01 Jul 2015 14:04:25 | by Admin
| 7528 views | 55 comments
|
4.1/5 Stars dari 4 voter
Militer Indonesia kembali harus berduka setelah satu unit pesawat angkut militer KC-130B Hercules dengan tail number A-1310 dari Skuadron 32 Malang, jatuh di Kota Medan Selasa (4 Juni 2015) siang. Pesawat transport kelas berat miliki Angkatan Udara Indonesia ini mengalami kecelakaan fatal beberapa menit setelah take off. Belum ada konfirmasi resmi terkait penyebab pasti kecelakaan karena masih dalam proses investigasi pihak terkait.
Pesawat transport ini dikabarkan akan berangkat dari Lanud Medan menuju Lanud Pontianak dalam rangka tugas mengantarkan logistic dan personil TNI yang dirotasi lokasi tugasnya. Naas kecelakaan fatal ini membuat pesawat KC-130B Hercules TNI AU ini jatuh dan menimpa perumahan penduduk di sekitar Simpang Simalingkar Medan. Belum ada kepastian berapa jumlah korban, tetapi diperkirakaan korban lebih dari 100 orang meninggal.
Hal ini karena pesawat tersebut mengangkut sekitar 100 orang penumpang baik militer dan sipil serta memiliki 12 orang crew. Belum lagi korban di darat yang berada tepat dilokasi jatuhnya pesawat tersebut yang memang merupakan kawasan padat penduduk. Pesawat yang jatuh mengalami kerusakan parah dan membuat perumahan penduduk juga hancur serta terbakar hebat.
Pesawat Terbang Rendah dan Jatuh Beberapa Menit Kemudian
Penulis sendiri pertama kali mendengar berita jatuhnya pesawat Hercules TNI AU ini sungguh terkejut. Apalagi berita itu penulis dengar hanya beberapa menit dari waktu kejadian dan belum ada media yang memberitakan. Apalagi lokasi jatuhnya pesawat tidak jauh dari kawasan tempat tinggal penulis.
Seorang teman penulis yang kebetulan berada di Jl. Jamin Ginting dekat lokasi jatuhnya pesawat menyebutkan, pesawat tersebut terbang sangat rendah sekali diatas Jl Jamin Ginting sebelum akhirnya jatuh tak jauh dari tempat beliau berada. Beberapa tetangga juga menyebutkan bahwa mereka melihat pesawat tersebut terbang dengan ketinggian yang sangat rendah sekali yang membuat mereka terkejut dan tak lama berselang mereka melihat pesawat menukik kebawah dan selanjutnya hanya terlihat kepulan asap hitam.
'Pesawat KC-130B tail number A-1310 milik Indonesia sebelum jatuh di Medan. Credit to : Ali Hanafiah, Image Source:Planespotters.net
Sampai kini belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan kenapa pesawat tersebut bisa terbang dengan begitu rendahnya dan akhirnya jatuh. Kita harapkan pihak terkait bisa melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memastikan penyebab kecelakaannya serta bisa meminimalisir kejadian serupa terjadi di kemudian hari.
Tudingan Usia Pesawat jadi Factor Penyebab Kecelakaan?
Pesawat KC-130B Hercules milik TNI AU yang jatuh di Medan kemarin siang memang adalah pesawat buatan tahun 1960an dan sudah dioperasikan oleh Indonesia sekitar 50 tahun. Dan selama 50 tahun pesawat ini sudah mengabdi bagi penegakan kedaulatan Indonesia. Namun benarkah usia tua ini yang menjadi factor penyebab kecelakaan pesawat Hercules Indonesia ini?
Pertanyaan ini sulit sekali dijawab dan dibuktikan secara ilmiah, karena harus menunggu investigasi dari pihak terkait sebelum sampai kepada kesimpulan penyebabnya. Namun sayangnya, banyak sekali orang di Indonesia ini yang begitu cepat mengambil kesimpulan bahwa factor umur pesawat adalah penyebab utamanya. Tanpa merasa bersalah, banyak sekali pihak yang langsung memberikan vonis terhadap umur pesawat ini. Ditambah lagi dengan banyaknya media yang memanaskan isu usia pesawat ini, sehingga seolah-olah sudah pasti usia pesawat adalah penyebabnya.
Padahal jika kita telusuri ada banyak sekali kecelakaan pesawat militer juga terjadi pada pesawat yang masih sangat baru sekali. Sebut saja kecelakaan pesawat angkut militer A-400 milik Turki yang merupakan pesawat yang benar benar baru. Namun di penerbangan perdananya, pesawat angkut kelas berat tersebut jatuh di Spanyol. Tidak hanya itu, ada banyak sekali yang menunjukkan bahwa factor usia belum tentu menjadi penyebab kecelakaan.
Lalu apa penyebab kecelakaannya? Tidak ada seorangpun yang tau saat ini sampai dengan hasil investigasi menyeluruh sudah selesai dilakukan pihak yang berwenang. Namun mirisnya, tipikal kebanyakan orang Indonesia sangat tidak sabar menunggu hasil investigasi dan cenderung untuk membuat vonis singkat tanpa merasa perlu menunggu investigasi lebih lanjut. Sedihnya lagi, tidak hanya masyarakat biasa, orang-orang berpengaruh di negeri ini pun tidak ketinggalan membuat vonis terlalu dini ini.
Usia pesawat yang memang benar sudah tua menjadi kambing hitam yang paling menarik bagi kebanyakan orang Indonesia untuk dipersalahkan. Lalu usia tua pesawat ini berkembang menjadi isu seolah-olah pemerintah melakukan pembiaran dan tidak perduli akan alutsista TNI tua yang ada di militer Indonesia. Pertanyaan dari penulis adalah benarkan pemerintah sama sekali tidak perduli dengan alutsista yang sudah uzur di militer Indonesia ini? Pertanyaan ini dilanjutkan apa latar belakang sehingga alutsista tua seperti pesawat KC-130B Hercules yang sudah tua ini masih beroperasi?
Latar Belakang Pesawat Hercules Uzur Masih Dipakai Militer Indonesia?
Sayang sekali kebanyakan orang Indonesia tidak perduli apa latar belakang mengapa pesawat berumur uzur seperti KC-130B Hercules yang mengalami kecelakaan kemarin masih beroperasi. Kebanyakan orang Indonesia hanya perduli mencari siapa yang harus dipersalahkan dari kejadian ini, dan tidak perduli dengan latar belakangnya.
Militer Indonesia sendiri memiliki sekitar 30 unit pesawat C-130 Hercules yang terdiri dari beberapa versi, diantaranya adalah versi C-130B, KC-130B, L-100 dan C-130H. Varian pesawat C-130B Hercules adalah pesawat Hercules pertama yang dibeli Indonesia dari Amerika Serikat sekitar tahun 1960an. Demikian juga dengan varian KC-130B yang merupakan varian khusus pesawat angkut yang sudah dimodisikasi untuk bisa menjadi pesawat tanker pengisi bahan bakar di udara bagi pesawat tempur Indonesia lainnya. Pesawat Hercules yang jatuh di Medan kemarin adalah dari varian KC-130B ini.
Pesawat KC-130B Indonesia sedang melakukan pengisian bahan bakar pesawat di udara
Sedangkan varian C-130H Hercules yang lebih baru dan lebih modern ini masih relative lebih muda dan lebih canggih secara teknologi dari varian C-130B/KC-130B yang sudah cukup tua. Dan saat ini pesawat transport kelas berat andalan militer Indonesia adalah varian C-130H Hercules, bukan C-130B lagi. Dan kedepannya semua varian C-130B/KC-130B akan digantikan dengan varian yang lebih muda dan lebih canggih yaitu C-130H Hercules.
Penulis sendiri percaya pemerintah sudah berupaya untuk menggantikan alutsista yang sudah berumur uzur di Militer Indonesia dengan alutsista baru. Termasuk menggantikan pesawat tempur KC-130B Hercules yang mengalami musibah kemarin. Namun kondisi keuangan negara yang terbatas dan besarnya biaya penggantian banyak sekali alutsista uzur tersebut, membuat pemerintah melakukan proses pergantian secara bertahap.
Dan kita ketahui bersama luas wilayah Indonesia yang sangat luas dan jumlah pesawat transport kelas berat C-130 Hercules milik Indonesia jumlahnya terbatas. Sehingga mau tidak mau, untuk mendukung mobilitas militer Indonesia, pesawat C-130B yang sudah uzur pun masih dipergunakan. Dan tidak ada masalah mengenai usia pesawat selama maintenance bagus dan batas jam terbang pesawat tersebut belum melewati batas jam terbang yang ditetapkan oleh pabrik pembuatnya.
Dilain sisi, pemerintah Indonesia juga sudah mengupayakan untuk menggantikan pesawat C-130B Hercules yang sudah tua dengan C-130H Hercules yang lebih baru dan lebih canggih. Sebagaimana kita ketahui, beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia sudah menandatangani kontrak pembelian 5 unit pesawat transport C-130H Hercules yang merupakan pesawat bekas pakai Australia. Selain itu, pemerintah juga menerima 4 unit pesawat sejenis dalam skema hibah militer dari Australia. Sehingga secara total militer Indonesia akan menerima 9 unit pesawat C-130H Hercules untuk menggantikan pesawat C-130B Hercules yang lebih tua.
Dukung Upaya Modernisasi Alutsista TNI
Namun satu hal yang penulis setujui adalah bahwa proses modernisasi alutsista dan militer Indonesia harus terus dijalankan. Ada atau tidaknya kecelakaan yang menimpa pesawat KC-130B Hercules di Medan kemarin, upaya modernisasi sudah dijalankan. Hanya saja untuk merubah kondisi alutsista uzur digantikan alutsista canggih dan baru itu memerlukan dana dan waktu yang tidak sebentar.
Dan kejadian kecelakaan pesawat Hercules Indonesia di Medan ini bisa dijadikan momentum untuk mempercepat proses modernisasi alutsista dan militer Indonesia ini. Dan kita sebagai masyarakat harus terus mendorong pemerintah untuk terus konsisten melakukan proses ini. Sama sekali tidak ada gunanya jika kita semua hanya menyalahkan pemerintah sekarang atas kejadian ini, lalu besok lusa kita sudah lupa dan sudah tidak perduli sama sekali akan proses ini.
Sudah seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia terus mengkritisi pemerintah dengan konsisten namun juga harus menyampaikan kritik kita dengan benar, bukan hanya sekedar menyalahkan lalu besok lusa sudah melupakannya.
