08 Nov 2014 16:11:42 | by Admin
| 26228 views | 26 comments
|
4.6/5 Stars dari 7 voter
Modernisasi militer Indonesia khususnya angkatan udara Indonesia mengalami perkembangan pesawat dalam 5 tahun belakangan ini. Banyak alutsista-alutsista terbaru TNI AU yang sudah berdatangan sampai dengan akhir 2014 ini. Namun sejauh ini, alutsista yang didatangkan masih sebatas mengganti pesawat tempur lama. Sedangkan untuk pesawat peringatan dini dan commando atau yang lebih sering disebut dengan airborne early warning and control (AEW&C) sama sekali belum dimiliki TNI AU.
Pengadaan pesawat peringatan dini (AEW&C) kemungkinan besar akan masuk kedalam salah satu prioritas pengadaan alutsista TNI AU untuk MEF Renstra II (2015-2019) ini. Hal ini bisa dilihat dari beberapa statement petinggi militer Indonesia yang sudah menyebut akan adanya pengadaan pesawat AEW&C ini. Maka tidak ada salahnya kita berandai-andai pesawat AEW&C apa yang akan diakuisisi untuk memperkuat alutsista TNI AU nantinya.
Peran Penting Pesawat AEW&C Dalam Perang Modern di Masa Datang
Pesawat Airborne Early Warning and Control (AEW&C) sering diidentikkan dengan sitilah radar terbang yang merupakan sebuah istilah yang mengacu pada sistem pengendalian dan peringatan dini dengan flatform pesawat terbang. Sistem ini dirancang untuk mendeteksi pesawat terbang, kapal permukaan, dan kendaraan di darat dari jarak jauh serta melakukan pengendalian dan komando dalam pertempuran udara dengan mengarahkan pesawat tempur menuju sasaran.
Pesawat AEW&C yang memiliki radar yang memiliki daya endus yang mumpuni ini mampu memberikan peringatan dini kepada pesawat tempur kawan jika terdeteksi adanya kehadiran pesawat tempur musuh. Informasi peringatan dini ini bisa diberikan pesawat AEW&C kepada pesawat kawan saat musuh masih jauh diluar jangkauan radar pesawat tempur biasa. Dengan adanya informasi peringatan dini ini, pesawat tempur kawan bisa melakukan antisipasi dini sebelum berhadapan dengan pesawat tempur lawan.
Selain memberikan informasi peringatan dini, pesawat AEW&C juga mampu memberikan komando dan mengarahkan pesawat tempur kawan menuju sasaran serta mengawasi potensi bahaya disekitarnya, sehingga armada pesawat tempur indonesia tersebut memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi terhadap potensi serangan musuh. Hal ini memberikan keuntungan besar bagi angkatan udara yang memiliki pesawat AEW&C dalam inventori mereka.
Dalam pertempuran udara modern seperti sekarang ini, pesawat tempur yang dibantu pesawat AEW&C relative akan lebih berpeluang menjadi pemenang pertempuran udara melawan pesawat tempur yang tidak didukung pesawat AEW&C. Hal ini karena pesawat tempur yang tidak dibantu pesawat AEW&C praktis hanya mengandalkan radarnya sendiri dan radar darat yang jarak jangkaunya terbatas. Sedangkan pesawat tempur yang di bantu pesawat AEW&C akan sangat terbantu karena mendapat bantuan dari radar pesawat AEW&C yang memiliki daya endus yang jauh lebih jauh dari radar pesawat tempur.
Pesawat AEW&C yang sudah dimiliki tetangga Indonesia
Kehadiran pesawat AEW&C ini di Indonesia akan membuat tugas pesawat tempur TNI AU lebih mudah lagi dalam menjaga kedaulatan wilayah Indonesia. Namun sayangnya sampai dengan tulisan ini diposting, Angkatan Udara Indonesia sama sekali belum memiliki pesawat AEW&C ini. Padahal negara tetangga kita seperti Thailand, Singapura dan Australia sudah memiliki pesawat AEW&C yang akan memberikan keunggulan tersendiri bagi mereka atas angkatan udara Indonesia.
Kandidat Pesawat AEW&C TNI AU
Membicarakan kandidat untuk pesawat AEW&C untuk Angkatan Udara Indonesia memang masih terlalu dini, karena pemerintah Indonesia sendiri belum membuka pengadaan pesawat AEW&C ini secara resmi. Setau penulis, pengadaan pesawat AEW&C untuk Angkatan Udara Indonesia masih sebatas kajian-kajian. Namun demikian membicarakan pesawat apa yang akan menjadi kandidat pesawat AEW&C TNI AU tetaplah asik.
