Admin |
27 Nov 2014 13:05:31
@Rezz,
memang mahal mas kalau pesawat tanker seperti ini. kebutuhan sih belum tau berapa, mungkin 4 unit itu sudah "mencukupi". tapi saya sih melihatnya, kalaupun benar benar dibeli, jumlahnya ga akan banyak. 1 atau 2 unit sebagai pembelian awal saya kira sudah cukup bagus. mengingat di MEF II nanti bukan hanya pesawat tanker saja yang perlu di anggarkan tapi ada kemungkinan untuk pesawat AEW&C juga. belum lagi pengganti F5
maka saya melihat beli satu atau dua unit aja di awal sudah cukup bagus. mengenai kapan di belinya ya kita lihat saja di MEF II ini antara 2015-2019..
untuk request artikel Apache, wah ide menarik tuh.. sebenarnya sudah lama saya mau nulis artikel ttg itu. tapi ya, karena kesibukan agak terlupakan. baiklah saya akan coba tulis artikel ttg Apache...
mungkin cakupannya ya seputar spek, penempatannya dan beberapa aspek lainnya. atau ada ide, spek apa yang enaknya di bahas?
Gripen-Indonesia |
27 Nov 2014 14:15:12
@rezz
A330 standard untuk pesawat penumpang memang harganya berkisaran antara $220 - $250 jt.
Versi MRTT adalah versi untuk militer. Versi ini menambah refueling boom control, dan mngkn jg perlengkapan defensive lainnya tergantung spesifikasi pembeli. Bagian dalamnya bisa diubah2 utk membawa 300 penumpang, evakuasi medikal korban tempur, atau sebagai transport utk membawa perlengkapan.
Harganya tentu saja lebih mahal drpd A330 standard, mngkn sekitar $300jt-an. India baru saja merogoh $2 milyar utk membeli 6 A330 MRTT.
Untuk pembelian MRTT Indonesia di masa depan, mngkn bisa "borongan" sekalian dgn pembelian A330-NEO (A330 dgn mesin jenis baru) yg kemungkinan jg akan dibeli Garuda Indonesia. Pembelian dlm jumlah lebih banyak tentu saja memudahkan "finance deal" dari Airbus, dan meringankan biaya per unit.
@Admin
Pembelian Apache sebenarnya membuka masalah baru untuk Indonesia.
## Apakah Indonesia membutuhkan helikopter tempur kelas berat semacam ini -- yg fungsi utamanya adalah menghancurkan kendaraan musuh?
## Yang kedua adalah nilai transaksi yang $500 juta untuk 8 unit -- dengan kebutuhan yg dipertanyakan spt diatas. Entah kenapa, Indonesia memilih versi Longbow -- tipe plg modern dr Apache. Saat ini spesifikasinya tidak jelas, tp belum tentu (kembali) Indonesia mendapat Link-16 data network (!). Tp Link-16 dalam kasus ini juga akan mubazir, krn semua asset lain di darat juga belum memiliki data network yg berarti.
Biaya $500 juta ini sudah mendekati biaya pembelian / hibah 24 F-16 Block-52ID yang $750 juta, dan melebihi nillai kontrak terakhir untuk 6 Su-30MK2 baru yg $470 juta.
## Terakhir, Indonesia sudah memiliki Mi-35P Hind, yg juga bisa dikonfigurasi sebagai helikopter tempur ATAU helikopter angkut, jadi lebih fleksibel.
Dari sudut pandang ini juga sudah kontroversial, krn tidak ada negara lain yg pernah mengoperasikan Mi-35 dan AH-64 secara bersamaan. Ini sama seperti membeli Su-27 DAN F-15 bersamaan (untung pilihan F-15 sudah digugurkan di tahap akhir utk pengganti F-5E); atau membeli Rafale DAN Typhoon bersamaan.
Dua pesawat yg fungsinya sama yg dibuat dari 2 negara yg sama sekali berbeda. Sekali lagi, hal ini akan memperburuk masalah support, upgrade, dan maintenance -- karena kedua tipe di atas tidak memiliki satupun kesamaan.