Sekian bahasan penulis kali ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca semua serta mohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan dalam artikel ini. Tak lupa penulis mengucapkan rasa turut berduka yang sedalam-dalamnya untuk para korban tragedy pesaawt Hercules di Medan ini, baik yang ada di pesawat maupun masyarakat di lokasi kejadian. Semoga keluarga korban diberikan ketabahan menjalani ujian hidup kedepannya. Salam dari Admin AnalisisMiliter.com
Label : Alutsista |
Pesawat Tempur |
Alutsista Indonesia |
Alutsista TNI |
Militer Indonesia |
Pesawat Tempur Indonesia |
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Embargo Militer : Masa Suram Alutsista Militer Indonesia
2.
Turki Tembak Jatuh Pesawat Tempur Rusia, Konflik Suriah Memanas
3.
Pesawat AEW&C Untuk Angkatan Udara Indonesia
4.
Kaskus Leaks Dan Modernisasi Militer Indonesia
5.
Dibalik Pengganti Pesawat Tempur F-5 Indonesia
6.
Mig-29 Fulcrum Malaysia Akan Pensiun di 2015?
7.
Pitch Black 2012 : Sukhoi Indonesia Vs Super Hornet Australia
8.
Militer Indonesia Berduka, 1 Unit Pesawat Tempur T50i TNI AU Jatuh di Jogja
9.
All About CN-235 IPTN/PT DI Indonesia
10.
Modernisasi Kapal Selam Indonesia Tahun 2015-2020
GI |
01 Jul 2015 15:58:37
Apakah benar untuk men-kambing-hitam-kan usia pesawat?
Memang sangat mudah untuk menuding; "... TNI-AU butuh modernisasi", "... pesawatnya terlalu banyak yg tua", "..tuh kan, siapa suruh beli (F-16) bekas"
Kenyataannya, reputasi safety record TNI-AU sendiri bisa terbilang cukup JELEK.
Sejak tahun 1985 saja, ini adalah kecelakaan keempat untuk semua variant C-130 Hercules TNI-AU, dengan total jumlah korban jiwa sudah mencapai 500 orang.
Di tahun 1985, Hercules belum bisa dibilang lanjut usia, bukan?
Dalam 6 tahun terakhir ini saja, hitung saja berapa banyak kecelakaan pesawat TNI-AU yg sudah terjadi, mulai dari KT-1, F-27, Hercules, dan F-16.
Dari sekitar 16 - 20 F-16 yg sudah dioperasikan -- Indonesia juga sudah kehilangan 3 pesawat;
2 diantaranya adalah Block-15OCU yg terjadi di tahun 1992 dan 1997. Padahal diwaktu itu, umur dari F-16 ini bahkan belum mencapai 10 tahun.
===================================
http://www.f-16.net/aircraft-database/F-16/mishaps-and-accidents/airforce/TNIAU/
===================================
Angka untuk F-16 ini saja menyajikan "rate of attrition" yg sangat jelek - 16,7% untuk 12 F-16 Block-15OCU yg pertama.
Apakah yg menjamin kalau seluruh armada TNI-AU itu 100% baru, berarti tidak akan ada lagi kecelakaan?
Semua pesawat yg baru dibeli tidak bisa dihindari, akhirnya juga akan menambah usia.
FYI - diseluruh dunia, tidak ada satupun Angkatan Udara yg usia semua pesawatnya kurang dari 10 tahun. Rata2 semua AU negara yg berkocek jauh lebih tebal saja akan mengoperasikan pesawat2 yg usianya rata2 sudah diatas 20 tahun.
========================================================================
Kecelakaan ini justru menunjukkan perlunya review dan reorganisasi yg menyeluruh untuk meningkatkan SAFETY RECORD TNI-AU.
========================================================================
Ini dimulai dari reorganisasi, review / pembenahan prosedural, dan training untuk pilot, maintenance crew, dan SOP maintenance / operasional.
Apa yg salah? Apakah yg harus dikaji ulang?
========
End note:
========
Pada akhirnya, semua Angkatan Udara tidak bisa tidak PASTI akan mengalami satu-dua kecelakaan yg tidak bisa dihindari. Ini adalah resiko operasional.
Apa yg sudah dilakukan di negara2 lain adalah mencoba meminimalisasi jumlah kecelakaan, dengan meningkatkan safety procedure.
Dan dalam hal ini, IMHO, Indonesia masih harus banyak mengejar ketinggalan.
Melektech |
01 Jul 2015 20:07:26
Betul bung @GI
Peristiwa Condet 5 Oktober 1991, yang jatuh adalah C-130H, baru 10 tahun dibeli, toh jatuh juga dengan 133 nyawa melayang
Airbus A400 di spanyol kemarin jatuh padahal masih bau pabrik
ORANG AWAM, termasuk DPR, selalu MENGHUBUNG hubungkannya dengan mobil bekas, kapal bekas, sepeda motor bekas.
Padahal standar pabrik juga, umur SEPEDA MOTOR MATIK hanya 2 tahun, MOBIL JEPANG hanya 5 tahun.
yang nakal adalah USER sendiri, yang melebih-lebihkan standar pabrik
padahal pesawat jauh berbeda, pesawat mempunyai standar pabrik, pabrik ngomong bisa 50 tahun layak terbang, mau protes ? pinter mana kita dengan si pembuat (pabrik) ?
selama perawatannya sesuai yang di buat si pembuat, dijamin aman selalu, kecuali memang takdir tuhan
Born_Neo |
02 Jul 2015 15:18:56
saya setuju dengan pernyataan bung GI ========================================================================
Kecelakaan ini justru menunjukkan perlunya review dan reorganisasi yg menyeluruh untuk meningkatkan SAFETY RECORD TNI-AU.
Harusnya bukan hanya alutsista saja yang diperbaharui, tapi kinerja dan profesionalisme di tubuh TNI AU juga harus diperbaharui. Percuma beli pesawat mahal2 kalau hanya untuk "dijatuhkan".
Melektech |
01 Jul 2015 16:00:10
Kalau kita bersaing masalah alutsista dengan Australia rasanya tidak mungkin.
Hal itu dikarenakan mereka negara kaya, dengan pendapatan perkapitanya (World Bank) US$45.000, bandingkan dengan Indonesia yang hanya US$2.500, SANGAT JAUH
Belanja militer (globalfirepower) Australia US$26,1 Milyar, sedang Indonesia hanya US$6,9 Milyar, SANGAT JAUH BEDANYA
Padahal negara kita juga hampir sama besar dengan Australia
Apalagi negara kita negara Kepulauan
maka "tidak ada jalan lain" selain kita membeli BEKAS/HIBAH, untuk mengejar ketinggalan kita akan jumlah Alutsista, sambil sedikit demi sedikit kita benahi
Kalau tentang kecanggihan Alutsista kita pasti tidak bisa mengejar, namun kita bisa mengimbanginya dengan KECAKAPAN PRAJURIT
Biaya yang besar sesungguhnya terletak pada BIAYA MAINTENANCE yang bisa menghabiskan seluruh keuangan kita.
BELI MURAH namun biaya maintenance SANGAT MAHAL, sama juga bunuh diri
Jatuhnya HERCULES di medan, kemungkinan juga karena DI ALIHKANYA biaya perawatan hercules ke hal lain, misalnya ke SUKHOI yang memang membutuhkan biaya perawatan yang luar biaya mahal, dengan umur mesin maksimal yang hanya 1.500 jam saja, double lagi...wuuuih..ck...ck...ck
Lebih baik beli mahal, namun biaya perawatan murah
Berat di awal, namun sangat ringan di belakang
Keputusan Petinggi belum tentu sama dengan tuntutan para prajurit
karena di TNI hanya ada sistem "YES....SIR" atau "SIAP KOMANDAN"
Apalagi sebagai negara Berkembang tentunya tingkat KORUPSi juga sangat besar, PR yang tidak ada ujungnya
GI |
01 Jul 2015 23:10:44
Bung Melektech,
Anda sudah menggariskan beberapa isu penting disini, apalagi kalau memperbandingkan RAAF dengan kondisi TNI-AU saat ini.
## GENGSI / MIMPI INDAH -- ini sepertinya terlalu membuai dalam percakapan2 politik, baik dalam DPR ataupun TNI-AU.
Akhir2 ini terlalu banyak PERNYATAAN KOSONG yg sepertinya sengaja untuk menyesatkan rakyat, seperti "... membutuhkan 180 pesawat tempur", dan / atau "... lebih banyak Sukhoi"
Pernyataan2 diatas kemungkinan besar sengaja diucapkan, dengan pikiran kalau TNI-AU tidak boleh kalah dong dari RAAF...
Maaf....
Wong, merawat pesawat yg skrg jumlahnya sedikit (walaupun kebanyakan beli baru) saja masih kelabakan.
Oh, ya, sebagai tambahan -- hitung saja sudah berapa banyak BAe Hawk-209 yg sudah berjatuhan.. pesawat latih ringan dari keluarga BAe Hawk yg sebenarnya sudah mempunyai reputasi yg sangat baik dari segi SAFETY RECORD di seluruh dunia.
## KESELAMATAN dan NYAWA personel jauh lebih penting dibandingkan gengsi / mimpi indah untuk membeli pesawat baru seperti diatas.
Sudah saatnya kita justru harus belajar untuk lebih RENDAH HATI -- untuk lebih sadar kalau sampai SELAMANYA, Indonesia TIDAK MUNGKIN bisa untuk bersaing dalam hal anggaran pertahanan dengan negara2 yg memang koceknya jauh lebih tebal.
Kalau kita saja belum bisa belajar untuk menghargai / merawat perlengkapan yg sudah ada, kenapa masih mau berpikir beli baru, apalagi dalam jumlah yg banyak?
## Alutsista gado2... Check!
Ini lagi alasan utama kenapa Indonesia untuk SELAMANYA, tidak akan mungkin bisa bersaing dengan Australia, atau Singapore.
Semua Angkatan Udara yg sudah membuktikan diri dalam operasi militer (yg sebenarnya) TIDAK ADA SATUPUN juga yg mempunyai armada gado2 Barat dan Timur.
Sudah anggaran kita jauh lebih kecil -- tapi mau mengambil rute gado2 yg menyulitkan training, prosedural, dan maintenance.
## Kesimpulan Akhir -- Indonesia justru harus belajar bukan untuk bersaing dengan AU negara lain yg memang koceknya lebih tebal dari segi "membeli baru"
Keunggulan Indonesia harus dipindahkan ke "memaksimalkan kemampuan, dari DANA YG TERBATAS..."
Ananda Andriyo |
01 Jul 2015 16:42:04
apakah KC-130B yang jatuh di medan itu memang dalam misi angkut personel?