Pilihan untuk calon pesawat AEW&C TNI AU cukup banyak dimana sebagian besar pesawat jenis ini diproduksi oleh negara besar seperti Amerika dan Eropa. Beberapa pesawat AEW&C yang cukup popular adalah Boeing E3 Sentry AWACS (berbasis Boeing-707), E-7A Wedgetail (berbasis Boeing-737), Beriev A-50 dari Rusia, KJ 2000 dari China, Northrop Grumman E2 Hawkeye dari Amerika, SAAB 340 AEW&C dari Swedia, Embraer 145 AEW&C dari Brazil, dan Gulfstream G500 CAEW dari Israel.
Selain itu, masih ada pesawat AEW&C yang tampaknya cukup memiliki peluang besar masuk kedalam inventori alutsista TNI AU, yaitu C-295 AEW&C buatan Spanyol. Namun sampai saat ini, pesawat ini belum diproduksi karena masih menjalani serangkaian test. Pesawat AEW&C ini memiliki peluang relative besar karena pesawat ini pada dasarnya adalah pengembangan dari pesawat transport C-295 yang merupakan saudara dekat CN-235 yang sudah bisa diproduksi Indonesia. Selain itu, Indonesia juga sudah membeli 9 unit C-295 dan akan dilengkapi sampai 16 unit C-295 nantinya. Maka tidaklah mengherankan jika pesawat C-295 AEW&C disebut memiliki peluang untuk masuk kedalam alutsista TNI AU.
Pesawat C-295 AEW&C kandidat pesawat AEW&C TNI AU
Selain C-295 AEW&C yang berbasis pesawat propeller, SAAB 340 AEW&C tampaknya juga memiliki peluang mengingat SAAB juga menawarkan Gripen E/F sebagai pengganti F-5 TNI AU. Memang belum ada keterangan resmi dari pihak terkait apakah tawan SAAB untuk pengganti F-5 memasukkan paket SAAB 340 AEW&C kedalam tawarannya atau tidak. Namun mengingat SAAB juga sudah berhasil menjual 12 unit Gripen C/D plus 2 unit SAAB 340 AEW&C kepada angkatan Udara Thailand, maka tidak menutup kemungkinan scenario sama untuk Indonesia. Namun penulis berpendapat bahwa peluang C-295 AEW&C relative lebih besar dibandingkan dengan SAAB 340 AEW&C.
Berbeda dengan C-295 AEW&C dan SAAB 340 AEW&C yang berbasis pesawat propeller, kandidat lain yang cukup berpeluang menjadi pesawat AEW&C TNI AU adalah E-7A Wedgetail (berbasis Boeing-737) seperti yang dimiliki oleh angkatan udara Australia. Pesawat ini penulis sebut memiliki peluang bagus karena dalam beberapa statement petinggi militer Indonesia menyebutkan bahwa pihak Indonesia menginginkan pesawat AEW&C yang berbasis pesawat jet bukan berbasis pesawat propeller. Hal ini dikarenakan pertimbangan wilayah udara Indonesia yang sangat luas sehingga membutuhkan pesawat AEW&C berbasis pesawat jet yang memiliki jarak operasional yang sangat jauh.
Pesawat Boeing 737 Wedgetail AEW&C milik Angkatan Udara Korea Selatan. Source : defenseindustrydaily.com
Pertimbangan lain yang kembali memberikan point plus bagi pesawat AEW&C E-7A Wedgetail adalah karena pesawat ini memiliki basis dari pesawat sipil Boeing 737 yang populasinya cukup banyak di Indonesia. Angkatan udara Indonesia sendiri mengoperasikan beberapa pesawat transport VIP dari jenis Boeing-737 ini. Selain itu, Angkatan Udara Indonesia juga mengoperasikan 3 unit pesawat Boeing-737 Surveiler. Ini akan menjadi pertimbangan khusus yang membuat peluang pesawat AEW&C E-7A Wedgetail semakin besar untuk masuk kedalam inventori alutsista TNI AU.
Keterkaitan Erat Pengganti F-5 TNI AU dengan Pesawat AEW&C TNI AU
Beberapa kandidat pesawat AEW&C yang sudah penulis bahas diatas semuanya merupakan pesawat AEW&C yang menggunakan teknologi standard NATO. Pesawat AEW&C yang bukan standard teknologi NATO bisa disebut pilihannya sangatlah terbatas. Sebut saja pesawat AEW&C Beriev A-50 dari Rusia dan KJ 2000 dari China. Namun yang menjadi masalahnya adalah sebagian besar alutsista TNI menggunakan standard teknologi NATO, sehingga akan sedikit susah jika Indonesia harus membeli pesawat AEW&C yang bukan standard NATO. Selain itu pertimbangan masalah kemudahan logistic dan maintenance sedikit banyak akan membuat Indonesia “enggan” untuk membeli pesawat AEW&C dari China atau Rusia.