Kalau mau modernisasi, kenapa tidak membeli Mi-35M saja yg akan lebih murah?
Versi -M menambah Night-vision-system, GPS navigation, multi-mission komputer, dan sistem komunikasi yg lebih baik dibanding versi Mi-35P yg sudah dibeli Indonesia sebelumnya. Versi -M sudah dibeli Russia, Azerbaijan, Brazil and Venezuela.
Berbeda dgn pesawat tempur modern di kelas Su-30MKI atau Su-35S, keluarga Mi-24 Hind sudah dioperasikan selama 40 tahun, dan ribuan unit sudah diproduksi. Jadi dari segi kualitas lebih terjamin, dan untuk urusan spare-part, support, dan maintenance seharusnya jauh lebih mudah.
Gripen-Indonesia |
28 Nov 2014 10:41:17
@Admin
Mungkin artikel di masa depan bisa menuliskan ttg: "Rencana untuk memenuhi MEF? Tantangan dan harapan bangsa Indonesia sekarang dan di masa depan."
Referensi tambahan ttg Apache:
http://www.aspistrategist.org.au/why-does-indonesia-need-apache-gunships/
Quote #1:
"But there’s another intriguing thing about the deal. For a full package, the DSCA estimated the cost of eight Apache for Indonesia at US$1.42 billion. Why then is the current deal only worth a third of that? It’s possible that the deal doesn’t include all of the armament and support systems. Such a scaled-down acquisition isn’t new in Indonesia’s arms purchases. For example, in 2004, Indonesia bought its first four Sukhoi jet fighters unarmed."
Seperti biasa, nilai transaksi $500 juta, tapi sebenarnya biaya sepenuhnya untuk persenjataan dan perlengkapan utk 8 AH-64 Longbow bisa mencapai $1,42 Milyar. Karena lagi2, pembelian ini sepertinya tidak disertai pembelian senjata -- pembelian Sukhoi jg tidak disertai senjata. Pembelian Block-52ID jg belum disertai tambahan missile jenis baru.
Tambahan, pembelian semacam ini juga menunjukkan kalau Indonesia sepertinya ingin bisa membeli senjata yg di luar kemampuan finansial. Lebih baik beli dulu supaya ada di jajaran Alutsista, tp mengenai masalah pemakaian, itu bisa dinomor duakan.
Ini justru masalah utamanya, kenapa beli senjata yg kita maui, kalau kita tidak bisa memakainya.
Maaf, tapi sepertinya pembelian senjata Indonesia sejauh ini masih lebih ditujukan supaya bisa untuk parade hari Kemerdekaan saja; daripada memperhatikan apa yang negara ini butuhkan.
"...Buying platforms doesn’t equate to increased capabilities, let alone if those platforms are sourced from different countries with different weapon systems—precisely the way Indonesia does. Arguing that arms procurement should be diversified due to concerns over embargoes, or for any other reason, comes with an associated risk of platform incompatibility and hence, ineffectiveness. For this reason, Indonesia is still a long way off modernising the TNI, even after the MEF is achieved."
Alutsista gado2, seperti kesimpulan diatas, tidak akan berhasil membuat sistem pertahanan Indonesia menjadi lebih ampuh, kalaupun MEF dan MEF2 sudah tercapai. Biaya maintenance, support, dan upgrade akan sangat sulit di masa depan.
Kedua hal diatas sebenarnya sangat mengkhawatirkan, karena sudah mengurangi kesiapan tempur Indonesia jauh daripada yg seharusnya.
Artikel analysis lagi mengkritik pembelian Alutsista Indonesia saat ini:
http://www.aspistrategist.org.au/indonesias-problematic-defence-procurement-priorities/
"The defence budget of the Republic of Indonesia has seen a significant increase in 2012, reaching US$8 billion—an increase of 29.5% from the previous year."
".... in a limited defence budget, the ‘high-end’ capabilities might be at too high a price.