Melektech |
01 Jul 2015 18:33:43
Bukankah C-130 Hercules adalah pesawat angkut ?
Sangat wajar sekali (manusiawi) apabila orang sipil diperbolehkan untuk "numpang" dengan harga yang miring tentunya. daripada mudazir
ibarat TAXI, setelah mengatar penumpang di tujuan jarak jauh, dipersilahkan si sopir mengangkut penumpang lain sekembalinya ke pangkalan, dari pada mubazir BBM
asalkan sesuai dengan kapasitas angkutnya (tidak over load)
Saya juga sangat heran perkataan KASAU yang mengatakan "Kalau Hercules Dikomersilkan, Saya Pecat Komandannya"......SANGAT ANEH SEKALI...besar sekali bohongnya
nightstalker |
01 Jul 2015 17:39:12
Kalau ngeliat di tv kayaknya musibah hercules jatuh dihubung2in sama pesawat hibah, padahal setau saya pesawat Hercules yang jatuh kita beli baru dari amerika tahun 60an
Terutama komentar dari komisi 1 DPR yg katanya akan mempertimbangkan pesawat hibah
Melektech |
01 Jul 2015 18:37:12
saya tidak heran anggota DPR mengatakan demikian.
Asal bicara, tapi ngak ngerti apa-apa permasalahannya, yang penting masuk TV (Pencitraan)
makanya disebut POLI-TIKUS (banyak tikus)
GI |
01 Jul 2015 23:28:41
Sy juga melihat pernyataan semacam ini di TV
"... makanya beli BARU, jangan HIBAH teruss...."
## Ini hanyalah salah satu contoh lain pernyataan "gengsi" yg jumawa tanpa mau menilik kenyataan yg sebenarnya.
Kalau kita menilik ke dua peristiwa hibah akhir2 ini -- 4 C-130H yg sudah dimodernisasi ex-RAAF, dan 24 F-16 Block-25 dari US -- ini justru menjawab kebutuhan yang nyata.
Dengan menerima hibah, dan membayar harga murah, kita menghemat biaya akusisi untuk mendapat JUMLAH yg lebih memenuhi kebutuhan.
KALAU kita semuanya harus beli baru... tidak ada 1-pun C-130H yg terbeli, dan hanya 6 F-16 Block-52.
Lihat kata kunci disini --- KEBUTUHAN ---
1 C-130H beli baru yg lebih mahal, TIDAK MUNGKIN BISA mengemban tugas yg sama berat dengan 4 C-130H "hibah".
6 F-16 Block-52 baru juga TIDAK MUNGKIN bisa membentuk skuadron baru, atau meningkatkan kualitas pertahanan Indonesia, sebaik 24 F-16 Block-25 yang hibah.
## Inilah kenapa, sudah saatnya para pemimpin yg duduk di kursi DPR atau pucuk pimpinan TNI justru harus mulai belajar untuk RENDAH HATI --- jangan menyesatkan rakyat dengan pernyataan2 kosong semacam ini.
## Indonesia justru HARUS BELAJAR banyak untuk meningkatkan kualitas training, dan prosedural; mulai dari pilot, maintenance, dan organisasi untuk dapat MEMAKSIMALKAN SAFETY RECORD dari apa yg sudah ada sekarang.
Saat ini, attrition rate pesawat untuk TNI-AU saat ini (tidak hanya Hercules) sudah SANGAT JELEK bahkan kalau dibandingkan negara2 lain.
IMHO, ini justru menunjuk ke permasalahan2 internal dalam tubuh TNI-AU sendiri -- sebenarnya apa yg salah disini?
Jangan menyalahkan pesawatnya!
## Kenyataan lain yg diabaikan Komisi-1 DPR di TV yg menyalahkan "... hibah"
Nilai tukar US DOLLAR --- yg akan bersiap menembus Rp 15,000.
Sudah anggaran militer kecil, darimana ada uang untuk beli baru?!?
Memang enak bukan, membicarakan BELI BARU, kalau uangnya bukan keluar dari kocek sendiri?!?
Kita justru harus bersyukur sudah mendapat tawaran2 hibah!
Sekarang kembali ke atas -- pesawat tua, atau bekas -- selama masih mempunyai usia Airframe yg cukup, sebenarnya BUKAN MASALAH disini.
TETAPI apakah ada masalah internal dalam TNI-AU, yg membuat begitu banyak pesawat militer Indonesia rontok akhir2 ini?
nightstalker |
02 Jul 2015 01:05:41
Bahkan yg lebih lucu lagi, beberapa pihak memakai kesempatan ini untuk menjelek2kan barang2 buatan Barat dan seperti biasa, mengunggulkan barang2 Russia
nightstalker |
02 Jul 2015 02:25:21
Pernyataan jenderal Gatot Nurmantyo ini cukup menggelitik
http://m.news.viva.co.id/news/read/645281-jenderal-gatot-nurmantyo-janji-tolak-alutsista-hibah
iboy6 |
02 Jul 2015 05:29:33
hmm untuk kasus f-16 saya rasa karena TNI AU terbiasa merawat dan mengoperasikan pesawat tua (f-16 OCU) dan suhkoi maka ketika disodorkan f-16 yg lebih baru(walau hibah) mungkin mereka kelabakan dan belum terbiasa.
kesimpulannya sama seperti bung GI TNI AU harus lebih mengutamakan training baik untuk pilot maupun ground crew sebelum berpikir membeli pesawat baru
GI |
02 Jul 2015 13:00:11
===============================================================
Kenapa Indonesia TIDAK MUNGKIN BISA selamat dengan "KONSEP BELI BARU"?
================================================================
Tanggal 1 Juli ini, pemerintah Australia baru saja menandatangani kontrak baru untuk membeli 2 lagi Airbus A330 MRTT tambahan (KC-30) dengan biaya akuisisi AU$408 juta.
=====================================================
http://www.minister.defence.gov.au/2015/07/01/minister-for-defence-two-additional-kc-30a-multi-role-tanker-transport-aircraft-for-the-raaf/
=====================================================
Sebelumnya, Australia juga sudah merogoh US$1,5 milyar untuk membeli 5 KC-30A (Airbus A330MRTT). Dengan kontrak diatas, jumlah armada mereka akan mencapai 7 pesawat.
Seperti KC-130B dalam kasus diatas, Airbus A330 MRTT sbnrnya tidak hanya mempunyai fungsi tunggal sebagai Air-to-Air Refueling, tapi juga sebagai pesawat transport -- membawa 8 cargo pallet di dalam cargo hold-nya, 380 penumpang dalam 1 kelas; kalau perlu dapat menjadi VIP transport, dan pula dapat dipersiapkan untuk operasi Medical Evacuation -- membawa 130 strecther.
Dengan adanya 7 KC-30A dan Wedgetail support, jarak jangkau dan kemampuan tempur Hornet dan Super Hornet RAAF boleh dibilang tidak lagi terlalu bermasalah. Kalau mereka mau, semua pespur mereka dapat membawa muatan penuh, dan menghantam target di Aceh, atau Pontianak, tanpa banyak masalah.
Armada transport RAAF Australia tentu saja jauh lebih unggul -- mereka juga sudah merogoh $6 milyar untuk 8 C-17 (2 masih belum diantar).
==============================================================
http://www.defenseindustrydaily.com/australia-to-spend-up-to-15-bn-on-4-c17s-updated-01971/
==============================================================
Ugh, apakah bisa dibayangkan kalau "menolak hibah" (seperti pernyataan Komisi-1 DPR), apakah Indonesia koceknya cukup tebal untuk membeli setengahnya saja dari yang sudah dibeli Australia?
Australia bisa keluar uang hampir $10 milyar untuk membeli 8 C-17, 7 KC-30A, sekaligus mempersiapkan basing & support infrastrukturnya.
Wah, total biaya akuisisi (investasi) Australia untuk saja hanya untuk 15 pesawat transport / tanker sudah MELEBIHI seluruh anggaran pertahanan Indonesia tahun 2015.
Saat ini, dengan perekonomian yg melambat, nilai tukar US$ yang tinggi, dan anggaran yg jauh lebih kecil, Indonesia justru HARUS berpikir 2 - 3 kali untuk keluar uang $1,5 milyar mencari pengganti F-5E.
Ini bukan berarti kita harus terus-menerus beli bekas, atau menyewa pesawat.
Tentu saja ada kalanya, kita harus membeli pesawat baru untuk meningkatkan kemampuan.
Tapi sekali lagi, kita harus RENDAH HATI, dan TAHU DIRI untuk mengambil setiap kesempatan terbaik demi masa depan bangsa. Tidak semua pesawat harus dibeli baru, sebaliknya juga ngapain harus "gengsi" kalau menerima hibah / beli bekas / menyewa?
Wong, Indonesia tidak punya banyak uang, tapi tuntutan penjagaan teritorialnya kan tetap cukup besar. Tidak mungkin ini bisa dipenuhi dengan hanya membeli baru murni 100%.
=======
End Note
=======
Pembelian produk Russia di masa depan juga harus dipertimbangkan kembali -- krn reputasi mereka dalam hal ini sudah terkenal dalam dunia internasional; usia Airframe yg pendek, haus spare part, kesiapan terbang rendah, maintenance mahal / sulit, dan tentu saja para agen Rosoboronexport sudah termasyur rajin memberikan "pelicin" untuk melancarkan setiap transaksi.
Beli high-end Russian product dengan anggaran kecil = menembak kaki sendiri.
H4j1B0g3lXxX |
02 Jul 2015 20:55:08
Weh admin dah online (2 bulan off wkwkwkwkw)
Saya secara personal stuju dengan bung GI untuk tetap menerima hibah2 dari negara tetangga dan mengedepankan Safety record dengan training, maintenace, dll.
Pemerintah kita secara sengaja menyatakan 'gengsi' mereka karna mereka trauma mengalami kecelakaan pesawat beruntun(1 f 16-terbakar, 1 f-16 front wheel malfuntion dan baru2 ini KC-130B) yang semuanya itu buatan amrik dan hibah(kecuali KC-130B).
Pemerintah dapat memakai uang 1.5 miliar USD dengan baik untuk mengantikan F-5 Tiger II kita yg sudah tua dan untuk kedepan pemerintah bisa menambah anggaran alutsista dan maintenace kalau mau bermain gengsi dan tetap bermain dengan cara 'alutsista gado2'
Kalau Indonesia mau menyelsaikan MEF di tahun 2024 menurut saya Indonesia harus membuat dan memodernisasi alutsista secara lokal dan harus di mulai dari 0.
