25 Mar 2014 21:49:38 | by Admin
| 50488 views | 6 comments
|
4.7/5 Stars dari 3 voter
Semangat pagi..!!! Tulisan saya kali ini adalah opini saya pribadi sebagai orang awam yang mencoba untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada aspek pertahanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai orang awam, saya menyadari sepenuhnya bahwa saya memiliki pengethauan yang sangat terbatas dalam memahami berbagai persoalan pertahanan di negeri ini. Namun ditengah keterbatasan ini, saya berusaha belajar dari berbagai sumber dalam merangkum tulisan ini. Namun tetap saja, saya menyadari bahwa mungkin akan banyak sekali kekurangan dalam tulisan kali ini. Topik yang akan saya bahas adalah mengenai Komando Pertahana Udara Nasional (Kohanudnas).
Sebagai lembaga Komando yang bertugas menegakkan kedaulatan Udara Indonesia, saat ini Kohanudnas memiliki 4 wilayah Komando Sektor (Kosek) yang masing masing memiliki Satuan Radar (satrad). Namun saat ini, Kohanudnas tidak memiliki Pesawat Tempur sendiri, sehingga Kohanudnas hanya mendeteksi adanya ancaman melalui radar di setiap Kosek Hanudnas. Hasil tangkapan radar tersebut akan di sampaikan ke Mabes TNI, Mabes TNI lalu menyampaikannya lagi ke Mabes TNI AU untuk di tindak. Mabes TNI AU selanjutnya menyampaikannya ke Komando Operasional terkait untuk melakukan tindakan. Itu artinya bahwa tugas pendeteksian berada di bawah Kohanudnas, sedangkan tugas untuk mengeksekusi ancaman berada di kendali Mabes TNI AU.
Koordinasi antar lembaga ini tentunya memerlukan waktu dari awal deteksi ancaman hingga adanya tindakan dari kekuatan udara Indonesia. Sementara ancaman yang datang memasuki wilayah Indonesia tentunya harus di tangkal dengan waktu respon secepat mungkin. Artinya semakin cepat di atasi akan semakin baik untuk menegakkan kedaulatan udara Indonesia. Namun pada beberapa kasus, kita mendapati bawah waktu respon dalam mengatasi ancaman kedualatan Udara Indonesia tidaklah cepat. Sebagai contoh saja, peristiwa Bawean di Juli 2003 dimana beberapa unit F/A-18 Hornet milik US Navy melanggar wilayah udara Indonesia di sekitar Pulau Bawean Jawa Timur. Deteksi ancamana ini pertama sekali dikatahui sekitar pukul 11.42 pagi, dimana terdeteksi beberapa F/A-18 Hornet melakukan manuver yang mengganggu penerbangan sipil. Namun karena banyak faktor, 2 unti F-16 milik TNI AU baru melakukan misi identifikasi visual (intercept) sekitar pukul 17.00 sore. Itu artinya waktu respon terhadap ancaman ini sampai beberapa jam. Mungkin banyak faktor yang mempengaruhi lamanya respon dari Indonesia terhadap ancaman ini. Diantaranya kondisi Alutsista TNI AU yang ketika itu sedang dalam embargo militer dari AS, sehingga dari 10 unit F-16 hanya beberapa unit saja yang bisa di terbangkan. Selain itu, tentunya adanya koordinasi antara Kohanudnas, Mabes TNI, Mabes AU dan Koops AU terkait.
Contoh kasus lain adalah kasus “Force Down” pesawat Boeing 737-300 milik Pakistan International Air (PIA) yang melintas wilayah Indonesia tanpa izin pada Maret 2011. Dikejadian ini, portal Tempo memberitakan bahwa radar Kohanudnas mendeteksi Black Flight ini sekitar jam 12.00 WITA dan beberapa saat kemudian diperintahkan 2 unit Su-30 MK2 untuk mengintercept dan “Force Down”. Kejadian lain yang juga melibatkan Su-27/30 dari Skuadron 11 Makassar adalah “Force Down”” satu unit Cessna 208 milik Amerika Serikat pada 30 September 2012. Sebelum dipaksa mendarat , pesawat Cessna ini sudah dideteksi radar Kohanudnas dan sudah diminta mendarat di Makassar. Namun karena pilot membandel, akhirnya Su-27/30 dari Skuadron 11 Makassar mengintercept dan memaksa pesawat Cessna ini mendarat di Lanud Balik Papan Kaltim.