Hopefully, the Leopards can be used optimally by the Indonesian military. And it never hurts to accept gifted platforms, such as C-130 Hercules from Australia and the United States, but Indonesia has to consider the cost of upgrading them. And lastly, another priority remains—the production and development of Indonesia’s domestic arms production. And that all has to fit into a budget less than a third of Australia’s. Indonesia needs to think about its priorities and plan very carefully."
Referensi diatas juga menunjuk kalau 1 atau 2 Skuadron helikopter ASW (Anti-Submarine) sebenarnya harus mendapat prioritas yang jauh lebih tinggi dibanding helikopter tempur semacam Apache, atau tank berat sekelas Leopard; karena biar bagaimanapun juga, Indonesia adalah negara maritim.
TNI-AU juga seharusnya menambah lebih banyak anti-ship missile. Catatan pembelian dari SIPRI menunjukkan kalau saat ini hanya ada 10 Kh-31 dan 10 kh-59 --- untuk dipakai 16 Sukhoi yang biaya operasionalnya muahal. Tentu saja jumlah ini jauh dari mencukupi, dan bagaimana dengan latihannya sendiri? Dengan hanya 20 missile, apakah Sukhoi Indonesia mendapat cukup latihan utk bisa menggunakannya?
Catatan akhir dari referensi ini:
SEMUA penjual senjata tidak akan peduli dengan kemampuan militer Indonesia. Mereka hanya akan tertarik untuk MEMIKAT pembeli.
Hal ini dikarenakan, dalam "Industry life cycle", industri militer sudah memasuki fase menurun ---> dibanding puncak kejayaan di tahun 1960-1970-an, dimana banyak sekali Angkatan Udara di masa itu mempunyai ratusan atau ribuan pesawat tempur (sebagai contoh). Anggaran militer seluruh dunia akan cenderung menurun, dan setiap SATU senjata generasi selanjutnya yang dibeli harus menggantikan DUA senjata dari generasi yg lama.
### Inilah juga sebabnya mengapa saat ini bukanlah waktu yang baik untuk memulai proyek pembuatan pesawat tempur semacam KF-X -- yg mungkin bisa memakan biaya $30 - $40 milyar.
Seperti sudah tuliskan di artikel sebelumnya ttg "Masalah integrasi Alutsista Indonesia" -- hal inilah yang seharusnya menjadi prioritas utama dari MEF2. Jangan lagi meneruskan pembelian yang sifatnya "serampangan" pada masa pemerintahan SBY ini!
Bukan tidak mungkin tanpa perencanaan baik, Indonesia bisa membeli masing2 1 skuadron F-15, Eurofighter Typhoon, dan Su-35S..... TIGA sumber yang berbeda untuk pesawat tempur Air Superiority. Tentu saja ini semua KELIHATANNYA huebat, apalagi kalau bisa dipamerkan untuk parade hari kemerdekaan.
Akan tetapi tiga skuadron gado2 semacam itu tidak akan pernah bisa menjadi tandingan yang berarti untuk ke-60 F-16 Block-50 Singapore, atau bahkan 70 F-18A/B Australia yang sudah uzur.