Saran saya secara individu kenapa indonesia mengikuti rusia dengan cara membeli semua perusaahan dalam bidang militer contoh sukhoi, mikoyan dan ilyushin di beli oleh pemerintah rusia dan di gabung menjadi united aircaft cooperation. Mungkin sistem ini bisa di terapkan dalam industri pertahanan indonesia
Melektech |
03 Jul 2015 09:59:25
Ngak punya uang, tapi gengsi
Pengganti F-5 Tiger II sampai sekarang belum terwujud (molor 3 tahun, seharusnya Th. 2012), itu pertanda kalau pemerintah sedang kesulitan keuangan
Tidak perlu dari nol, karena ada ToT, contohnya LPD dan Fregate serta Kapal Selam
Bukankah PT. DI, PT. PAL, PT. PINDAD, PT. LEN, dst..adalah BUMN (Badan Usaha MILIK NEGARA) ?
H4j1B0g3lXxX |
05 Jul 2015 09:45:14
Apakah Tot bisa menjamin, lupa dengan kasus IFX/KFX dengan TOt dari Lockheed Martin tapi specnya harus dibawah F-35 (jet temput yg gagal total), itu sesuatu yg tidak di harapkan
Kita bisa saja membeli hak produksi dalam negri seperti yg di sebutkan di atas LPD, Frigate dan Kapal selam tapi apakah teknologinya(mesin dan jeroannya) kita produksi/kembangkan sendiri?
Melektech |
05 Jul 2015 13:45:41
@H4j1B0g3lXxX
Sediakan Modal 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000, untuk membuat 100% Indonesia, BISAKAH ?
Lalu yang beli siapa ? Rusia dan Amerika serta China yang membeli dalam jumlah banyak pertama kali adalah PEMERINTAH SENDIRI baru di Ekspor
Ngak perlu jauh jauh mas.
Mie-Instan aja kita Impor, Bawang Putih aja kita Impor, Sapi aja Impor, Kedelai aja Impor, Beras aja Impor, Gula aja Impor, bahkan GARAM aja Impor
Kita bangga CN-235, N-250, ANOA, SS-1, SS-2 ==> 70% komponen/bahan masih Impor
Berfikirlah secara dewasa, HADAPILAH FAKTA lalu LAKUKAN APA YANG BISA
JAUHI TIDUR PANJANG (MIMPI), karena nanti keburu MATI
GI |
07 Jul 2015 12:24:40
===================
Produksi senjata lokal
===================
Ini juga harus dibedakan antara kenyataan atau mimpi.
Lihat saja pengalaman di India dengan Sukhoi MKI, Dassault Rafale, HAL Tejas, atau Arjun MBT.
Sy sudah pernah menuliskan sebelumya --- bukan hanya pada batasan tehnologi --- salah satu syarat utama produksi lokal adalah jumlah produksi yg harus banyak untuk mencapai nilai ekonomis yg berarti. Dan dalam hal ini saja, India saja sudah babak-belur sendiri (walaupun koceknya jauh lebih tebal).
Inilah kenapa kalau ide seperti KF-X ini biar bagaimana terlalu muluk - bahkan untuk Korsel sendiri. Jumlah produksi yg direncanakan untuk tipe ini biar bagaimana masih terlalu sedikit, kecuali pemerintah Korsel bisa bertekad mau membeli 500 unit.
Kalah seperti sekarang produksinya hanya 250 unit -- harganya terjamin akan menembus $200 juta / unit.
Ide produksi lokal yg lebih mendekati kenyataan adalah -- beli import utuh (lebih murah), minta ToT, lalu mulai mengoptimalkan produksi lokal untuk beberapa komponen yg umurnya pendek. Sementara untuk long-lead items, seperti mesin, biar bagaimana harus tetap import utuh.
Kemudian bersabarlah, dan pelajarilah lebih mendalam.
GI |
03 Jul 2015 11:08:32
==============================
Daftar kecelakaan pesawat2 TNI-AU
==============================
Sumber: Aviation-safety.net
Website ini sendiri manajemen database-nya agak amburadul.
Perlu utk melihat beberapa list secara terpisah.
Pesawat transport TNI-AU
========================================================
http://aviation-safety.net/database/dblist.php?sorteer=datekey_desc&kind;=%&cat;=%&page=1&field=Operatorkey&var=5162
========================================================
BAe-Hawk
=================================================
http://aviation-safety.net/wikibase/dblist.php?AcType=HAWK
=================================================
# BAe Hawk Mk.53
- 2 pesawat di tahun 1981 - Ujung Pandang (LL-5302) dan Magetan (LL-5304)
- LL-5303 di Wonogiri, tahun 1983
- 2 pesawat di tahun 2002 - Iswayudhi AB (TT-5310 dan TT-5311)
# BAe Hawk-109
- TT-104 di Pontianak, tahun 2000
# BAe Hawk-209
- TT-1216 di tahun 1999
- TT-1208 di tahun 2000
- TT-0201 di tahun 2001 (Pontianak)
- TT-0207 di tahun 2006
- TT-0203 di tahun 2007 (Pekanbaru)
- TT-0212 di tahun 2012 (Pekanbaru)
** Perhatikan kalau TNI-AU termasuk yg paling banyak mengalami kecelakaan dengan BAe Hawk dalam daftar ini (!!)
F-16 (seperti diatas)
===================================
http://www.f-16.net/aircraft-database/F-16/mishaps-and-accidents/airforce/TNIAU/
===================================
KT-1B Woongbee
==================================
http://aviation-safety.net/wikibase/dblist.php?AcType=KT1
==================================
A-4 Skyhawk dan F-5E Tiger II --- yg menarik TIDAK ADA kecelakaan di daftar Aviation-safety.net
(Kalau ada yg mempunyai info kecelakaan A-4 atau F-5E boleh mem-post-kannya disini!)
Kesimpulan -- di post berikut.
GI |
03 Jul 2015 11:43:14
==============================================
Beberapa kesimpulan awam yg dapat diambil dari data di atas
==============================================
# Jumlah kecelakaan cenderung lebih banyak terjadi (terutama untuk tipe pespur - F-16, Hawk, dan KT-1) justru sewaktu pesawatnya BARU dibeli.
# Pada masa embargo (1999 - 2000), kecuali BAe Hawk 109/209 -- jumlah kecelakaan justru cenderung menurun - krn kebanyakan pesawat justru memang tidak bisa terbang krn tidak ada spare part.
Post-embargo -- perhatikan kalau tiba2 jumlah kecelakaan naik, terutama utk pesawat transport.
Khusus untuk BAe Hawk -- kenapa banyak kecelakaan dalam periode ini?
Mengingat pesawatnya waktu itu masih sangat baru, mungkin point pertama berlaku utk tipe ini.
# Untuk kedua point diatas justru menunjuk ke bagaimana seriusnya sbnrnya SAFETY MANAGEMENT dalam TNI-AU dewasa ini.
Kembali ke masalah awal -- dimana salahnya? Prosedural? Training? Organisasi? Atau terlalu banyak manuever nekad?
=======================================================================
# Belum ada kecelakaan untuk Sukhoi Ruski.
Apakah ini artinya pesawat ini lebih aman?
Yah, karena memang pesawat ini tidak akan bisa banyak terbang. Lebih sedikit jam terbang, faktor resiko tentu saja jauh lebih kecil.
* Pengalaman India (yg ingin mengoperasikan Sukhoi seperti F-15) menggariskan kalau pesawat ini terlalu sering rusak, alias tidak bisa terbang sesering yg mereka mau.
Sangat meragukan kalau Sukhoi Indonesia (16 pswt) mempunyai availability rate yg lebih tinggi dibanding India (200 pesawat) yg hanya 48 - 55%; dan didukung penuh oleh kemampuan industri lokalnya.
* Point kedua -- kemungkinan besar justru karena biaya operasionalnya terlalu mahal (1 jam terbang Sukhoi = 7 jam terbang F-16, atau hampir 20 jam terbang BAe Hawk) -- pesawat tipe ini justru lebih jarang terbang dibandingkan kebanyakan tipe lain seperti Hercules, F-16, atau BAe Hawk.
Kalau ada acara kemerdekaan RI saja, biasanya pswt2 yg sering latihan pra-upacara adalah BAe Hawk dan F-16; sedangkan Sukhoi tidak pernah kelihatan sampai hari-H-nya.
GI |
03 Jul 2015 11:45:14
TYPO -- masa embargo militer US antara tahun 1999 - 2005 --- bukan 2000 seperti diatas.
Admin |
03 Jul 2015 12:12:26
@All,
tulisan di artikel ini memang lebih menyorot tentang "cepatnya" sebagian masyarakat langsung memvonis penyebabnya tanpa menunggu penyelidikan lebih lanjut.
namun memang harus kita akui, kejadian ini adalah warning yang harus segera di respon oleh pemerintah untuk pembenahan alutsista TNI. kita ketahui bersama, posisi alutsista Indonesia itu sudah banyak yang berumur dan memerlukan dana yang besar dan waktu yang lama untuk mengganti keseluruhan alutsista berumur itu dengan alutsista yang baru dengan teknologi yang lebih modern.
semoga saja momentum ini bisa dipergunakan untuk pemerintah untuk memperbaiki kedepannya serta menjadi momentum kepada kita masyarakat awam untuk lebih mengkritisi lagi kebijakan pemerintah.
Mencari kambing hitam dan mencari siapa yang salah, tidak akan menyelesaikan masalah, karena bukan itu masalah besarnya.
Reaksi pemerintah dan petinggi yang menyebutkan akan segera menggantikan Hercules dengan pesawat baru seperti A400 dan C-17 (entah itu benar atau enggak) menurut saya sebuah reaksi emosional yang sedikit berlebihan. yang saya kawatirkan adalah karena pesawat Hercules tengah mendapat sorotan, akhirnya pemerintah merubah prioritas dalam modernisasi TNI.
Padahal kondisinya di alutsista TNI, bukan hanya Hercules yang perlu segera di modernisasi. di darat, kita tau banyak sekali rencana pengadaan dan peremajaan alutsista TNI AD, demikian juga dengan TNI AL dan TNI AU.
harapan saya, semoga pemerintah tetap tenang dan jalan pada prioritas yang telah ada sebelumnya.
itu saja :)
maaf lama tidak online, karena kesibukan yang benar-benar menyita waktu saya..
Melektech |
03 Jul 2015 19:10:14
Panglima TNI Jenderal Moeldoko :
"Anggaran di Atas Rp 100 Triliun, TNI Fokus Rawat Alutsista" ==> Ini yang betul
Sayang sekali penggantinya kelihatannya suka bermain Politik
GI |
03 Jul 2015 23:27:01
@Admin,
Tulisan anda sangat baik.
