selamanya gado-gado berarti negatif, namun juga tidak selamanya berarti positif.
Dari penjelasan diatas saya menuliskan beberapa poin kelemahan jika seandainya Dassault Rafale benar-benar dijadikan sebagai pengganti F-5 TNI AU, yaitu :
1. Tujuan penyederhanaan type fighter tidak tercapai.
2. Memungkinkan terjadinya masalah logistic nighmare
3. Biaya maintenance dan operasional mungkina akan lebih mahal dibandingkan jika hanya ada 2 type fighter.
4. Masalah Network-centric Warfare yang mungkin susah untuk dicapai dengan tiga type fighter ini.
Dampak Positif Dassault Rafale sebagai pengganti F-5 TNI AU.
Selain dampak negatif diatas, tentunya pilihan ini juga memiliki dampak positif. Beberapa diantaranya sudah saja jelaskan dengan panjang x lebar diatas. Namun saya sebagai admin AnalisisMiliter.com akan menuliskan point-pointnya, diantaranya :
1. Pertama sekali TNI AU mendapatkan pesawat baru yang berkualitas sebagai pengganti F-5 TNI AU.
2. Indonesia memungkinkan untuk mendapatkan sumber teknology alternatif untuk digunakan di project KFX/IFX yang sedang diikuti Indonesia.
3. Dengan adanya Rafale, maka Indonesia tidak lagi sepenuhnya bergantung kepada sukses tidaknya project KFX/IFX. Karena kalaupun KFX/IFX gagal, setidaknya masih ada Sukhoi dan Rafale di TNI AU, jika F-16 sudah terlalu tua untuk dioperasikan.
Kesimpulan Akhir
Dari penjelasan panjang x lebar diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Rafale cukup logis dan masuk akal untuk dijadikan sebagai pengganti F-5 TNI AU. Berpulang dari dampak negatif dan positifnya, saya merasakan bahwa adalah bukan mustahil bila suatu saat nanti F-5 TNI AU benar-beanr digantikan oleh Rafale.
Namun seperti saya sebutkan diawal bahwa apa yang saya tulis ini, hanyalah opini saya pribadi. Sehingga apa yang saya tuliskan ini, bisa saja salah, namun bisa juga benar. Untuk itu koreksi dan masukan serta diskusi sehat dari rekan-rekan sekalian akan membuka serta menambah wawasan kita semua.
Akhir kata, saya berharap bahwa Indonesia akan mendapatkan yang terbaik. Bahwa Indonesia akan belajar dari banyak kesalahan dan pengalaman pahit dimasa lalu untuk mejadi Indonesia yang besar dan disegani di seluruh dunia. Sekian dari saya, salam Admin AnalisisMiliter.com
Label :
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Dirgahayu Republik Indonesia ke 67 by AnalisisMiliter.com
2.
Malaysia Segera Terima Pesawat A400M Pertama
3.
Modernisasi Angkatan Udara Singapura Dalam Perspektif Indonesia
4.
Project Jet Tempur KFX/IFX Indonesia – Korea Kembali Tertunda?
5.
Rusia Beli Tambahan 50 Unit Pesawat Tempur Sukhoi Su-35S?
6.
Prediksi Pesawat MRCA Malaysia
7.
Pesawat Tempur Gripen E/F Sebagai Pengganti F-5 TNI AU
8.
Apa Kabar 24 Unit F-16 Block 25 “Hibah” dari Amerika?
9.
Pengaruh Uji Coba Rudal Yakhont TNI AL di Asia Tenggara
10.
Akhirnya 3 Unit F-16 Block 52ID Terbang Menuju Indonesia
Yanto |
14 Apr 2015 00:17:59
Memang berat tantangan membangun alutsista TNI mas.. Karena alutsista TNI baik AU, AL, maupun AD ini dari sisi kuantitasnya TANGGUNG, sisi kualitas juga TANGGUNG, dan berasal dari blok barat (Amerika-Inggris-Perancis-Jerman) dan blok timur (Rusia-Cina).
Bisa dikatakan secara "kepribadian" militer, kita masih abu-abu. Bisa mengoperasikan alutsista blok barat maupun timur (sebatas mengoperasikan, bukan memproduksi di bawah lisensi, khususnya utk pesawat tempur).
Saya rasa Indonesia harus keluar dari zona ambigu ini dengan secepatnya MANDIRI secara alutsista.. Lihat Israel.. Angkatan Udara negara itu meski masih membeli alutsista dari amerika, tapi pelan namun pasti industri kedirgantaraan mereka (IAI) dan industri persenjataannya (RAFAEL dan ELBIT) berupaya membuat pesawat F-16 dan F-15 mereka DIJEJALI dengan perangkat teknologi dan senjata BUATAN MEREKA SENDIRI..