rezz |
28 Nov 2014 20:49:00
nah itulah knp saya request masalah apache...kabar terakhir $ 600 juta utk 8 apache...4 di antaranya full amunisi kecuali hellfire..DSCA =$ 1,4 m utk paket lengakp plus 140hellfire...mungkin ini hanya modus us aja
#us ngasih izin krn mau memblok pengaruh china di indonesia...indonesia sedang di perebutkan oleh china dan us....2020 us mau nempatkan 60% armada lautnya di
pasifik..jadi indonesia ibarat gadis cantik yg sedang di kejar oleh 2 pemuda ( harusnya indonesia bisa manfaatkan keadaan ini...porotin aja sekaliah hehehe)..china ngasih tot missile sama kita
#ndonesia ialah negara kunci masalah lcs....dan menurut petinggi tni apache mau di tempatkan di sekitar lcs ...agak aneh sih apache mau jadi "benteng maritim"...yg paling cocok kan di perbatasan kalimantan-malasia
#apache yg kita beli produksi tahun 2007-08....aneh kan krn kita rencanaya baru terima 2018-21...jangan2 ini barang retrofit?????atau apache butuh hampir 10 buat produksi ( makin aneh)?? krn menurut pernyataan resmi boeing mereka bisa bikin 4 apache ah64e dalam 1 bulan...*kita beli yg ah 64e
# uang...biaya ini murni hasil pinjaman....kira2 brp bungan nya??? semua bungkam masalah uang...dari panglima sampai menteri pertahanan era sby ga ada pernyataan resmi brp bunga dan proses bayar/pelunasan
#jangan sampai alutsista dari us cuma akal2 us aja buat ngabisin uang kita ..kita lagi ngebangun lagi kekuatan tni...nah ini cara us buat kontrol seberapa hebat tni dengan mengimport alutsista krn seberapa banyak pun kita beli pasti lebih rendah dari yg us kasih ke aussi/sgpore....kasarnya walau indonesia punya barang canggih tapi us punya kunci indonesia....jadi indonesia masih dalam genggaman us...uk ( bae system ) aja bisa di kadalin sama us ( Lockheed Martin) apalagi kita....
saya setuju kita punya alutsista canggih...tapi klo ga tepat kegunaannya buat apa????...leopard kita tempatkan di pulau jawa sementara utk angkut ke kalimantan blom ada kri yg khusus angkut tank(walau ada itu juga dlm jumlah angkut keci) ...jangan sampai kita beli asal wah dan ter bla bla bla....cuma buat show off di parade militer aja...
jangan sampai ekonomi kita di "jajah" oleh alutsista yg cangih tapi ga sesuai...kita bukan seperti india/arab saudi yg asal nunjuk beli....dengan uang $9-10 m semoga pemerintah bisa mengunakan dengan sebaik2nya
Admin |
30 Nov 2014 08:14:48
@Gripen Indonesia,
terkait pembelian Apache, memang itu sebuah 'kekeliruan' jika dipandang sekilas.. sama seperti yang mas sudah sampaikan diatas, tidak ada community sama sekali dengan helikopter yang ada di TNI AD sekarang dan fungsiinya 11-12 dengan Mi-35 P
namun kalau kita mempertanyakan "apakah Indonesia memerlukan helikopter serang seperti Apache?" maka mau tak mau kita juga harus mempertanyakan "apakah Indonesia juga membutuhkan heli serang seperti Mi-35?".. jawabannya kurang lebih akan sama..
saya tidak terlalu mau membahas itu, karena saya kira kebutuhan heli serang (entah serang murni atau bukan), pasti sudah ada kajiannya terlebih dahulu. saya merasa kurang berkopeten untuk menjawab itu.
namun yang mau saya soroti adalah, kenapa Indonesia membeli Apache padahal sudah punya Mi-35? untuk menjawab ini, saya mau kita flash back dulu, kepada latar belakang pembelian helikopter Mi-35 di Indonesia. adakah yang benar benar tau latar belakang serta masalah dibelakang layar dibalik pembelian Mi-35? saya kira pertanyaan ini jika kita mampu menjawabnya akan memberikan titik terang kenapa akhirnya Indonesia membeli Apache bukan tambahan Mi-35
dari beberapa info yang berseliwerang yang pernah saya baca, ada beberapa masalah dalam Mi-35 ini, namun saya tidak bisa memastikan kebenaran informasi ini ya. mungkin silahkan dikorfimasi ke pihak lain yang lebih mengetahui. permasalahan yang pertama saya rasa adalah maintanance tingkat berat heli Mi-35 ini harus dikerjakan di Rusia. seperti beberapa waktu lalu, 2 unit Mi-35 Indonesia baru saja dikirimkan ke Rusia (atau Ukraina, maaf rada lupa) untuk maintenace tingkat berat. ini mungkin saja dipandang sebagai nilai minus oleh pihak terkait.
lalu kenapa Apache yang dibeli, ya saya sendiri kurang tau, kita tau sendiri di Indonesia tidak ada hal yang tidak mungkin. namun saya melihat pembelian Apache ini "cukup baik" untuk Indonesia kedepannya. dari segi geopolitik itu sudah menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata oleh negara adikuasi seperti Amerika.