Menyebut2 C-17 dan A400M ini adalah contoh salah satu mimpi indah tanpa memikirkan kenyataan. Seperti mengiming2 membeli Rolls-Royce, walaupun Avanza-pun sbnrnya sudah memenuhi kebutuhan.
Indonesia tidak mempunyai infrastruktur support utk kedua model ini.
Ini artinya, kalaupun bisa beli, negara bakal tekor di urusan maintenance, support, dan training.
C-130, BAe Hawk, dan F-16 --- semuanya sudah diproduksi dalam jumlah ribuan unit dan ketiganya juga sudah termasyur sangat aman untuk dipakai, mudah untuk dioperasikan, perawatannya juga mudah, dan murah.
Semua tipe ini justru adalah tipe yg sangat ideal untuk dioperasikan Indonesia.
Kembali ke masalah yg disorot disini:
Sebaliknya, TNI-AU justru harus lebih telaten dan rajin meningkatkan kemampuan internal, baik dari prosedural, training, dan support.
Puluhan pengguna yg lain (kebanyakan juga lebih kaya) tidak ada yg complain dengan tipe2 ini; masakan hanya kita yg banyak masalah?
pr10™ |
04 Jul 2015 21:35:58
bung admin, mungkin dari kejadian ini masyarakat indonesia bisa tau kalau alutsista kita sangat banyak yg sudah tua dan bukankah program MEF yang di rencanakan pemerintahan sebelumnya untuk mengganti alutsista yg sudah tua ini, apakah di pemerintahan ini program MEF tidak diteruskan...maaf bung admin sekedar bertanya...
Yudi Asmoro |
01 Aug 2015 01:29:13
@ bung GI : Anda mengarahkan agar TNI menggunakan C-130, Bae-Hawk dan F16 saja. Karena paling terjamin keselamatan pilotnya dari kecelakaan pesawat.
Yang saya tidak habis pikir. Apakah pesawat Hawk dan F16 bisa dijadikan penangkal jika ada gangguan dari musuh yang notabene pespurnya mungkin dari generasi 4++ bahkan diatasnya.
Apakah tujuan utama membeli pespur hanya untuk safety pilotnya serta hemat BBM saja seperti membeli Avanza yang anda sebutkan itu?
Kok jadi blunder gini ya? Jadi bingung mana punggawa negara, mana ibu rumah tangga yang sedang mengatur uang bulanan.
Sedangkan kalau tidak salah pespur ditujukan untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman/gangguan musuh dari luar.
GI |
01 Aug 2015 19:06:40
Anda salah tangkap disini!
Ini bukan bicara ttg detterent effect, tapi masalah keselamatan pilot.
Sy mempertanyakan banyaknya kecelakaan TNI-AU yg terjadi bahkan dengan tipe2 yg justru tergolong "paling aman" di dunia -- dalam hal ini BAe Hawk, F-16, atau C-130.
Semuanya justru memenuhi kebutuhan Indonesia, dan biaya operasionalnya memang sudah terkenal bersaing -- lebih murah, bukan berarti jelek (!!).
Silahkan baca lagi post sy diatas -- dan hitung saja berapa banyak BAe Hawk yg rontok selama masa pengabdiannya di TNI-AU(!)
Boleh dibilang jumlah kecelakaan Hawk di Indonesia termasuk paling tinggi di dunia, dibanding pengguna2 yg lain.
Kalau mau berbicara "deterrent effect" atau "menjaga kedaulatan negara" -- sudah banyak diskusi di sebelum2nya, dan tidak perlu dibahas terlalu mendalam disini.
Karel |
05 Jul 2015 09:53:15
Saya memiliki pengalaman kerjasama dengan TNI di bidang IT networking dan programming. Meskipun pengalaman ini tidak bisa serta merta menggenalisir ke bidang alutsista, namun setidaknya bisa disimpulkan bahwa TNI kita memang banyak membutuhkan perbaikan. Jangankan dengan tetangga sebelah, dibandingkan dengan perusahaan swasta sekalipun masih terbilang ketinggalan jauh. Ambil contoh mengenai pemahaman networking. Tenaga yang ada di tingkat kodam saja hanya memiliki kemampuan cabling standar dan sangat sangat minim pelatihan. Padahal di perusahaan swasta, keahlian seperti ini merupakan hal biasa bahkan tenaga teknikal swasta secara reguler diberikan training dan disertifikasi scara berkala untuk memastikan keahliannya selalu update. Pengalaman sambil cerita dengan beberapa teknisi IT di kodam, ternyata hanya diadakan diklat singkat selama 3 bulan dan diberikan semua materi IT dengan berbagai macam bahasa pemrograman dan teknologi networking. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin menguasai banyak bahasa coding dalam waktu 3 bulan. Dari sedikit contoh ini setidaknya memang perlu diadakan perbaikan secara menyeluruh di internal TNI kita. Saya cukup miris jika melihat support pemerintahan kita terhadap institusi ini. Sangan jauh dengan institusi pemerintahan lain semisal BPK, kemenkeu. Tidak bisa serta merta kita timpakan kesalahan pd safety procedure TNI kalau kenyataannya sangat minim resource, capability dan finansial. Lihatlah bagaimana garuda beberapa tahun lalu yang rajin mecatat record kecelakan sampai saat ini yang sudah bisa mendapatkan predikat maskapai bintang 5. Namun berapa dana yang sudah digelontorkan utk itu semua ? Sementara TNI kita mungkin dianggap lembaga non profit yang jatahnya dikesampingkan dulu untuk kebutuhan yang lain.
Melektech |
05 Jul 2015 11:45:37
disamping Perwira Murni, ada perwira karier
Perwira karir diambil dari praktisan/akademisi umum yang ahli dalam bidangnya masing masing
ada Dokter, ada Elektro dan ada Kompoter, Dst.....
Masalahnya Pemerintah mau gaji berapa kepada mereka ?
kalau di Swasta bisa sebesar 5-10 juta, mampukah Pemerintah menggaji mereka segitu ?
Jelas ngak bisa, AKHIR dapatnya perwira karir yang biasa saja
terus ada ndak dana pengembangan Infrastruktur ? jelas ngak ada ?
terus setelah itu mampukah pemerintah menyediakan dana RISET seperti DARPA di AS ?
Jelas ngak bisa
Kesimpulannya adalah jadi AMBURADUL
Karel |
05 Jul 2015 19:54:03
Untuk masalah infra saya pribadi merasa sangat miris dg TNI, mngkin utk tingkat pusat masih bisa dibilang lumayan. Tapi bagaimana di luar jawa ? Ruang server yang seharusnya diamankan sedemikian rupa karena berisi data keamanan negara, justru campur dengan kasur lipat di ruang piket. Lebih miris lagi ternyata tikus lebih rajin menginap disitu daripada petugas. Kasihan sebenarnya liat penjaga negeri kita ini tidak didukung dengan sungguh sungguh oleh negara
GI |
06 Jul 2015 19:29:22
"Minimnya latihan dan pemahaman dalam bidang IT & networking"
Dari sudut pandang ini, skrng prosedur akuisisi dalam 5 - 10 tahun terakhir menjadi lebih masuk di akal.
Hal ini menjelaskan kenapa TNI-AU misalnya, tidak mendapatkan TKS-2 data network di Sukhoi Flanker, atau Link-16 (MIDS-LVT terminal) di F-16 Block-25.
Ini juga lebih menjelaskan kenapa begitu banyak mainan yg sudah dibeli negara lain, sepertinya tidak diikutsertakan dalam hibah F-16 terakhir ini.
Misalnya: APX-113 IFF, atau ALQ-211 Integrated Defense Suite.
Bukan kita dibodohi, atau sengaja di-downgrade.
Kelihatannya struktur internal TNI sendiri memang BELUM SIAP untuk mendukung pemakaian semua sistem paling modern.
Dengan kata lain, semua perlengkapan yg kelihatannya "downgrade" dibanding negara lain, justru sebenarnya memenuhi syarat 100% dari apa yg dimaui pengguna.
Dari sudut pandang ini, argumen2 yg membanding2kan pesawat mana yg lebih modern / ampuh seperti dibahas diberbagai formil akhir2 ini juga menjadi agak mubazir
Terakhir -- mengingat kurs US Dollar yg terus melambung, akan jauh lebih baik kalau anggaran pertahanan dialokasikan ke investasi di bidang ini;
Percuma kalau mau beli "latest gadget" (yg sudah dibeli negara2 lain), sedangkan si pengguna sebenarnya hanya mempunyai kemampuan utk memakai mesin ketik kuno.
Dalam hal ini, jauh lebih baik kalau Indonesia mengandalkan hibah lebih banyak F-16 dibanding mempertimbangkan membeli F-16 Block-60 baru.
Toh, perlengkapan yg lebih modern akan jadi mubazir.
iboy6 |
06 Jul 2015 22:09:32
@GI
bukankah biasanya setiap pembelian pespur satu paket dgn training baik pilot maupun ground crew?
GI |
07 Jul 2015 12:14:12
@iboy6
Ini benar.
Pembelian pespur tentu saja biasanya disertai paket training pilot & Ground crew.
Tetapi training yg hanya terbatas di bagian operasional, BELUM TENTU BISA diikuti oleh kemajuan yg berarti dari sisi organisasi Angkatan Udara itu sendiri.
Pada akhirnya, pilot2 dan ground crew yg sudah di-training itu kan masih harus bertanggung jawab ke perwira atasan; mereka juga masih harus mengandalkan kesiapan organisasi, dan sistem infrastruktur yg sudah ada.
Kalau ketiga hal terakhir ini tetap saja seperti dahulu kala, hasil training pilot & ground crew tentu hasilnya tidak akan pernah bisa maksimal, malah mungkin kembali ke trend2 lama.
Misalnya saja, bisa jadi secara organisasi, pimpinan masih belum bisa menerima ide2 atau strategi2 baru yg sudah diajarkan ke pilot, atau mungkin malah konfrontatif terhadap ide2 itu sendiri, mungkin krn masih asing pada mereka.
Dilain pihak -- misalkan juga, Kohudnas juga tidak akan mau merubah prosedur pemakaian radar darat untuk men-support pespur baru. Bisa jadi malah mereka berkeras kalau pespur baru justru harus beradaptasi dengan prosedur mereka yg lama.
Dua diatas hanya contoh kasar dari hambatan yg mungkin harus dihadapi.
Tidak hanya hal ini akan membutuhkan dukungan pemerintah,
dari sisi internal TNI sendiri, HARUS ada tekad dan komitmen yg penuh untuk berubah menjadi suatu struktur organisasi yg lebih profesional, yg dapat beradaptasi cepat, dan cita2 yg mulia untuk menjadi salah satu Angkatan Bersenjata yg benar2 dapat diperhitungkan di dunia internasional.