Maka bisa ditarik kesimpulan awal bahwa dalam pengadaan pesawat AEW&C ini, Indonesia tampaknya akan lebih condong untuk memilih pesawat AEW&C yang menggunakan teknologi standard NATO. Lalu apa dampak langsung kecendrungan ini terhadap proses seleksi pengganti pesawat tempur F-5 TNI AU? Menurut hemat penulis, kecendrungan Indonesia memilih pesawat AEW&C NATO sedikit banyak akan membuat Indonesia juga harus cenderung untuk memilih pesawat tempur yang miliki basis standard teknologi NATO sebagai pengganti F-5 TNI AU. Hal ini untuk menjamin bahwa antara seluruh alutsista TNI AU yang sudah ada dan pengganti F-5 TNI AU bisa terintegrasi kedalam Network Centrick Warfare System dengan pesawat AEW&C TNI AU nantinya. Ini juga merupakana jawaban bagi masalah integrasi alutsista angkatan udara Indonesia saat ini.
Dengan kata lain, tampaknya dalam memutuskan pesawat tempur pengganti F-5 TNI AU, Indonesia harus sudah memilih untuk membangun angkatan udara yang berdasarkan standar teknologi NATO atau Rusia. Maka penulis juga berpendapat bahwa pada proses pengganti F-5 TNI AU dan pengadaan pesawat AEW&C TNI AU, Indonesia harus sudah menentukan Kiblat Modernisasi Militer Indonesia 2015 – 2019 ke Rusia atau NATO. Kalau penulis sendiri berpendapat bahwa Indonesia akan lebih baik jika memutuskan untuk menggunakan teknologi standard NATO sebagai acuan modernisasi militernya.
Sekian dari penulis semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca semua dan mohon maaf atas kekurangan dan kata-kata yang kurang berkenan dalam tulisan ini. Saran, kritik dan pendapat pembaca silahkan disampaikan dalam form komentar dibawah ini. Salam dari admin AnalisisMiliter.com
Label : Pesawat Tempur |
Pesawat Tempur Indonesia |
Militer Indonesia |
Alutsista TNI |
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Upgrade 2 Su-27 SK dan 2 Su-30 MK : Sebuah Opini
2.
Opini Awam : Alternatif Lain Pengganti F-5 TNI AU
3.
Militer Indonesia Segera Miliki Rudal Canggih AIM-120C7 AMRAAM
4.
Perbandingan Thrust to Weight Pesawat Tempur Su-35S Vs Gripen E
5.
Dirgahayu Republik Indonesia ke 67 by AnalisisMiliter.com
6.
Faktor Delivery Time Pengganti Pesawat Tempur F-5 TNI AU
7.
Exclusive Foto dan Video : Yakhont Tenggelamkan Ex KRI Teluk Berau
8.
Fase EMD Project Pesawat Tempur KFX/IFX Segera Dimulai
9.
Force Down Black Flight dan Kedaulatan Udara Indonesia
10.
Benarkah Indonesia Sudah Pilih Pesawat Tempur Su-35BM dari Rusia?
Melektech |
08 Nov 2014 18:48:55
Jadi sudah sangat jelas, kalau Indonesia membeli AEW&C, pasti standar NATO, dan kemungkinan sudah pasti bahwa pengganti F-5 harus kompatibel PENUH dengan AEW&C NATO
dan beranti Su-35 akan tersingkir dari kandidat pengganti F-5
Gripen-Indonesia |
08 Nov 2014 22:21:48
@Melektech,
Benar sekali.
Kalau TNI-AU membeli Su-35 dan menjadi terlalu tergantung kepada Sukhoi Flanker sebagai pemukul utama, satu2nya pilihan untuk AEW&C adalah Beriev A-50:
http://en.wikipedia.org/wiki/Beriev_A-50
Pesawat ini akan menjadi salah satu lagi kendala "Logistical nightmare".
Satu problem lagi "menggali lubang untuk menutup lubang."
Indonesia sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam merawat tipe pesawat Il-76, apalagi radar di A-50 Beriev yang tehnologinya sama sekali asing.
Lagipula ini seperti sia2 membuang semua talenta kemampuan PT DI yang jauh lebih berpengalaman dalam mengelola tehnologi pesawat2 buatan Eropa.
Terakhir, kembali ke kendala compatibility issue dengan 3 tipe baru yang lain yang baru saja di beli; F-16 Block-52ID, T-50i, dan Super Tucano.