saya melihat ada kencenderungan perubahan arah kebijakan dalam pembelian Helikopter kedepannya. Jika dulu produk rusia yang bertengger (Mi-17, Mi-35), maka kedepannya sepertinya produk Amerika yang akan berkuasa. tidak akan terlalu mengherankan jika setelah Apache, BlackHawk dan Chinook juga akan di akuisisi. kenapa ada perubahan seperti ini? terlalu sukar menjawabnya, dan inilah Indonesia.
just IMHO
Admin |
30 Nov 2014 08:36:30
@Gripen Indonesia,
terkait dengan dana pembelian Apache yang jauh dari perkiraan DSCA, ya kita harus melhat kembali apa kontrak dalam pembelian dengan nilai 500 juta dolar tersebut. bukan satu hal yang menherankan jika di Indonesia pembelian flatform dan senjatanya sering sekali terpisah. kenapa seperti itu, ya kita tanyakan ke rumput yang bergoyang saja. cos itu sudah hal yang "lumrah" di Indonesia... benang kusut yang terlalu rumit untuk kita bahas. idealnya memang harusnya satu paket, but this is Indonesia. :)
apakah model pembelian ini karena keterbatasan finansial Indonesia? bisa jadi, namun tidak pasti juga mengingat Indonesia bukan negara yang miskin amet. saya yakin indonesia juga pasti akan membeli paket senjatanya. lalu kenapa sering sekali pembelian flatform sering terpisah dari paket senjatanya? this is Indonesia :)
terkait prioritas pembelian alutsista, saya kira kurang tepat juga kalau mas mengatakan Indonesia lebih memerlukan Heli ASW dibanding Apache dan Leopard. hal ini karena baik MBT, Heli Serang dan Heli ASW saya kira sama sama dibutuhkan Indonesia. Indonesia juga sudah dalam tahap menanti kehadiran 11 unit Heli Panther untuk kebutuhan ASW. artinya pembelian Apache dan Leopard tidak menutup pembelian ASW. lagi pula domainnya itu sudah berbeda, Apache dan Leopard domain AD dan ASW domain AL.
just IMHO
Gripen-Indonesia |
30 Nov 2014 10:25:48
@Admin
## Mi-35 dan Mi-17 -- patut diketahui, bahwa kedua tipe ini sebenarnya satu keluarga. Mereka bahkan memakai mesin yg sama. Ini dikarenakan Mi-24 pada awalnya memang tidak dirancang sebagai helikopter tempur, tapi helikopter angkut variant Mi-8 yg dipersenjatai (kian lama kian berat).
http://en.wikipedia.org/wiki/Klimov_TV3-117
Jadi pertama, aneh juga kalau Indonesia bisa punya masalah dengan Mi-35, tapi tidak dengan Mi-17.
## Yang kedua, agak aneh, kalau maintenance utk Mi-35 sampai "harus" dikirim ke Russia, mengingat dari segi kerumitan, dan tehnologi, helikopter masih jauh lebih "sederhana" dibanding pesawat tempur. Mi-24/35 sudah diproduksi sampai 2,300 unit, kenapa Indonesia juga sepertinya tidak pernah ada semacam studi banding ke India atau Vietnam utk meningkatkan maintenance?
## Terakhir, pembelian Apache ini malah membuka lebih banyak pertanyaan lagi ttg Alutsista buatan Russia. Dimanakah komitmen Indonesia untuk alutsista? Kalau senjata yg sudah dibeli rusak sedikit langsung beli yang lain, tanpa mencoba mencari penyelesaian dahulu, apa jadinya Alutsista Indonesia di masa depan?
Kembali seperti argumen saya di atas, bukan tidak mungkin Indonesia bisa memiliki F-15 DAN Su-27/30 atau kapal selam U-209 DAN Kilo-class.
## Kalau Mi-35 begitu "bermasalah" sampai Indonesia merasa "perlu" utk membeli AH-64, kenapa Su-35 masih jadi favorit untuk menggantikan F-5E?