Dengan kata lain, pembelian Alutsista yg baru kiri-kanan TANPA disertai perubahan internal yg menyeluruh akan membuat semua Alutsista itu menjadi sia2.
Mari kita sedikit detour, dan mengambil contoh pembelian Leopard 2 A4:
Apakah secara organisasi, dan strategis, TNI-AD sudah siap memakainya di lapangan seperti tentara negara2 NATO di Eropa?
MBT modern di kelas M1A2 dan Leopard juga tidak lagi hanya melaju sendirian di medan tempur. Strategi yg skrg dipakai adalah "integrated combat Arms" -- Leopard perlu didukung oleh infantry, pesawat CAS, helikopter, dan tentu saja bagian logistik juga harus kuat.
# MBT membutuhkan banyak sekali bahan bakar; NATO biasanya mempunyai banyak truk perlengkapan support utk mendukung operasionalnya. Rasionya bahkan bisa 3:1 untuk support/service militer dibandingkan tentara yg membawa senjata.
Dengan support yg lengkap, Leopard dapat melaju sekian puluh kilometer per hari. Apakah TNI-AD secara logistik sudah siap?
Sudah ada berapa truk? Truk2nya juga sudah siap utk melaju di medan yg paling berat di Indonesia?
# Apakah kerjasama antara TNI-AD dan TNI-AU sudah cukup kuat untuk mendukung Leopard di lapangan?
# Apakah latihan didarat untuk peningkatan kerjasama antara infantry dan tank TNI-AD sendiri sudah bisa maksimal? Lihat saja berita2 militer dari Kosovo, Iraq, atau Afganistan! Keduanya sangat sulit untuk berdiri sendiri!
# Dalam skenario apa saja, TNI-AD sudah membayangkan bagaimana cara pemakaian Leopard? Dalam pertempuran perkotaan, misalnya, biasanya MBT sangat rentan utk dihantam RPG dari atas gedung bertingkat. Bagaimana strateginya dngn infantry seperti diatas utk bisa memenangkan pertempuran yg optimal.
Inilah contoh -- secara organisasi belum tentu TNI-nya sendiri sudah siap.
Penjual bisa saja mengiklankan, pesawat, kapal, atau tank saya bisa melakukan A sampai Z; tapi kalau pembeli belum siap, mungkin hanya bisa berhenti di J; sedangkan negara lain bisa melaju sampai melewati Z.
Tentu saja, Indonesia bukan satu2nya negara yg mengalami kendala yg sama.
rezz |
07 Jul 2015 18:05:22
http://www.jejaktapak.com/2015/07/07/anggaran-pertahanan-indonesia-naik-rp9-triliun-fokus-pertahanan-udara/
ada komen menarik dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
".......ke depan kita tidak membeli lagi yang bekas. Kita prioritaskan yang baru walau sedikit"
jelas lah kemana arahnya... :D
OOT......saya mau tanya masalah mesin jet fighter.......apakah pesawat dgn 2 mesin otomatis mempunyai Thrust/weight 2 kali lipat dgn yg 1 mesin...........misalkan gripen jas 39 Thrust/weight: 0.97 jika pakai 1 mesin......misalkan gripen jas 39 di ubah menjadi 2 mesin apa Thrust/weight nya jadi 1.8 ??? bagaimana cara menhitung nya....
GI |
08 Jul 2015 11:14:17
Bung rezz,
Sy sudah pernah menuliskan ttg 1-engine vs 2-engine sebelumnya.
Cara menghitung T/W ratio -- masukkan angka wet thrust (dihitung dalam lbf) dibagi dengan berat pesawat (dihitung dalam pound).
Dan jawaban pertanyaan anda sendiri -- apakah pesawat dengan 2-engine mempunyai T/W ratio 2x lipat dibandingkan single-engine?
TIDAK.
Drpd membandingkan Gripen 1-engine vs 2-engine (model yg tidak akan pernah ada) -- lebih baik membandingkan bbrp pespur yg sudah ada -- semisal F-15 vs F-16.
F-16 dan F-15 memakai mesin yg sama; PW100 atau GE F110 - tp yg menarik, T/W ratio-nya tidak berbeda jauh.
F-15C (Full fuel) ------------- 1,07 (mesin PW F100)
F-16C Block-50 (full fuel) -- 1,095 (mesin GE F110)
Catatan: Sangat menarik karena T/W ratio kedua model ini saja jauh lebih baik dibandingkan Su-35 (0,93 full fuel) -- ini karena Su-35 sendiri pesawatnya luar biasa berat -- 30% lebih berat dibandingkan F-15C. Artinya, Su-35 sebenarnya masih memerlukan mesin yg 30% lebih kuat lagi untuk dapat menandingi T/W ratio F-15C; yg bahkan masih memakai mesin PW F100 -- model tahun 1980-an.
Ada beberapa faktor yg perlu diperhitungkan untuk membedakan F-15 vs F-16:
## F-15 jarak jangkaunya lebih jauh dan dapat membawa lebih banyak payload, tapi harus membayar mahal dengan ukuran yg jauh lebih besar, dan badan 50% lebih berat (12,700 kg vs 8,570 kg -- berat kosong).
BERAT adalah musuh utama dalam desain pespur. Semakin banyak kemampuan yg dimaui (jarak jangkau, kemampuan membawa bom, multi-role) berarti pesawat akan semakin berat, diperlukan mesin yg semakin kuat (mungkin melebihi apa yg ada), dan harga per unit pesawatnya juga dengan sendirinya akan semakin muahal.
## Kalau melihat front view dari F-15, ukurannya juga 2 - 3x lipat dibandingkan F-16 -- ini berarti drag-rate (hambatan udara) utk F-15 juga jauh lebih besar dibandingkan F-16.
## Biaya operasional -- dengan dua mesin (yg minum bensin, dan perlu dirawat), badan yg lebih berat / besar, dan drag-rate yg lebih besar, tentu saja konsumsi bahan bakar dan biaya operasional F-15 akan paling sedikit 2x lipat lebih besar dibanding F-16 -- tapi dalam pertempuran udara (terutama jarak dekat), tidak berarti F-15 akan 2x lipat lebih unggul.
## Dalam pertempuran udara, F-16 malah cenderung lebih unggul dibandingkan F-15.
Ukuran yg lebih kecil = RCS yg juga lebih kecil, F-16 lebih sulit dilihat di radar.
Ukuran yg lebih kecil = F-16 juga lebih sulit diikuti pandangan mata dalam pertempuran jarak dekat. Lebih mungkin utk F-16 "menghilang" dari pandangan mata pilot F-15, sedangkan F-15 yg ukurannya besar jauh lebih mudah utk diikuti pandangan mata pilot lawan.
## Dahulu kala, pespur berat 2-mesin dapat membawa radar yg lebih besar, dan boleh dibilang mempunyai keunggulan dalam melihat lawan dari jarak yg lebih jauh. Tapi dengan evolusi RWR (Radar-Warning Receiver), dan tehnologi AESA -- keunggulan ini sendiri mulai menjadi kurang relevan dalam skenario pertempuran udara modern.
Dalam radar AESA -- pemancarnya bukan lagi ditentukan oleh ukuran radar, tetapi kemampuan masing2 transmitter. Ada 1000 transmitter di radar APG-83 AESA utk F-16, sedangkan ada 1500 transmitter di radar APG-80 / APG-63v3 AESA di F-15.
Lebih banyak transmitter, bukan berarti jarak jangkau radar F-15 lebih besar dibanding F-16 -- mungkin hanya sudut deteksinya lebih besar. Ini artinya keunggulan radar ukuran yg lebih besar sudah lebih mengecil dibandingkan di tahun 1980-an.
## Faktor terakhir -- RWR.
Radar (walaupun AESA) cenderung dapat dibalik menjadi pemancar lokasi pesawat itu sendiri ke lawan. F-15 atau Su-27 yg masih menyalakan radar mechanical pulse-doppler lama seperti mengundang missile utk menghantam mereka dari jauh.
Semua pespur Barat modern sudah di-desain utk menggunakan RWR sebagai pengganti radar utk mendeteksi / mengunci lokasi pesawat lawan secara pasif / tanpa terlihat.
Melektech |
08 Jul 2015 13:13:25
Memang membingungkan dalam memilih, semua ada segi positif dan negatifnya
semuanya tergantung dari kemampuan negara masing masing
Dual-Engine
Negatifnya sudah disebut oleh bung @GI
Positifnya, selain payload yang lebih besar, juga karena faktor savety
bila salah satu mesin mati/rusak, maka pesawat masih bisa terbang, dan kembali ke pangkalan
sedang pesawat single engine, kebanyakan langsung menghujam ke tanah.
Bahkan Su-27 Family diberi sekat antar mesin(posisi agak berjauhan), bila satu mesin tertembak, maka pesawat bisa selamat pulang ke base, seperti kejadian pada Su-25 "Frogfoot"
namun sayangnya, seperti kata Mark Bobbi, seorang ahli jet tempur di IHS JANE'S : "MiG dan pesawat Sukhoi dirancang sebagai pesawat "sekali pakai", dirancang untuk beroperasi selama 10 tahun dengan sedikit atau tanpa perawatan sebelum mereka dipensiunkan dan diganti dengan semua pesawat baru"
sejak runtuhnya Soviet. Departemen Pertahanan Rusia tidak mampu untuk merubah konsep pengadaan pesawat sekali pakai yang sangat boros itu.
GI |
13 Jul 2015 11:38:15
=====================================================
Bagi yg masih berpikir kita harus beli buatan RUSSIA drpd BARAT
====================================================
http://www.defensenews.com/story/defense/air-space/2015/07/12/russian-fleets-crashing-ukraine-nato-fighter-bomber/29962399/
====================================================
SEMUA pesawat buatan Russia, spt sudah disinggung bbrp kali diatas menganut sistem "SEKALI PAKAI BUANG". Begitu mereka sudah berumur sedikit, lalu dipakai dalam tempo yg lebih banyak, semuanya akan berjatuhan sendiri seperti nyamuk yg kena semprot!
Akhir2 ini Russian AF juga mengalami sangat banyak kecelakaan.
2 MiG-29, 1 Tu-95, dan 1 Su-34 sudah rontok - kecelakaan. Tiga pesawat yg pertama memang model kuno, tapi Su-34 adalah model baru yg post-2005.
Jadi masalah "reliability" dan "safety" bukan hanya terbatas di umur.
Artikel DefenseNews diatas menuliskan bbrp point penting permasalahan "reliability" dan "sustainability" dalam Russian AF.