Begitu F-16I dan F-15I datang, mereka langsung dibedah untuk diganti perangkat elektronik dan avionik serta senjatanya untuk diganti dengan BUATAN DALAM NEGERI..
Kemudian beberapa spare part juga telah mereka buat sendiri..
Sekarang saatnya Indonesia memilih untuk teknologi Pesawat Tempur.. mo ngiblat kemana?? Amerika, Perancis, ato Rusia.. itu dulu!!
Setelah itu kita pelajari habis-habisan teknologinya, beli TOT mahal ngga apa2.. yang penting dapat ilmu, dan selanjutnya kembangkan sendiri.. Dan ngga mudah dibelokkan arahnya (istilah jawa nya "kemeron")..
Kita baru fokus pelajari Sukhoi, eee.. ada tawaran hibah F-16 yang bikin kita "terpecah" lagi..
AYOLAH CARI BENTUK KITA SENDIRI!!! Mo ngiblat kemana dulu.. pertimbangkan faktor politisnya untuk keberlanjutan ke depan, habis itu beli TOT nya meski mahal, dan pelajari itu habis-habisan.. dan kita produksi sendiri versi kita..
Mungkin ga langsung produksi pesawatnya.. Spare partnya dulu lah kita produksi, trus baru senjata-senjatanya kita produksi "under licensed",habis itu kita buat versi kita sendiri..
Persis seperti sejarah senapan serbu SS2 itu lho..
Berawal dari kita beli FNC, trus kita produksi "under licensed" dengan nama SS1, habis itu udah!! kita kembangkan dan produksi sendiri dengan nama SS2.. MANDIRI!!!
Gripen-Indonesia |
14 Apr 2015 09:54:20
Masukan anda ini sgt menarik.
Kalau soal memilih tehnologi dari negara mana, re terutama pesawat tempur; sebenarnya Indonesia ini agak terjepit, dan pilihannya tidak banyak.
## Tehnologi US (dan secara tak langsung, Korea) --- Indonesia akan selalu dibatasi.Tidak seperti contoh Israel yg anda sebutkan, Indonesia tidak akan pernah mendapat kebebasan untuk memilih apa yg diperlukan karena alasan politik dan geografis. Sy sudah menuliskan berulang kali; F-16 Block-52ID tidak sebanding dengan spesifikasi Block-52 negara2 lain; ini hanya Block-25 atau Block-32 yg sudah dimodernisasi sedikit.
ToT dari US (atau anak kesayangan mereka, Korea) -- jangan pernah bisa berharap banyak!
## Tehnologi Russia -- sejak tahun 1982 relatif sudah "unproven". Kenapa setelah 1982?
Ini karena Russia sendiri belum bisa menunjukkan setelah sistem pertahanan udara mereka (yg dipakai Syria) dihabisi dalam pertempuran udara di Beqaa valley oleh Israel, mereka belum menunjukkan kemajuan yg berarti. Sebaliknya, tehnologi persenjataan Barat skrg ini, boleh dibilang adalah evolusi lebih lanjut dari proven sistem yg sudah dipakai Israel di tahun 1982; UAV, AEW&C, Electronic Warfare, Aerial Networking -- dan yang paling penting -- "complete situational awareness".
Lagipula sama seperti US, Russia juga sudah terkenal pelit dalam ToT.
## IMHO, sudah saatnya Indonesia berhenti "main mata" dengan US dan Russia, dan kembali ke asalnya.
Sejak pertama kali berdiri, PT Dirgantara Indonesia (waktu itu IPTN) dibawah pimpinan pak BJ Habibie sbnrnya sudah menunjukkan jalan yang benar sejak 30 tahun yg lalu; kerjasama dengan perusahaan2 Eropa.
Skrg perusahaan2 Eropa sudah dengan senang hati menyodorkan tangan mereka untuk kerjasama yg lebih jauh dengan Indonesia dalam bidang pertahanan. Tidak akan pernah ada pembatasan ToT (seperti kedua pilihan lain); produk mereka juga bersaing, dalam bbrp hal malah lebih unggul dibanding buatan US atau Russia; dan keunggulan terakhir ---- market dari setiap perusahaan Eropa biasanya lebih kecil dibanding US atau Russia.
Dengan kata lain --- Indonesia bisa menjadi customer terbesar salah satu perusahaan Eropa ini; dan mendapat perlakuan lebih baik. Sebaliknya, untuk US ataupun Russia, Indonesia sebagai military customer hanyalah ikan teri di tengah lautan. Kenapa mereka mau ambil pusing?
## PIndad SS2 itu contoh yang bagus dari kemandirian basic -- semuanya berasal dari license production FN FNC yg buatan Belgia.