Pengalaman ini seharusnya sudah menjadi lampu kuning, atau merah bagi pembelian Sukhoi Su-27/30/35. Kalau Mi-35 yg relatif lebih "sederhana", Indonesia tidak "mampu" mengurus, kenapa harus mengandalkan Sukhoi Flanker sebagai senjata utama?
Sebagai contoh: Mesin Al-31F di Sukhoi Flanker hanya berumur 900 - 1500 jam, dan harganya saja $2,5 sampai $3 juta / unit. Mesin AL-41F1 di Su-35S, "katanya" bisa tahan 4,000 jam. Tetapi kalau Russia dari dulu belum pernah membuat mesin yg bisa tahan lebih lama dari 1,500 jam, bagaimana mereka tiba2 bisa membuat mesin yg 3x lebih tahan? Ini justru harus dipertanyakan.
## Logika pembelian Alutsista dari AH-64 ini justru menjadi semakin membingungkan. Semoga pemerintah baru dan TNI dapat memberikan kejelasan untuk langkah yg akan diambil di masa depan.
## Untuk kebutuhan Indonesia akan Apache dan Leopard -- ini lebih berkaitan dengan menilik kebutuhan Indonesia secara keseluruhan. Sudah cukup banyak kritik di dalam dan luar negeri yg juga mempertanyakan kedua pembelian ini. Logikanya sederhana saja, pertanyaan ini belum terjawab:
Indonesia ini negara maritim dgn ribuan pulau, jadi Apache atau Leopard ini mau dipakai dimana? Atau, apakah yg "mungkin" bisa menjadi lawan tandingan Apache atau Leopard?
## Untuk ASW helikopter, logika yg sama bisa diterapkan. Indonesia adalah negara maritim. SEMUA negara Asia Tenggara sudah sibuk membeli kapal selam. Masakan sampai sekarang kita tidak mempunyai satupun juga ASW helikopter untuk mengawasi perairan Indonesia yg begitu besar? Apa jadinya kalau ada kapal selam "lawan" yg bisa menyusup sampai ke laut Jawa atau Selat Sunda?
Apakah ini menjadikannya prioritas lebih penting dibanding Apache dan Leopard? Tentu saja, kecuali kedua pertanyaan diatas bisa terjawab.
## Terakhir -- terkait dengan alokasi pertahanan untuk AD, AL, atau AU. Ini terlalu politik -- setiap negara pasti punya masalahnya sendiri untuk masing2 Angkatan berebut alokasi anggaran militer yg terbatas. Mungkin sebaiknya kita menjauhi subyek ini, dan berkonsentrasi saja ke pembahasan kebutuhan Indonesia.
Gripen-Indonesia |
30 Nov 2014 17:04:04
## Tambahan masalah helikopter:
@Admin juga mempertanyakan apa kita perlu Mi-35?
Kalau dari sudut pandang ini, saya setuju, karena ada benarnya juga.
## Seringkali kita lupa, PT DI sudah memiliki licence production dari banyak sekali tipe helikopter -- kebanyakan dari Eropa, tapi juga ada bbrp yg buatan US. Indonesia sebenarnya sudah memiliki cukup kemandirian untuk supply helikopter militer untuk kebutuhan sendiri... kenapa masih harus impor?
Kalau dari segi helikopter transport, PT DI sudah memproduksi keluarga Puma / Super Puma (NAS-330 / NAS-332 / EC-725). Ini adalah tipe helikopter angkut kelas menengah yg sangat bagus, bisa diandalkan, dan dapat dipersenjatai bila perlu. Sebenarnya tipe terakhir - EC725 ini sudah sebanding atau mungkin lebih baik dibandingkan dengan Mi-17 dan/atau kemampuan angkut Mi-35.
Lalu kalau EC-725 Cougar masih kurang memenuhi kebutuhan, PT DI juga masih memproduksi Bell-412 untuk helikopter transport ukuran kecil/menengah. Juga masih ada model NAS-555 Fennec untuk helikopter angkut ringan.