## Masalah Pertama -- mereka tidak pernah menganggap serius bagaimana caranya "memelihara" pesawat dalam jangka waktu yg lama.
===================================================================
.....in Russia, where sustainment and upkeep have never been strong suits, is worse (than in the Western countries).
"It's exactly like us, except for a couple very big differences — we take sustainment seriously and we build robust systems," Richard Aboulafia, an analyst for the Teal Group said. "THEY DON'T."
===========================================================
## Masalah Kedua, industri militer Russia utk men-support perlengkapan mereka sendiri sbnrnya dalam kondisi yg SANGAT BURUK.
===========================================================
The poor state of Russia's defense industry is also contributing to the state of Russia's aircraft fleet, said Vadim Kozyulin, a military expert at the Moscow-based PIR Center think tank.
......
"Many manufacturers of military components went bankrupt, converted to civilian production, or were left abroad — like in Ukraine — after the Soviet collapse," Kozyulin said. "Large numbers of existing producers of military components do not have military quality control inspectors on site to ensure the quality of components, as was done in Soviet times."
============================================================
## Masalah Ketiga, sangsi ekonomi dari Barat -- krn sepak terjang Russia di Crimea dan Ukraine -- juga sudah menyulitkan akses Russia ke tehnologi yg lebih modern re perlengkapan militer.
Ini karena memang sbnrnya Russia SUDAH SANGAT KETINGGALAN JAMAN secara tehnologi dibanding negara2 Barat.
=========================================================
Sanctions from Western countries are having an impact in that regard, Schwartz said, as many of the high-end components that would help keep the fleets in top shape are no longer available to Putin's government.
"They've been especially dependent on electronic components from abroad," Schwartz said. "With sanctions taking effect that reduce their ability to purchase some of the components they use in their aircraft, they have to look for substitutes or look to BUY FROM INTERMEDIARIES."
========================================================
** Lihat kalimat terakhir -- memang kebiasaan Russia utk selalu transaksi beli/jual melalui PERANTARA. Ini prosedur standard....
## Masalah Keempat -- Russia bahkan tidak mempunyai cukup banyak pilot yg sudah mengumpulkan jam terbang, apalagi kalau dibandingkan standard NATO.
Ini artinya, kita juga harus mempertanyakan -- apakah mereka dapat memberika training yg baik untuk negara2 client mereka?
Walaupun skrg Russia AF sedang gemar "gertak sambal" ke NATO, hampir bisa dipastikan, AU mereka sama sekali bukan tandingan NATO. Semua Su-34 dan Su-35 itu akan sangat cepat dihabisi Eurofighter Typhoon dan F-15C kalau mereka berani mencoba2.
===========================================================
Another issue the Russian source identified is the lack of qualified pilots to fly the kinds of missions the Defense Ministry is asking of the Air Force as Moscow tries to flex its muscles in the face of NATO.
"There are less pilots [in Russia] than there are aircraft, and they gave young pilots missions that are supposed to be given to experienced pilots," the source said.
These young pilots are lacking in basic skills such as midair refueling, the source said, noting "today, air refueling in Russia is, I dare to say, almost something exceptional."
Schwartz concurred that pilot training has been an issue for Russia since the end of the Soviet Union.
"They had pilots who flew so infrequently following the collapse that flight time for pilots was down to 20-30 hours a year, in some cases," he said.
=====================================================
Kita dapat mengambil kesimpulan sendiri dari artikel diatas.
Pilihan Indonesia yg lebih baik justru membeli perlengkapan dari negara2 Barat.
Hilangkan "phobia" embargo yg sudah sangat tak beralasan dewasa ini -- wong, Russia saja di embargo Barat juga tekor.
Melektech |
14 Jul 2015 00:52:23
Ada berita menggelitik saya
INDIA MEMINTA BANTUAN PERANCIS UNTUK MEYEMPURNAKAN RUDAL BRAHMOS
Jadi selama ini ToT Rusia ke India untuk Brahmos hanya setengah - setengah
Ada beberapa bagian yang sengaja disembunyikan, terutama di bagian sensor
Berbeda dengan Indonesia, India telah mengeluarkan uang yang sangat banyak, telah membeli Su-30MKI dalam jumlah Ratusan, namun tetap saja Rusia hanya memberikan ToT sepotong
Demikian juga HAL FGFA (T-50 PAK FA versi India) hanya akal akalan Rusia
Jadi kemungkinan besar Janji ToT Rusia untuk Indonesia hanya "Tong Kosong Berbunyi Nyaring"
GI |
15 Jul 2015 00:37:22
Bung Melektech,
ToT dari Russia itu hasilnya SIA-SIA alias NOL BESAR, terlepas seberapa serius atau seberapa dermawannya mereka ke negara client.
India sepertinya sudah mulai sadar dengan hal ini -- Kalau melihat berita2 militer dari sana, mereka skrg lebih cenderung memilih perlengkapan dari Barat ketimbang supplier lama mrk dr Russia.
## Pertama -- secara tehnologi, Russia sudah KETINGGALAN JAMAN.
Mereka termasyur unggul dalam engineering design untuk membuat model2 militer yg revolusioner; tapi evolusi dalam 20 tahun terakhir sudah berkembang ke arah elektronik dan high-tech system --- dan dalam hal ini, baik pengalaman atau kemampuan industri Russia NOL BESAR.
Seperti dalam tehnologi Radar --- Russia bahkan belum berhasil membuat AESA radar yg bisa bersaing dengan model2 Barat; model yg sudah dites di MiG-35 saja dinilai kualitasnya masih inferior (jumlah elemennya terlalu sedikit).
US sebaliknya sudah mempunyai 5 macam AESA radar yg secara tehnologi sudah jauh lebih mapan --AN/APG-63v3/82 (F-15) , APG-80/83 (F-16), APG-79 (F-18E/F), AN/APG-77 (F-22), dan AN/APG-81 (F-35).
## Kedua -- seperti sudah dicatat diatas --- ToT untuk Russia tidak ada artinya kalau barang buatan mereka hanya "SEKALI PAKAI BUANG".
Senjata Russia tidak bisa dirawat dengan baik -- mrk sendiri saja kurang peduli, jadi apa yg kita harapkan dari ToT Russia, kalau umurnya pendek?
## Ketiga -- sudah hasilnya kosong, ToT dari Russia akan memastikan mereka memegang ekor dari negara client-nya sampai tak berkutik.
Ini karena tujuan ToT dari Russia -- supaya negara client semakin TERGANTUNG kepada Rosoboronexport dibandingkan supaya lebih mandiri.
Lihat saja bagaimana kontrak ToT dari Sukhoi Su-30MKI untuk India -- model yg waktu itu dianggap lebih modern dari apapun yg dimiliki Russia sendiri. Beberapa komponen HARUS tetap di-import langsung dari Rosobornexport; (Lihat dibawah) India harus membayar harga untuk 486 kg Titanium untuk komponen yg beratnya hanya 15,9 kg.
=================================================
http://www.business-standard.com/article/current-affairs/air-force-likely-to-get-entire-sukhoi-30mki-fleet-by-2019-114042200138_1.html
==================================================
This means that, of the 43,000 items that go into the Sukhoi-30MKI, some 5,800 consist of large metal plates, castings and forgings that must contractually be provided by Russia. HAL then transforms the raw material into aircraft components, using the manufacturing technology transferred by Sukhoi.
That results in massive wastage of metal. For example, a 486 kg titanium bar supplied by Russia is whittled down to a 15.9 kg tail component. The titanium shaved off is wasted. Similarly a wing bracket that weighs just 3.1 kg has to be fashioned from a titanium forging that weighs 27 kg.
=======================================================================
ToT Russia = Bayarlah Perantara anda dengan murah hati, dan bersiaplah untuk merogoh kocek lebih dalam lagi utk berurusan dengan Rosoboronexport.
GI |
15 Jul 2015 01:24:57
==========================================
Daftar kecelakaan AU Russia sepanjang tahun 2015
==========================================
http://www.flightglobal.com/news/articles/tu-95-crash-adds-to-list-of-recent-russian-incidents-414611/
=====================================
Su-24 -- 2 pesawat; 11 Februari & 6 Juli
Su-34 -- 1 pesawat; 4-Juni
MiG-29 -- 2 pesawat; 4-Juni & 3-Juli (Grounded)
Tu-95 -- 2 pesawat; 6-Juli & 14-Juli (Grounded)
Sejak awal bulan Juni ini -- AU Russia sudah mengalami 6 kecelakaan -- 7 pesawat sepanjang tahun 2015 (termasuk Su-24 yg rontok di Februari)
H4j1B0g3lXxX |
15 Jul 2015 12:22:40
Kalau masalah Tot sya jg sudah pusing sampe tergadang begadang mikirin TOT doang wkwk
emg mau negara2 spt Rusia, Amerika, Eropa barat, Tiongkok dll memberi TOT 100% bahkan mereka saja sudah pelit sekali untuk hanya memberi 40% dari product tersebut, coba lihat Sigma Indonesia yg mesin dan jeroannya msh di produksi diluar negri atau Project KF-X dan I-FX yg mendapatkan TOT dari Lockheed Martin tapi performa nya harus dibawah jet tempur yg gagal F-35.
Yah kalau TOT dari rusia itu 0 besar karena harus ketergantungan dengan Rosoboroexport spt ap yg bung @GI bilang, bagaimana dengan TOT dari negara lain, apakah mereka siap kehilangan keuntungan karna product negara mereka bisa di produksi juga oleh negara lain dengan qualitas yg sama dan merelakan uang yg seharusnya bisa masuk kecocek mereka hilang? tentu saja tidak
GI |
15 Jul 2015 16:09:52
Bung H4j1B0g3lXxX,
Pertanyaan yg bagus mengenai ToT.
=======================================================================
Pertama2 -- pengertian ToT harus terlebih dahulu diperjelas -- 100% ToT bukan berarti Indonesia bisa mendadak menjadi ahli yg bisa bersaing dengan negara asal.
Disini kita harus menyadari keterbatasan industri & tehnologi kita dan mencari "THE BEST DEAL" dari apa yg ditawarkan pemberi ToT.
Dari segi industrial, "THE BEST DEAL" disini berarti negara pemberi ToT HARUS PEDULI dan AKAN MENGKAJI seberapa banyak komponen yg bisa diproduksi lokal, kemudian mengatur timeline agar semakin banyak komponen2 ini bisa diproduksi di Indonesia.