Super Tucano bukan hanya terbatas penggunaannya sebagai COIN. Ini adalah tipe yang sudah digunakan Brazil secara efektif untuk mengawasi area Amazon, bekerjsa sama dengan pesawat AEW&C mereka; R-99.
http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_R-99
Ini benar2 saatnya mengkaji ulang Su-35 sebagai pilihan favorit kebanyakan orang.
Orang Terkaya |
08 Nov 2014 19:21:21
Bung, mhn maaf tukang cangkul ikut nimbrung. Klo pertimbangannya integrasi kemudian hrs memilih pesawat AEW&C produk NATO, bgaimana dgn Alutsista kita produk Timur, Rusia? Bukankah selain pespur, tak sedikit pula Alutsista kita semisal heli serang/serbu, rudal anti serangan udara dll yg mrpkn produk Rusia??? Bgaimana nasibnya, kelak? Ato tidakkah jauh lbh bijak seandainya pengadaannya lbh dari 2 unit kemudian pemesanannya dari dua arah (NATO&Rusia;), misalnya?
Mhn maaf cuma pertanyaan tukang cangkul. Terima kasih pencerahannya...
Gripen-Indonesia |
08 Nov 2014 22:48:25
@Orang Terkaya
Langkah untuk membeli dua tipe; satu compatible ke NATO; satu ke Russia, itu adalah jurus bunuh diri untuk Alutsista gado2.
Biar bagaimanapun, jauh lebih murah dari segi biaya akuisisi, operasional dan maintenance untuk memilih hanya 1 tipe AEW&C saja, dan membeli lebih banyak tipe itu, misalnya 4 pesawat untuk 1 tipe; daripada membeli 2 pesawat dari 2 tipe AEW&C yang berbeda.
Hanya ada 1 negara yang sejauh ini mendapat paling banyak sukses dalam memadukan dua sistem persenjataan Barat dan Russia; India. Walaupun boleh dibilang, mereka masih belum bisa menyamai kemampuan negara2 terbesar NATO seperti Jerman, Inggris, dan Perancis.
Tetapi ada 2 perbedaan vital antara India dan Indonesia, yang menjelaskan kenapa kita tidak bisa mencontoh pelajaran dari India;
Pertama, anggaran militer India jauh lebih besar.
Kedua, India memakai pihak ketiga yang benar2 mahir untuk bisa membantu mengintegrasikan sistem Barat (terutama Perancis; Mirage-2000 dan SEPECAT Jaguar); dan persenjataan Russia mereka.
Pihak ketiga ini adalah Israel.
Lihat saja pilihan AEW&C India; Beriev A-50 yang memakai radar buatan Israel:
http://en.wikipedia.org/wiki/EL/W-2090
Karena alasan politik, dan toleransi ke negara2 Arab di Timur Tengah, jelas Indonesia tidak bisa membuka banyak kerja sama yang serupa dengan Israel, walaupun bukan tidak mungkin.
Tetapi akan jauh lebih murah untuk mencoret kemungkinan pemakaian Beriev A-50 dan memperhatikan 3 calon buatan negara2 Barat diatas seperti dituliskan @Admin.
Gripen-Indonesia |
08 Nov 2014 23:19:42
Tambahan:
Lagipula, tidak ada satu negarapun yang saat ini sudah pernah memakai sistem AEW&C buatan Russia.
Sistem AEW&C yang sudah terbukti keefektifannya hanyalah buatan Barat
Seperti ditulis di atas, India memakai A-50, tetapi radarnya buatan Israel.
Gripen-Indonesia |
08 Nov 2014 23:14:32
Sebenarnya C-295, dari segi platform, memang adalah calon terkuat untuk menjadi pesawat AEW&C bagi TNI-AU.
Seperti dituliskan diatas, C-295 adalah adik dari CN-235.
PT DI jelas akan mempunyai peranan yang sangat besar dalam pemilihan tipe ini.
Akan ada satu masalah di pilihan radar;
Prototype AEW&C berbasiskan C-295 memakai radar buatan Elta (Israel);
http://militaryaircraft-airbusds.com/InnovationAndTechnology/AEW.aspx
Geopolitik luar negeri Indonesia akan memperkecil penggunaan tipe C-295 sebagai AEW&C karena alasan pemakaian part buatan Israel ini.
Menurut saya, jalan tengahnya adalah mengintegrasikan C-295 dengan Erieye radar buatan Swedia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Erieye
Erieye radar buatan Ericsson Microwave Systems telah berhasil di-integrasikan bukan hanya di SAAB 340 dan SAAB 2000, tapi juga Embraer EJ145 (R-99A/B) yang sudah dipakai Brazil dan Yunani. Bukan tidak mungkin Erieye radar juga bisa dipasangkan diatas C-295.