Kesemua tipe yg diproduksi PT DI diatas, adalah tipe helikopter2 yang sangat bagus, walaupun mungkin tidak menduduki peringkat pertama dalam kemampuan, jika dibandingkan jagoan2 seperti MH-53 Super Stallion, UH-60 Blackhawk, CH-47 Chinook, atau dari Eropa sendiri masih ada tipe baru NH-90 yang jauh lebih modern.
Tapi pertanyaannya kembali, apakah Indonesia membutuhkan helikopter yg lebih berat dari EC-725 Cougar, dan memang butuh secepat mungkin?
## Pertanyaan kedua,
Memang seperti tipe EC-725 misalnya, sebenarnya agak mahal, $45- $55 juta per unit. Tetapi bukankah lebih baik Indonesia tetap berkonsentrasi ke produk-produk PT DI?
Bukankah kita seharusnya bisa memanfaatkan penambahan anggaran militer untuk membeli license production helikopter PT DI sendiri dibanding harus terus2an impor, baik itu Mi-17, Mi-35, ataupun AH-64.
## Mungkin untuk pembelian Mi-35 masih boleh dibilang cukup beralasan -- karena dia bisa menyambi untuk mendukung armada Super Puma / Cougar / Bell-412 untuk urusan transport, tetapi dia satu2nya yg memiliki kemampuan helikopter tempur....
## Untuk masalah ASW helikopter, tentu saja, pilihan paling baik untuk Indonesia adalah AS-565 Panther, karena faktor kerjasama PT DI dengan pembuatnya, Eurocopter (ex-Aerospatiale -- pembuat Puma/Super Puma/Cougar) patut untuk menjadikannya prioritas utama.
Ironisnya, Panther masih tergolong ASW helikopter kelas dua, sama seperti SH-2 Seasprite, padahal tentu saja kebutuhannya lebih mendesak utk pertahanan anti-kapal selam Indonesia -- sedangkan AH-64 Apache tergolong senjata kelas satu..... padahal tugas utamanya adalah untuk memburu tank / kendaraan musuh.
Seharusnya, prioritasnya harus terbalik: Kita harus mendapatkan license production dari Eurocopter untuk tipe NH90 NFH yg lebih besar, juga jauh lebih baru dan modern untuk ASW helikopter, sedangkan kursi untuk helikopter tempur seharusnya ditempati Mi-35M.
Admin |
30 Nov 2014 18:20:17
@Gripen Indonesia,
terkait mana lebih penting Leopard dan Apache dibandingkan Heli ASW dalam kaitan Indonesia sebagai negara maritim, saya bisa bilang sangat susah untuk dijawab karena yang kita bandingkan adalah 3 jenis alutsista yang sangat berbeda sekali fungsinya. Kalau mau ditanya mana yang paling prioritas, kita tanyakan saja ke pemerintah Indonesia.
Mari kita lihat kembali, pengadaan MBT dan Apache adalah domain AD, dan Heli ASW adalah domain AL. Kalau kita bilang AD tidak boleh beli Apache dan MBT sebelum AL membeli heli ASW, sama saja kita menyuruh terjadinya "perang antar angkatan". menurut saya, baik MBT, Helikopter serang dan heli ASW tetap dibutuhkan oleh Indonesia. dan dalam anggaran militer Indonesia setiap angkatan juga memiliki prioritas masing masing. Di AU kita bisa lihat prioritasnya dulu adalah penambahan F16 dan pengganti f5. di AL kita lihat prioritas di MEF I kemarin banyak di pengadaan Kapal Selam dan kapal perang, dan juga ada heli ASW.
Kalau AD memprioritaskan pengadaan Heli Serang dan MBT, tentunya mereka juga punya perencanaan sebelumnya. Hal ini karena rencana pengadaan MBT dan Heli Serang bukan baru baru ini saja terjadi, tapi sudah sejak lama, hanya saja baru terealisasi belakangan.
jadi kalau kita bertanya mana lebih prioritas Heli ASW atau MBT dan Heli Serang, susah sekali menjawabnya. mungkin kita perlu bertanya langsung ke pemerintah Indonesia.