Dari ketiga contoh kasus diatas, dapat kita lihat bahwa Koordinasi antara Kohanudnas dengan Mabes AU melalui Mabes TNI akan sangat penting untuk menjamin waktu respon yang cepat terhadap setiap ancaman kedualuatan udara Indonesia. Koordinasi ini sangat penting karena pendeteksian ancaman dan penindakan ancaman berada pada lembaga yang berbeda. Beberapa tahun lalu, mencuat wacana agar Kohanudnas diberikan wewenang untuk melakukan penindakan terhadap semua ancaman kedaulatan udara Indonesia. Pada tahun 2009, Kohanudnas sudah meminta kewenangan untuk mengendalikan pesawat tempur seperti F-16, Su-27/30 maupun F-5 jika ada black flight di wilayah Indonesia. Alasan dibalik permintaan ini adalah untuk mempersingkat waktu respon terhadap setiap pelanggaran di wilayah Udara Indonesia.
Belakangan ini muncul isu isu yang belum bisa saya pastikan kebenarannya bahwa Kohanudnas akan memiliki pesawat tempur sendiri yang terpisah dari TNI AU, sehingga jika ada black flight Kohanudnas bisa langsung melakukan penindakan tanpa harus berkoordinasi dengan TNI AU. Artinya Kohanudnas tidak akan lagi mengandalkan pesawat tempur TNI AU yang berada di Koopsau I (Skuadron 1, 12, dan 16) dan Koopsau II (Skuadron 3, 11, 14, dan 15). Jika isu ini benar benar akan terjadi, maka Kohanudnas akan memiliki Skuadron tempur sendiri yaitu Skuadron Buru Sergap 301, 302, 303 dan 304. Perhatikan struktur organisasi di bawah ini :
Chart Organisasi diatas adalah gambaran secara garis besar garis koordinasi antara Kohanudnas dengan Mabes AU. Data ini saya ambil dari berbagai sumber, namun saya hanya memfokuskan kepada Fighter dan Radar saja. Sebagaimana kita ketahui, TNI AU baik Koops AU 1 dan Koops AU 2 selain memiliki Skuadron Fighter, juga memiliki Skuadron angkut dan Skuadron taktikalnya. Saat ini Kohanudnas hanya memiliki satuan Radar di masing masing Komando Sektor Hanudnas (Kosekhanudnas). Sedangkan untuk Skuadron Fighter (pesawat tempur Sergap) saat ini tidak ada, dan hanya mengandalkan Skuadron Tempur yang ada di TNI AU. Skuadron Tempur Sergap Skuadron 301, Skuadron 302, Skuadron 303 dan Skuadron 304 yang ada dibawah Komado Kohanudnas di gambar diatas sampai saat ini masih sebatas wacana yang belum terealisasi.
Apakah Kohanudnas Memerlukan Pesawat Tempur Terpisah dari TNI AU?
Sebelumnya sudah dijelakan bahwa koordinasi yang baik dan cepat dari semua pihak akan membuat respon time terhadap ancaman juga akan semakin cepat. Nah disini muncul pertanyaan, apakah sebenarnya Kohanudnas memerlukan pesawat tempur sendiri? Ataukah cukup dengan menyederhanakan rantai komando antara Kohanudnas, Mabes TNI dan Mabes AU agar proses koordinasi bisa berjalan dengan cepat dan efisien. Kedua pernyataan ini tentunya akan bermuara kepada satu tujuan, yaitu jaminan bahwa respon time yang cepat untuk setiap ancaman kedaulatan udara Indonesia.
Disini dapat kita ambil kesimpulan bahwa ada dua opsi solusi yang bisa ditawarkan untuk menjamin respon time yang cepat terhadap ancaman, yaitu :
1. Kohanudnas diberikan wewenang untuk memakai unit pesawat tempur TNI AU jika ada ancaman dan waktu koordinasi antar lembaga terkait dipersingkat.
2. Kohanudnas diberikan pesawat tempur sendiri yang terpisah dari TNI AU sehingga Kohanudnas bisa melakukan penindakan untuk setiap ancaman tanpa harus berkoordinasi dengan TNI AU.
