Gripen-Indonesia |
04 Feb 2015 08:54:20
@Admin,
Sy sudah menuliskan sebelumnya.
Dari segi delivery, SAAB justru yang paling tidak ada masalah.
SAAB akan merakit 60 - 80 Gripen-E baru untuk AU Swedia. Ini artinya lebih dari 100 Gripen-C/D yang sekarang ada di AU Swedia akan dapat disewakan.
Kalau Indonesia memilih Gripen, tentu saja kita dapat menyewa terlebih dahulu 12 Gripen-C/D untuk segera mengisi kekosongan di Skuadron-14. Kalau melihat dari jadwal Brazil, sy rasa Swedia / SAAB akan dapat memenuhi kebutuhan ini dalam kurang dari 2 tahun.
Langkah untuk training dulu di Gripen-C/D sebelum akhirnya pindah ke versi E/F di tahun 2020-an justru akan menjadi langkah penyesuaian yang bagus untuk Indonesia.
(Gripen-C/D saja akan mengungguli semua tipe lain yg skrg operasional di TNI-AU)
Sekarang permasalahannya justru, kapan pemerintah akan menandatangani kontrak resmi untuk membeli pesawat pengganti F-5E?
Prediksi sy, pemerintah baru tidak akan terburu-buru.
Keputusan akhir mungkin baru akhir tahun depan (paling cepat).
Kalau kita melihat berita politik akhir2 ini, pemerintah baru masih terus sibuk dalam tahap konsolidasi / penyesuaian. Mereka juga masih harus membangun hubungan baru dengan semua instansi, dan departemen pmrnth. Untuk negara demokrasi, ini prosedur biasa. Setiap penggantian pmrnth, proses semacam ini biasanya akan berjalan selama 1 - 2 tahun.
Kontrak pembelian pswt di seluruh dunia, mulai dari Canada, Brazil, ataupun India pasti akan tertunda (atau batal), hanya karena pergantian pemerintah.
Admin |
04 Feb 2015 09:48:23
@Melektech,
Terima kasih atas komentarnya.
Pertama sekali saya memang sama sekali tidak membahas masalah ToT 100% ke Brazil dan Indonesia, karena menurut saya itu sama sekali tidak punya dampak terhadap first delivery baik ke Brazil maupun Indonesia (jika Indonesia diberi ToT 100% dan juga masih harus dipertanyakan rupa dan bentuk ToT 100% itu).
Kenapa saya katakan tidak punya dampak pada first delivery? Sebagai informasi Brazil membeli 36 Gripen E/F, dimana 28 unit adalah Gripen E dan 8 unit Gripen F. Swedia sendiri tidak memproduksi Gripen F (karena versi F akan di konsentrasikan di Brazil). dari 36 unit Gripen E/F tersebut, hanya 21 unit Gripen E pertama akan dibangun di Swedia. Sisanya 7 unit Gripen E dan 8 Gripen F baru dibangun di Brazil.
Kontrak Brazil sudah ditanda tangani tahun ini, dan tebak kapan pengiriman pesawat pertama dari Gripen E yang dibangun di Swedia? ya Tahun 2019. Artinya 4 tahun dari kontrak ditandatangani. Itu hal yang wajar karena membuat pesawat itu butuh waktu. Lalu apa pengaruhnya 100% ToT Brazil terhadap pengiriman pertama Gripen E ke Brazil?? Tidak ada karena firs delivery adalah unit Gripen E yang di produksi di Swedia, setelah itu baru Gripen E dari Brazil.
Jadi ada atau tidak ToT 100% ke Brazil, tidak akan merubah kenyataan bahwa Gripen E pertama Brazil baru bisa di kirim ke Brazil paling cepat tahun 2019.
lalu bagaimana dengan Nasib Gripen E/F ke Indonesia? Kita harus pahami kapasitas PT DI belum sebesar Embrear Brazil. PT DI sendiri masih disbukkan membuat 2 unit CN-235 MPA untuk AL, 1 CN-235 MPA untuk AU, merakit 2 unit C-295 (batch I) serta tambahan 7 unit C-295 (Batch II). Belum lagi helikopter yang dirakit di PT DI dan juga project N-219.
So, kalau mengharapkan PT DI diberdayakan mempercepat produksi Gripen E untuk Indonesia saya rasa itu satu hal yang "mengherankan" dan malah akan memperlambat pengirimannya menjadi lebih lambat jika dibangun di Swedia sendiri. itu satu hal.
hal kedua adalah, sampai detik ini jorgan "100% ToT" untuk Indonesia itu belum ada gambaran. saya belm pernah mendengar berita bahwa "100% ToT" itu adalah dalam bentuk Produksi lokal Gripen.
Ketiga, kalaupun ada produksi lokal di PT DI, lini perakitan PT DI Mampu ga? Kalaupun PT DI mampu, tetap saja itu hanya sebatas merakit, yang artinya badan pesawat dan komponennya tetap harus di produksi di Swedia bru di rakit di Indonesia. dan memproduksi badan pesawat dan komponennya tentu butuh waktu. Kecuali Swedia dan Brazil mau mengalah untuk Indonesia, sangat sulit bagi SAAB untuk mengirim Gripen E/F ke Indonesia untuk rentang waktu 2017-2019.
just IMHO
Gripen-Indonesia |
04 Feb 2015 09:50:36
Lagipula Gripen-C/D sewaan dari AU Swedia juga tidak dapat dipandang remeh.