Terkait Panther yang mas sebut heli ASW kelas 2, dan mengharapkan Indonesia seharusnya membeli NH90 NFH sebagai heli ASW TNI AL, saya cuma mau menyampaikan pemilihan heli ini tentunya perlu pertimbangan banyak. salah satunya adalah dimensi fisik, tidak hanya kecanggihannya. hal ini karena Heli ASW tersebut nantinya akan ditempatkan di deck kapal perang TNI AL, bukan berada di darat. artinya dimensi fisik heli ASW juga harus disesuaikan dengan kondisi kapal perang yang ada di Indonesia.
Kalau mas mengatakan seharusnya NH90 sebagai heli ASW dan harusnya Mi-35M yang dibeli bukan Apache, saya gak bisa berkomentar apapun, karena saya sama sekali tidak berkopeten menjawabnya.
just IMHO
rezz |
30 Nov 2014 22:49:56
wah gara2 saya request apache...jadi kemana2 neh...hehhee.....klo saya perhatikan pengadaan alutsista memang acak kadut..walau ada mef tapi pembelian seakan2 ga ada blueprint nya gado2 tapi jadi amburadul...pengadaan loepard juga krn negara eropa kena krisis jadi loepard di beli ibarat cuci gudang....ada kesempatan langsung hajar/borong...memang bagus utk indonesia yg dana utk tni nya minim (beli pas diskon ) ...bj habibie juga pernah kritik krn indonesia beli loepard krn mentang2 harga lagi jatuh ....dan klo di perhatiin pemerintah selalu di kadalin sama penjual ..entah itu rusia atau us...( makanya AD agak alergi sama rusia krn di kuras abis) ..mungkin yg paling aman dari eropa...mereka lebih mudah masalah tot dan ga pernah kadalin indonesia...pengadaan alutsista bukan hanya ada uang (pembeli) dan barang ( penjual) tapi tentang politik,keamaman dan menjaga stabilitas....ga mau lah penjual jadi senjata makan tuan....nah kerja menlu dan menhan jadi sangat vital....kasus kri bung tomo class..katanya tot sama belanda ..nyatanya 0...1000 alasan di aksih sama belanda...pemerintah terima aja...bahkan kfx/ifx indonesia ga punya suara dlm menentuan masalah mesin ( 1 atau 2 engine)...begitu juga ks chanbogo...korsel minta nya aneh2..insiyur hrs di bawah 30 tahun lah...intinya indonesia kaya kambing yg di iket...ga bisa protes apa2...mungkin pemerintah mikirnya "gw cuma kerja 5/10 tahun kok...yg penting ada jejak peninggalan gw yg di anggap bagus"...tapi yaaa....kita cuma bisa berdoa dan melilih utk optimis aja kan ..hehehe
Gripen-Indonesia |
01 Dec 2014 00:22:52
@rezz
Siip... apa yg sudah anda tulis, semuanya sudah berhasil merangkum inti permasalahan pembelian Alutsista Indonesia. Sepertinya Indonesia dicurangi terus. Diiming2i macem2 (harga discount, dll) sama penjual2 dari US dan Rus. Penjual Eropa dalam hal ini juga tidak ada bedanya, spt pemerintah Jerman dan Krauss-Maffei, yg memang sibuk obral Leopard.
** Bagus juga sudah menyinggung KFX/IFX (lagi) -- memang Indonesia tidak akan mempunyai suara sama sekali (!!) -- toh kontribusi finansial cuman 20%, dan kita belum cukup pengetahuan / pengalaman pesawat tempur. Anak kemaren sore yg numpang nimbrung.
## Beberapa artikel analisa independent baik di dalam ataupun luar negeri sudah menyinggung akuisisi alutsista Indonesia yang simpang-siur 10 tahun terakhir.
Yah, semoga saja pemerintah baru dan TNI bisa mulai duduk dahulu, berpikir dalam2 sebelum menentukan langkah berikutnya.