## Tentu saja penggunaan C-295 dengan Erieye radar sebagai satu2nya pilihan pesawat AEW&C untuk TNI-AU adalah salah satu "kartu As" yang semakin menguatkan kemungkinan kemenangan Gripen-E sebagai pesawat tempur tipe baru pengganti F-5E!
## Bagaimana dengan sistem seperti Wedgetail?
Lagi-lagi kita kembali ke masalah eksport tehnologi sensitif dari Paman Sam. Saya rasa kemungkinannya kecil kalau US akan mengijinkan kita membeli sistem yang sebanding dengan Australia. Dan kalaupun boleh, kita pasti akan mendapat versi yang sudah di-downgrade.
Pembelian sistem AEW&C dari Russia jelas tidak mungkin. Faktor resiko juga lebih tinggi mengingat tidak ada satu negarapun yang sudah memakai Beriev A-50; sedangkan semua sistem AEW&C yang sudah sukses dan terbukti dalam pemakaiannya, memang buatan Barat.
Jadi pilihan kita hanya membeli radar AEW&C hanyalah dari Swedia, atau Israel.
istnar efendy |
10 Nov 2014 13:59:43
setiap mengingat kekuatan AEW&C rasanya dada ini jadi sesek.(maaf kalo curhat)
Indonesia sudah sekian lama tidak melakukan modernisasi dibidang AEW&C unsur pengintaian udara hanya sebatas pada platform MPA, saya mengharapkan moment pergantian pesawat F5 bisa dijadikan TNI untuk membangun kekuatan Intai kita.
pilihan platform pesawat sebenarnya sudah lama ditawarkan oleh Airbus dalam hal ini C295 dan A330 .tapi karena pertimbangan keterbatasan dana dll.pada akhirnya TNI menunda pembahasan platform pesawat AEW&C sampai tiba masa pembelian C295 versi angkut.
sampai saat ini Airbus masih terus mengembangkan C295 versi AEW
jika nantinya Indonesia membeli Gripen dengan segala TOT nya ataupun Typhoon (sebenarnya saya kurang cocok) dengan kerjasama dengan PT DI nya ( kemungkinan bisa membantu IFX dalam urusan mesin) maka pemilihan Armada AEW&C bagi TNI AU akan semakin mudah tentu saja dengan kemungkinan SU 27/30 di integrasikan dengan sistem NATO (kemungkinan lho ini)
Gripen-Indonesia |
10 Nov 2014 14:39:44
@istnar efendy,
memang semoga Indonesia memilih C-295.
Karena common technology dgn PT DI, tipe ini memang peluangnya paling besar.
Saya berharap PT DI bisa menjadi lead contractor untuk integrasi C-295 dengan Erieye radar Swedia. Ini artinya kita menguasai satu market "niche" untuk AEW&C. Swedia juga kemungkinan tidak akan keberatan dengan kerja sama yg saling menguntungkan seperti ini.
SAAB 340 dan SAAB 2000 sebenarnya sudah tidak diproduksi lagi (divisi pesawat penumpang SAAB sudah ditutup). Model 340 yang seperti dibeli Thailand, berbasiskan ex-pesawat komersial yang sudah dipensiunkan, lalu di konversi ke AEW&C. Sedangkan versi Erieye radar dengan EMB-145 mungkin akan melebihi spesifikasi banyak angkatan udara (C-295 harga dan biaya operasional cenderung lebih murah). Jadi Indonesia berpeluang turut memasuki pasar AEW&C yg cukup unik, walaupun kecil.
Contoh negara customer yang bisa membeli C-295 AEW&C berbasiskan Erieye radar (bukan Elta radar spt Airbus-spec) adalah Yordania, Malaysia, dan yg mempunyai kemungkinan lebih kecil adalah Iraq, Maroko, Libya, atau Oman.
## Untuk urusan Su-27/30 ini memang sedikit bermasalah.
Masalah utama sekarang adalah sepak terjang Russia di Ukraine. Ketegangan di Eropa Utara juga semakin meningkat akhir2 ini; dan negara2 NATO (dan Swedia yang netral) menjadi agak resah.
http://www.bbc.com/news/world-europe-29956277
Saya tidak yakin kalau saat ini ada negara / perusahaan yang mau mencoba mengerjakan networking di Su-27/30 ala sistem Link-16 (NATO) atau StriC (Swedia).
## Su-35
Tindak-tanduk Russia akhir2 ini juga adalah salah satu faktor yang semakin memperkecil kemungkinan pembelian Su-35.