Kedua opsi diatas tentunya memiliki nilai plus dan minus masing masing. Untuk opsi pertama (Kohanudnas memakai pesawat TNI AU), menurut saya akan memiliki nilai plus sebagai berikut :
a. Anggaran untuk penambahan alutsista TNI AU tidak akan berkurang
b. Anggaran untuk operasional dan maintenance tentunya akan bisa ditekan karena pesawat yang digunakan adalah pesawat TNI AU.
c. Kohanudnas tidak terbebani tugas maintenace pesawat karena sudah dilakukan oleh TNI AU.
d. Tugas dan wewenang Kohanudnas dan TNI AU tidak saling tumpang tindih dalam menindak pelanggaran kedaulatan udara Indonesia.
Sedangkan dampak negatif opsi pertama (Kohanudnas memakai pesawat TNI AU) menurut saya adalah sebagai berikut :
a. TNI AU harus memberikan beberapa unit pesawatnya untuk selalu standby jika sewaktu waktu diperlukan oleh Kohanudnas.
b. TNI AU yang saat ini memiliki keterbatasan jumlah pesawat, tentunya akan terganggu jika Kohanudnas memakai pesawat TNI AU.
c. Respon time terhadap suatu ancaman kedaulatan udara Indonesia bisa relatif lebih lama karena harus ada koordinasi terlebih dahulu antara Kohanudnas dan TNI AU.
Opsi kedua dimana Kohanudnas memiliki pesawat tempur yang terpisah dari TNI AU juga memiliki dampak positif dan negatif. Menurut saya dampak positifnya adalah sebagai berikut :
a. Kohanudnas bisa mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia tanpa harus menunggu Koordinasi dengan TNI AU, sehingga respon time akan relatif lebih cepat.
b. Kohanudnas dan TNI AU memiliki pesawat tempur masing masing, sehingga tidak mengganggu jadwal latihan dan operasi masing masing
c. Tugas TNI AU relatif berkurang karena sudah dibantu oleh Kohanudnas untuk misi tertentu.
Sedangkan dampak negatif, jika Kohanudnas memiliki pesawat tempur sendiri yang terpisah dari TNI AU menurut saya adalah sebagai berikut :
a. Memungkinkan adanya tumpang tindih tugas dan wewenang antara Kohanudnas dan TNI AU. Namun hal ini bisa diatasi jika ada pembagian yang jelas antara tugas dan wewenang masing masing.
b. Anggaran pengadaan alutsista pesawat tempur akan terbagi untuk TNI AU dan Kohanudnas
c. Karena memiliki pesawat sendiri sendiri, baik Kohanudnas dan TNI AU harus mempersiapkan SDM, logistik dan maintenace sendiri. Jika pesawat tempur Kohanudnas berbeda type dengan milik TNI AU, akan mengakibatkan “logistic nighmare” bagi Indonesia secara keseluruhan.
Dari beberapa pertimbangan diatas, saya berpendapat bahwa wacana Kohanudnas memiliki pesawat tempur yang terpisah dari TNI AU bisa saja dijalankan. Namun jika wacana ini tidak dijalankan, harus dipastikan bahwa koordinasi setiap lembaga terkait bisa berjalan dengan baik agar respon time terhadap setiap ancaman tetap cepat.
Semoga tulisan saya ini bisa bermanfaat bagi pembaca semua dan jika ada kata kata yang kurang tepat, mohon saran dan kritikan dari pembaca sekalian karena saya menyadari tulisan saya masih jauh dari sempurna. Saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca sekalian akan sangat saya hargai. Salam dari admin AnalisisMiliter.com untuk semua punggawa penjaga kedaulatan Negara Kesatuan republik Indonesia.
Sumber Referensi :
http://www.kohanudnas.mil.id/
http://www.antaranews.com/berita/248957/pakistan-air-sempat-dikejar-sukhoi-indonesia
http://adiewicaksono.wordpress.com/2009/03/19/kohanudnas-minta-kewenangan-penindakan/
http://www.tempo.co/read/news/2003/07/04/05521816/Pesawat-F-18-Amerika-Nyaris-Tembak-F-16-Indonesia
http://tni-au.mil.id/berita/sukhoi-tni-au-paksa-mendarat-pesawat-asing-di-balikpapan
http://nasional.kompas.com/read/2011/03/08/0626216/Dua.Sukhoi.TNI.AU.Paksa.Pesawat.Pakistan.Mendarat
Label :
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
F-16 Block 60/61 Sebagai Kandidat Pengganti F-5 TNI AU
2.