Ingat: Beberapa komponen vital -- seperti misalnya transmitter di AESA radar, atau komputer dalam pespur -- sampai kapanpun tidak mungkin bisa diproduksi dari NOL di Indonesia. Jadi 100% ToT BUKAN BERARTI kita bisa sama sekali berhenti mengimport barang dari luar.
Tapi dalam "THE BEST DEAL" -- paling tidak Indonesia akan belajar untuk memproduksi sendiri beberapa komponen yg "haus masa pakai", dan memastikan AESA radar itu sendiri dapat bekerja 100% secara maksimal, tanpa perlu dipegang ekornya (lihat point ketiga nanti).
## Dalam contoh ToT dari Russia seperti diatas -- kita justru akan mendapat "WORST DEAL". Mereka TIDAK AKAN PEDULI dan tidak akan pusing dalam MENGKAJI kemampuan industri Indonesia.
=======================================================================
Kedua --- dalam TOT "BEST DEAL" seperti diatas --- status negara produsen - negara client perlahan2 HARUS BERUBAH menjadi partnership.
Yah, Indonesia tentu saja berpeluang untuk menjadi minority partner, dengan potensi pengembangan yg lebih besar -- semakin kita sendiri semakin ahli.
Kalau si pemberi TOT juga tidak pernah mau pusing untuk bisa menganggap kita sebagai partner, yah, sampai kapanpun juga kita hanya akan diperlakukan sebagai salah satu customer lain. Mereka akan lebih memprioritaskan sebanyak apa kita semakin tergantung pada mereka, daripada kerjasama untuk meningkatkan Alutsista secara bersama.
========================================================================
Ketiga --- 100% ToT berarti TIDAK ADA YG DITUTUP2I atau DIRAHASIAKAN dalam hal mencurahkan kemampuan Alutsista yg semaksimal mungkin.
Kalau untuk pespur -- ini artinya kita HARUS memegang kontrol atas "SOURCE CODE" pesawat. Ini adalah kemandirian tersendiri -- krn kita pada akhirnya akan mempunyai kemampuan untuk programming combat parameter yg bisa menjadi titik bersaing di kemudian hari. Sekali lagi, ini adalah tujuan jangka panjang. Bukan berarti SOURCE CONTROL berarti Indonesia bisa jadi lebih pandai dari negara lain dalam jangka pendek.
Semuanya perlu LEARNING CURVE yg panjanggggg....
===================================================================
H4j1B0g3lXxX |
15 Jul 2015 22:41:28
Kalau tenang komponen vital yg tidak bsa di produksi dalam negri dan kita harus bisa untuk memproduksi komponen yg haus masa pakai saya sependapat dengan bung @GI.
Tapi kalau pun kita telah memilih best deal untuk Tot untuk perkembangan saya rasa kita sudah agak telat, coba lihat singapore dan turkey pada tahun 1990 awal mereka gencarnya mencari produk yg ber Tot untuk dikembangakan dan sekarang mereka bisa mencapai 60% kemandirian dalam bidang pembuatan alutsista.
Bagaimana dng Indonesia yg terlalu bangga hanya dng panser anoa(tiruan VAB),cn-235 yg dikembangakan bersama spanyol, senapan ss2 dan sniper spr, bukannya saya menjelek2an produk dalam negri tapi apakah indonesia bisa mengimbangkan singapore dan turkey dalam 10 tahun mendatang kalau pun indonesia telah mengambil kesempatan best deal Tot sebaik2nya(dan pastinya mengembangkannya dng baik)
Melektech |
16 Jul 2015 02:01:12
@H4j1B0g3lXxX
Anda mengeluh ?.............................................
karena nanti arahnya ke POLITIK,
lebih baik kita membahas Teknologi dan Informasi terkini saja
"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali"
iboy6 |
16 Jul 2015 09:49:02
@H4j1B0g3lXxX
tidak ada kata terlambat untuk belajar,hilangkan pikiran2 negatif seperti itu kalau tidak selamanya kita hanya akan jadi kucing Asia
GI |
21 Jul 2015 18:00:25
=============================================
Russia juga TIDAK KEBAL DARI EMBARGO BARAT
============================================
http://www.themoscowtimes.com/business/article/putin-warns-russian-defense-industry-not-to-fall-behind/525853.html
============================================
Melanjutkan seri "Masih mau beli buatan Russia" seperti diatas.
Artikel ini dari Moscow Times mother-Ruski sendiri.
Beberapa point penting dari artikel ini:
## Russia sendiri mengakui kalau sebenarnya keadaan industri pertahanan mereka TIDAKLAH SEHAT.
## Embargo ekonomi / militer Barat ternyata juga BERPENGARUH ke kemampuan modernisasi industri pertahanan Russia sendiri. Semakin mengigitnya embargo, industri militer Russia juga keadaannya semakin memburuk.
=========================================================================
Russia's military modernization drive is stalling this year under the weight of Western sanctions and the decay of the domestic defense industry, a deputy defense minister told President Vladimir Putin.
The defense industry is struggling to keep to schedule on government contracts under a decade-long 20 trillion ruble ($350 billion) rearmament campaign set to wrap up in 2020.
"The objective reasons for the failure to meet state defense procurement orders include restrictions on the supply of imported parts and materials in connection with sanctions, discontinuation of production and the loss of an array of technologies, insufficient production facilities," Deputy Defense Minister Yury Borisov told Putin during a video conference, according to a transcript released by the Kremlin on Thursday.
=========================================================================
## Tentu saja, untuk memperkeruh suasana, Russia sendiri juga harus mengigit jari dan mengakui kalau industri pertahanan mrk sama sekali TIDAK TRANSPARAN.
(Baca: Birokrasi, korupsi, dan mafia)
========================================================================
Ruslan Pukhov, director of the Moscow-based Center for the Analysis of Strategies and Technologies, said the decision to create a new bureaucratic structure to monitor defense expenditures was a typical Russian reaction to the problem.
What is needed is transparency, he said. "It is easy to misuse public funds under the auspice of secrecy if there is no public auditing. This is a big problem in Russia."
The first reflex of any Russian administration is to create another bureaucratic structure that they think will solve the problem by monitoring other structures, he said.
===========================================================================
Jadi, yang menjadi pertanyaan:
## KENAPA MASIH MENGINGINKAN BELI DARI RUSSIA?
## APAKAH RUSSIA BISA MENJADI SUPPLIER YG BISA DIANDALKAN?
## BAGAIMANA DENGAN TRANSPARANSI? MRK SENDIRI KEWALAHAN DENGAN SISTEM MRK YG KORUP!
Jawaban dari pertanyaan2 diatas sendiri sudah jelas.
Sudah saatnya mencoret Russia dari daftar supplier senjata untuk TNI.
rezz |
22 Jul 2015 00:34:05
oot ga apa2 ya.....
http://www.businesskorea.co.kr/article/11406/experiment-fail-kf-x-project-could-come-dead-end
walau baru sekedar asumsi (dari seorang profesor) tapi mungkin ini 99% terjadi ....
dan saya membayangkan ....kfx/ifx ini misalkan jadi 25-30 tahun mendatang...tp memakai radar AESA....apa yg ketingalan jaman?
sudah di pastikan di bawah f 35 dan pakai aesa tapi asumsi pemerintah kfx/ifx akan menjadi jet 4+ terbaik nantinya dan akan menjadi tulang punggung?..apa ga aneh tuh....25-30 tahun yg akan datang jet ini ga akan jd yg terbaik di antara gen 4+ tapi malah jadi "terkuno" di banding gen 4+ yg lain.....sy setuju sama GI...lebih baik kita mundur dari proyek ini dan lebih baik uang nya utk TOT jet peganti f-5.....menurut saya apa yg akan kita dapatkan di proyek kfx/ifx ini bisa kita dapatkan di proyek TOT peganti f-5.... malah mungkin lebih baik lagi...saya ragu kita di kasih source code kfx/ifx
Cmiiw
H4j1B0g3lXxX |
22 Jul 2015 21:42:39
Kalo di lihat2 dari body dan designny sih kykny lbh bagus dr f-35. Kalau lockheed martin mengatakan kf-x/if-x harus dibawah f-35 secara jeroan electronikny yg sangat vital di pertempuran modern karna ini bukan era perang dingin lagi yg mengandalkan dogfight
Secara personal sy jg setuju dengan bung @GI dengan kita keluar dr project kf-x dan secara personal mengambil teknologi vital(yg kita blom punya aj), dan uangny untuk tot pengganti f-5 tiger dan 3-4 squadron pesawat tempur tambahan. Kalo bsa lapan lf-x dilanjutkan secara mandiri dengan menggunakan tot yg kita dapat hehehe
GI |
23 Jul 2015 16:47:43
Sekali lagi; sedari awal keikutsertaan Indonesia utk proyek KF-X ini TUJUANNYA TIDAK JELAS.
Kalau mau pespur bermesin ganda, dengan kemampuan (manuever, RCS) lebih huebat dari F-16 --- pesawatnya sudah ada.
Eurofighter Typhoon ATAU Dassault Rafale.
Apakah pesawat kertas KF-X kemampuannya akan lebih hebat dari Typhoon atau Rafale??
Apalagi mengingat budget Korsel yg "huemat" (hanya $10 milyar), dan juga dibuat dari negara yg basis tehnologi / industrialnya jauuuuuuh lebih rendah dibandingkan Eropa??
Jawabannya: mau seoptimis apapun sih boleh, tapi jawabannya TIDAK MUNGKIN BISA TERJADI.
Untuk Indonesia -- kalau masih menginginkan pesawat yg spesifikasinya serupa KF-X, jauh lebih baik membeli Typhoon atau Rafale.
Toh, keduanya sudah terbukti dapat mengalahkan F-22, dan IMHO, setelah selesai diperlengkapi AESA radar dan MBDA Meteor; kemampuannya akan jauh lebih diatas dibanding Su-35 atau F-35.
Sebaliknya KF-X justru akan mengandalkan ToT dari LM --- perusahaan yg memproduksi F-22, F-35, dan F-16. Oh, oh!
Kalau kita masih mengeluh karena harga Typhoon atau Rafale yg terlalu mahal, ALIAS diatas $100 juta / unit; jangan salah sangka... kemungkinan besar tentu saja KF-X harga / unitnya berdasarkan spesifikasi dan jumlah produksinya AKAN LEBIH MAHAL LAGI.
Terakhir, kalau (lihat artikel diatas) kita khawatir US akan tutup kartu mengenai ToT untuk KF-X; bukankah ini menjadikan Typhoon atau Rafale pilihan yg lebih baik?
Seperti sudah diketahui, baik Eurofighter dan Dassault akan bersedia untuk berbagi "Source Code" untuk pespur mereka -- berarti tidak akan ada yg dirahasiakan.