Indonesia tidak akan mau diasosiasikan sebagai "teman baik" yang membantu menyumbang penjualan militer Russia; yang sekarang ini dianggap mengancam tidak hanya situasi keamanan di Ukraine, tapi juga seluruh Eropa. Hal ini juga mengingat hubungan diplomatis, dan perdagangan kita masih tetap lebih akrab ke negara2 Eropa Barat dibanding Russia.
rezz |
10 Nov 2014 16:37:12
fyi ....Indonesia telah bekerjasama dengan IAI/Elta Israel dalam pengadaan Skuadron UAV Heron Indonesia. Untuk itu, tidak ada kendala bagi Indonesia untuk mendapatkan piranti AEW&C Israel.
Gripen-Indonesia |
10 Nov 2014 21:33:40
@rezz
Benar sekali. Memang kita sudah membeli 4 IAI Heron untuk dipangkalkan di Lanud Supadio.
Kerjasama Indonesia - Israel biasanya sebenarnya sejarahnya sudah lama dan sudah sering terjadi, tapi kenyataannya ditutupi dari publik.
Contoh lain yang lebih nyata adalah A4 Skyhawk, yang sekarang sudah dipensiunkan -- sebenarnya dibeli bekas dari Israel. Kalau kita melihat foto2 Skyhawk Indonesia, perhatikan ada "punuk" dibelakang cockpit, dan tailpipe-nya lebih panjang dibanding Skyhawk Singapore. Itu adalah modifikasi yang dilakukan khusus A-4H Skyhawk Israel.
*** Kalau Indonesia mau mencoba menginterasi Sukhoi Flanker ke armada TNI-AU yang berbasis Barat, kerjasama dengan Israel harus dijajaki. Mereka sudah berpengalaman membuat paket upgrade utk MiG-21; dan memasang banyak subsistem di Su-30MKI.
Disini penggantian radar Elta (Israel) di C-295 AEW; saya lebih menunjuk sebagai kesempatan yg bisa diambil PT DI untuk menguasai sebagian kecil pasar AEW&C ringan.
ROMEO |
10 Nov 2014 14:55:46
Aneh juga sales barang2 NATO, selalu mendiskreditkan barang Rusia, padahal sudah 3X ada penyusup ke wilayah udara NKRI selalu yang disuruh nyegat oleh panglima adalah SUKHOI.
berarti radar & pespurnya on-line.
mbok ya ojo napsu :mrgreen:
Gripen-Indonesia |
10 Nov 2014 15:59:48
Masalah biaya operasional Sukhoi Flanker, sudah ada beberapa opini dari beberapa petinggi.
Dari MenHan sendiri:
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/05/078619687/Ryamizard-Kecewa-Denda-Pesawat-Asing-Sedikit
Dari KASAU:
http://www.merdeka.com/peristiwa/tni-au-mengeluh-biaya-sukhoi-rp-100-juta-denda-cuma-rp-60-juta.html
** Rp 100 juta disini sebenarnya lebih menyorot ke konsumsi BBM Sukhoi per jam dibanding biaya operasional.
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/17/078424178/Biaya-Mahal-Atraksi-Sukhoi-Cuma-Sekelebat
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia juga memberi feedback yg lebih tegas; bahwa dibutuhkan pesawat tempur yang biaya operasionalnya jauh lebih murah untuk melakukan tugas yang sama:
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/05/078619635/Usir-Pesawat-Asing-Berapa-Biaya-Operasional-Sukhoi
rezz |
10 Nov 2014 16:45:53
berita terbaru dr brasil ..mereka beli 36 gripen JAS-39E/F dengan harga SEK 39.3 billion / BRL 13.363 billion / $5.475 billion atau sekitar $150 juta per pesawat...termasuk pelatihan pilot , suku cadang awal, dan 10-tahun kontrak Industrial Co-operation untuk mentransfer teknologi untuk industri Brasil. Embraer akan memiliki peran utama sebagai mitra strategis Saab, dengan JAS-39F peran co-pengembangan dan tanggung jawab penuh untuk produksi....saya ga tau 150 juta utk gripen beserta tot dll nya itu murah atau mahal....tapi klo indonesia mau beli dr swedia bisa di kira2 kaya gini kali ya..beli 16/ 1 skuadron...biaya $ 1.6 m....buat rudal dan pesawat C-295 AEW&C kurang lebih $ 2 miliar.....bg saya lebih baik beli C-295 pake Erieye krn ga ada yg lebih "kenal" gripen selain swedia sendiri...drpd pake israel ....di tambah masalah politik dll takutnya jadi polemik tersendiri walau indonesia pernah beli dr israel (.Indonesia telah bekerjasama dengan IAI/Elta Israel dalam pengadaan Skuadron UAV Heron Indonesia)...sy sih berharap 1 skuadron gripen utk peganti f-5 dan 1 skuadron su35 atau pak fat-50 utk skuadron tempur utama ....