Malaysia Segera Terima Pesawat A400M Pertama
3.
Upgrade 2 Su-27 SK dan 2 Su-30 MK : Sebuah Opini
4.
Indonesia - Korea Tandatangani Kesepakatan Fase EMD Project KFX
5.
Kombinasi Maut Alutsista F-35A, Super Hornet dan Growler Australia
6.
Nasib Project KFX/IFX : Korea Selatan Borong 60 F-35 dan 60 F-15 Silent Eagle?
7.
Nasionalisme dan Batalnya Perjanjian DCA Indonesia – Singapura 2007
8.
Pentingnya Perananan T-50i Sebagai Pesawat LIFT TNI AU
9.
Menanti Pesawat Tempur Pengawal Langit Timur Indonesia
10.
Indo Defense 2012 : Contract Sign Caesar, MOU MBT Leopard & Astross II?
DropZone |
28 Nov 2014 11:21:20
Bagaimana pengelolaan satuan radar Kohanudnas saat ini?
Bukan kah satrad itu juga merupakan satuan TNI-AU?
Admin |
30 Nov 2014 07:55:59
@DropZone,
setau saya, satuan radar tetap berada dibawah kendali Kohanudnas bukan dibawah TNI AU. Setau saya Kohanudnas itu bertanggung jawab langsung ke Mabes TNI, bukan ke Mabes AU.
cmiiw
bagus |
15 Mar 2015 08:16:45
Bung Admin, seandainya kohanudnas memiliki pesawat tempur sendiri, apakah nanti kemungkinan timbul angkatan baru dalam TNI? Apakah kohanudnas yg punya pesawat tempur sendiri merupakan hal yg lazim di negara lain?
Admin |
15 Mar 2015 08:33:30
@bagus,
kohanudnas itu sendiri terpisah dari Mabes TNI kok, karena secara garis komando bukan dibawah kendali Mabes TNI, tapi dibawah komando Presiden langsung.
Diluar negeri konsep ini jg banyak kik. Sepeerti Amerika selaib memiliki Air Force juga punya Air National Guard. Rusia jg demikian cuma saya lupa istilahbya
Salam
DropZone |
29 Mar 2015 16:56:58
Wah sudah setahun ya, artikel ini.
Apakah ada opsi pemberitahuan via email bagi komentator jika ada komentar baru?
Mengenai struktur, saya masih agak bingung juga nih.
Dalam struktur di website TNI, Koopsau I dan II secara operasional ada di bawah kendali panglima TNI, bersama Kohanudnas, Kogabwilhan, Kostrad, Kopassus, Kodam2, Komando Armada (Koarmabar dan Koarmatim), Kolinlamil.
Kostrad, Kopassus, dan Kodam, di bawah pembinaan (bukan operasional) KSAD. Koarmabar, Koarmatim, dan Kolinlamil di bawah pembinaan KSAL. Koopsau di bawah pembinaan KSAU.
Kohanudnas, Kogabwilhan tidak ada jalur pembinaan.
Pelantikan dansatrad dilakukan oleh pangkosekhanudnas, tapi kadang dan satrad dilantik oleh KSAU.
TNI-AU sepertinya membentuk dan meresmikan Satuan Radar yang kemudian di bawah kendali operasi Kohanudnas.
Pemeliharaan radar tingkat ringan langsung dibawah Satrad, tetapi tingkat berat ada di Depohar 50 yang ada di bawah Koharmatau.
Jadi, sepertinya, TNI-AU yang akan membentuk dan memelihara (kelas berat) skadron udara Kohanudnas.
Kohanudnas dan Kogabwilhan, pembinaannya tidak di bawah Kepala Staf secara langsung, karena satuan2 yang dibawahinya itu daei berbagai matra.
Kohanudnas selain membawahi satrad TNI-AU juga yon arhanud TNI-AD serta kapal perang berkemampuan hanud TNI-AL.
Jadi status wing, skadron udara, dan pesawat tempur di bawah Kohanudnas akan sama statusnya seperti satrad, dan bahkan seperti arhanud AD dan hanud AL, di mana pesawatnya tetap teregristrasi sebagai milik AU, dan diberikan / bawah kendali operasi ke Kohanudnas.