rezz |
10 Nov 2014 16:58:04
@gripen indonesia
saya mau tanya ..misal indonesia beli gripen , SAAB JAS 39E ....masalah tot gmn? krn disuplai mesin dari Amerika Serikat (General Elecric), sistem radar dari Inggris (Raven ES-05 active), dan penjejakan infra merah dari Italia (Skyward-G-IRST) serta sebagian struktur pesawat terbang dari Brazil ( sumber wiki) trus yg di transfer apa? mesin,radar,inframerah bisa di tot juga?
Gripen-Indonesia |
10 Nov 2014 22:17:08
@rezz
Saya sebenarnya kurang paham ToT sampai yang sedetail2nya. Sampai luasnya seberapa, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
Tetapi tawaran mereka berarti mereka tidak akan menyimpan rahasia. Apa yang Indonesia perlu / ingin pelajari ttg Gripen, SAAB akan membuka semua kartu.
Secara basic-nya saja, berarti SAAB men-transfer semua pengetahuan mereka ttg Gripen-NG -- jadi kelak kita bisa maintain Gripen sendiri tanpa perlu bantuan SAAB. Kuncinya disini adalah open source software di Gripen; yang bisa kita pelajari dan kontrol secara penuh. Ini memberikan kesempatan untuk kita untuk bisa customize atau menambah modifikasi perlengkapan, dan persenjataan tergantung kebutuhan.
Satu artikel ttg ToT SAAB yang mungkin akan diterapkan di Indonesia:
http://www.iperiscope.net/2014/09/risks-in-100-technology-transfers-in.html
Dokumen dibawah memuat lebih detail ttg ToT SAAB untuk Thailand:
http://web.archive.org/web/20131217011145/http://www.swedenabroad.com/SelectImageX/115931/071024_Gripen_Press_Hand_Out.pdf
Untuk subsystem2 yang sebenarnya diimpor langsung oleh SAAB untuk dipasangkan ke Gripen NG; seperti Selex AESA radar, IRST, dan mesin F414G; saya rasa Indonesia paling tidak akan bisa penuh me-maintain semuanya sendiri -- setaraf dengan AU Swedia.
Tentu masing2 pembuat komponen pasti masih memiliki rahasia sendiri. Istilahnya, beberapa bagian dari subsystem ini akan menjadi "black box" -- kita tidak akan tahu persis bagaimana cara mereka membuat / cara kerja sedetail2nya, tapi pengetahuan kita akan cukup untuk bisa menggunakannya semaksimal mungkin. Saya rasa dalam hal ini, TNI-AU tidak akan berbeda dengan AU Swedia.
Contoh: AU Swedia / SAAB sendiri akan tahu benar bahwa Selex AESA tidak akan membawa banyak masalah, dan mereka sudah belajar cara memperbaiki kerusakan2 kecil. Misalkan ada kecelakaan besar di lapangan udara; moncong depan Gripen tertabrak truk, dan radar rusak berat; berarti Swedia tetap harus meng-impor Selex AESA baru dari pembuat. Dan kembali lagi ke semula, kalau radar itu sudah datang, mereka akan tahu cara memasangnya balik, dan memprogram ulang radar ini.
Omega |
10 Nov 2014 23:04:27
@Gripen-Indonesia
sy agak setuju pendapat bun g @rezz kalo mengenai grippen dan ToTnya apa yg bisa diberikan kepada indonesia krn item2 penting dan inti justru dari beberapa negara dan tidak dikembangakan sendiri oleh swedia..
untuk pengganti pesawat F-5 lebih condong ke typhoon dan mengenai Su-35 sy berpikir untuk pembentukkan skuadron baru untuk menopang Kogabwilham TNI yg akan terbagi dalam 3 area atau kawasan,,
kemungkinan Sukhoi Family akan ditempatkan di kawasan timur krn dibbutuhkan untuk menjangkau wilayah Indonesia kawasan timur yg notabene banyak terdapat lautan
Melektech |
11 Nov 2014 09:40:53
Saya kira PT. DI Cukup Ahli dalam hal ini, Misal CN235 dan juga NC212 juga memakai komponen Gado-Gado, Apalagi yang Versi MPA.
Belum lagi N250 (meskipun gagal dipasarkan) yang Full Disain Indonesia juga memakai komponen Gado-Gado, Dll...............
Apabila PT. DI "menangkap" peluang ToT dari SAAB Gripen, saya kira tidak ada menemui kendala dengan negara Produsen Komponen, Karena pastinya pihak SAAB juga mempunyai perjanjian khusus dengan pihak produsen komponen dan juga membantu penuh, sehingga pihak SAAB berani menempuh jalur Full ToT.
Mengenai Su-35 /PAK-FA, lebih baik dijadikan pengganti Su-27/30 apabila memasuki masa pensiun, toh umur Su-27/30 sangat pendek hanya 20 - 25 Tahun, jadi tetap di Homebase di Makassar, hal ini mengingat Cost nya yang jauh lebih mahal dibanding Pesawat tempur lainnya
Omega |
11 Nov 2014 12:03:12
Mengenai ToT dr pihak Saab harus lebih dicermati apa yang ditawarkan kepada Indonesia,apakah mencakup radar,mesin dll yang kemungkinan kedepannya dapat ditingkatkan oleh para ahli kita dan yg terpenting bisa diterapkan dalam proyek IFX..
lalu dr pihak pengembang Typhoon jg menawarkan ToT kepada Indonesia sama dengan diatas harus dicermati apa yg menjadi isi2 perjanjian dalam ToT tersebut..
mengenai Sukhoi menggantikan Sukhoi family di makassar untuk sekarang masih terlalu dini untuk diperbicarakan dan Su-35 beserta saudaranya dibutuhkan sebagai penambah efek deteren dikawasan. bukan berarti mau ngajak perang tapi apabilah suatu negara memiliki suatu alutsista yg dianggap negara lain memiliki efek deteren yg mumpuni maka secara tidak langsung akan segan dan tdk macam2 terhadap kedaulatan negara ini.
melihat dari statment menhan yg berkata akan kenaikan anggaran petahanan apabila betul dilaksanakan bukan hal yg musahil beberapa tahun kedepannya akan ada pembentukkan skuadron baru yg menurut pandangan awam sy untuk menjaga wilayah udara di kawasan timur Indonesia..
phadyl |
11 Nov 2014 11:59:21
Menurut pandangan sy, saat ini pesawat Airborne Early Warning and Control (AEW&C ) yang cocok untuk menjadi pendamping sekaligus digunakan untuk operasi udara defensif maupun ofensif, baik untuk mengendalikan kekuatan udara maupun kekuatan laut dan darat . Sistem ini digunakan secara ofensif untuk mengendalikan pesawat tempur langsung ke lokasi target mereka, dan untuk membela diri , mengarahkan serangan balik terhadap pasukan musuh, baik lawan di darat dan udara..Sangat menguntungkan memiliki aset radar udara yang mampu melakukan komando dan kontrol dari suatu ketinggian.
Minimal jenis yg dapat mendeteksi pesawat hingga jarak 250 mil (400 km) jauh di luar jangkauan kebanyakan rudal permukaan ke udara. Sebuah pesawat AEW&C yang terbang pada ketinggian 30.000 kaki (9.100 m) dapat mencakup area seluas 120.460 mil persegi (312.000 km2). Dengan kemampuan ini maka tiga buah pesawat tersebut yang diterbangkan dalam orbit tumpang tindih dapat menutupi seluruh Eropa Tengah. Dalam pertempuran udara-ke-udara sistem AEW&C dapat berkomunikasi dengan pesawat kawan memperluas jangkauan sensor mereka dan membuat mereka lebih sulit untuk dilacak lawan, karena mereka tidak lagi perlu mengaktifkan radar mereka sendiri untuk mendeteksi ancaman.
Sy pikir pesawat berbasis B 737 Boeing 737 AEW & C produck Boeing seperti Milik AU Turki, sangat cukup layak mengingat geografis serta cover range yg sangat luas seperti wilayah Indonesia, walaupun bila nantinya Radar yg diberikan sudah di downgrade sy pikir kita bisa meng-upgrade-nya dengan product Phalcon Israel atau pun Erieye buatan Ericsson Swedia, yg cukup baik.
ryuga |
25 Nov 2014 11:24:45
@Phadyl
Kalau saya kok masih yakin dengan cn-295 ya , ya sekalian kita belajar integrasi radar ke cn-295 walau spanyol sendir jg br belajr ke israel tapi point pentingnya ini bisa jadi nilai plus bagi industri kita dan support yang ada saya rasa lebih bisa diukur karena bs dr dlam negeri sendiri harapannya.
#JanganBerhentiBerharap
Dalijo |
03 Dec 2014 05:56:22
AEW&C bisa mempertajam mata sang garuda,,,
sudah lama TNI kita tidak melakukan perbaruan di pesawat jenis ini