Gripen-C/D akan mendapat block MS 20 upgrade awal tahun ini -- termasuk integrasi ke Meteor BVRAAM (pesawat pertama yg memakai Meteor), sistem upgrade radar PS-05, dan improved connection ke Link-16.
http://www.janes.com/article/35119/saab-to-offer-gripen-c-d-upgrades-pushes-exports
Kemampuan Gripen-C/D kira-kira seimbang (atau lebih baik) dibandingkan F-16 Block-50+ yg dipakai RSAF Singapore -- atau boleh dibilang, lebih unggul drpd semua pesawat TNI-AU yg operasional skrg ini.
Seandainya Indonesia hanya dapat membeli 16 Gripen-E di tahap pertama, 12 - 14 Gripen-C/D ini dapat disewa dahulu dalam jangka waktu yg lebih lama -- sehingga Indonesia dapat memenuhi kebutuhan MEF utk menambah 1 skuadron lagi, dan sekaligus mengisi Skuadron-14 sebagai pengganti F-5E, dengan investasi yg minimal.
Tentu jangka menengah-panjang, akan jauh lebih murah untuk Indonesia melanjutkan program Gripen -- 32 pesawat berikutnya di tahap II dapat di-rakit sendiri di PT DI di Bandung, untuk menggantikan Gripen-C/D sewaan, dan tentu saja Su-27/30 di Skuadron-11.
Pada tahun 2025, pesawat buatan Russia ini sudah akan habis masa pakainya. Pesawat buatan Russia tidak dikenal sebagai pesawat yg tahan lama, dan dapat di-upgrade / di-peranjang umurnya dgn mudah. Lihat saja nasib kebanyakan MiG-29, jika dibandingkan dengan F-16.
Dari jauh2 hari, Indonesia justru harus sudah memikirkan pengganti Sukhoi, yang akan kadaluarsa lebih cepat dibandingkan Hawk-209 atau F-16 (yg baru saja selesai di-upgrade). Kedua tipe ini akan dapat terbang sampai 2030 -- Hawk lebih baru dibanding F-16 (yg buatan tahun 1980-an), tp kemungkinan akan habis masa pakainya lebih dahulu.
Gripen-Indonesia |
04 Feb 2015 09:57:39
@Admin:
"saya belm pernah mendengar berita bahwa "100% ToT" itu adalah dalam bentuk Produksi lokal Gripen. "
Bukan.
ToT artinya men-transfer semua pengetahuan ttg Gripen-NG ke Indonesia.
Indonesia akan bebas meng-upgrade, customize, dan maintain Gripen 100% sendirian tanpa perlu mengandalkan bantuan luar.
100% ToT itu biasanya menjadi menu "makanan pembuka" bagi negara yg mau merakit sendiri.
Perakitan Gripen di Indonesia, tentu harus di-negosiasikan sebagai kontrak terpisah --- kontrak jangka panjang.
Admin |
04 Feb 2015 10:07:56
@Gripen-Indonesia,
Terima kasih atas komentarnya mas.
terkait komentar mas dibawah :
=====================================
Sy sudah menuliskan sebelumnya.
Dari segi delivery, SAAB justru yang paling tidak ada masalah.
SAAB akan merakit 60 - 80 Gripen-E baru untuk AU Swedia. Ini artinya lebih dari 100 Gripen-C/D yang sekarang ada di AU Swedia akan dapat disewakan.
====================================
Benar memang Swedia akan membuat 60-70 Gripen E/F (sebagai ganti rencana awal upgrade 60 Gripen C menjadi Gripen E). Namun kalau mas teliti lagi masalah deliveri time dari 60-70 Gripen E Swedia tersebut, mas pasti melihat kenyataan bahwa Gripen E pertama untuk Swedia sendiri baru bisa selesai tahun 2018. 70 unit baru bisa selesai di tahun 2026. Silahkan baca di Report Janes yang saya sertakan linknya di artikel.
apa makna dari ini? artinya Swedia baru menerima beberapa unit Gripen E di tahun 2018. dan mungkin kalau mereka mau menyewakan Gripen C, bisa saja setelah Gripen E pertama tiba di 2018 mengingat ketegangan di kawasan mereka akibat ulah Rusia. itu satu hal.
hal selanjutnya adalah terkait komentar mas dibawah :
=======================
Kalau Indonesia memilih Gripen, tentu saja kita dapat menyewa terlebih dahulu 12 Gripen-C/D untuk segera mengisi kekosongan di Skuadron-14. Kalau melihat dari jadwal Brazil, sy rasa Swedia / SAAB akan dapat memenuhi kebutuhan ini dalam kurang dari 2 tahun.
Langkah untuk training dulu di Gripen-C/D sebelum akhirnya pindah ke versi E/F di tahun 2020-an justru akan menjadi langkah penyesuaian yang bagus untuk Indonesia.
=======================
Yup, karena SAAB akan kesulitan memproduksi Gripen E/F untuk Indonesia dalam rentang 2017-2019, maka pilihan paling logis bagi Swedia dan SAAB untuk menggoda Indonesia adalah dengan memberikan/menyewakan Gripen C/D untuk dipakai Indonesia sembari menunggu Gripen E/F tiba di Indonesia.
pertanyaannya adalah apakah Indonesia tertarik untuk menyewa Gripen C/D? Seberapa banyak lagi dana yang harus dikeluarkan untuk menyewa Gripen C/D selain pembelian Gripen E/F? Sampai saat ini tidak ada kejelasan tentang itu. koreksi jika saya salah.
terkait komentar mas di bwah :
==========================
Sekarang permasalahannya justru, kapan pemerintah akan menandatangani kontrak resmi untuk membeli pesawat pengganti F-5E?
Prediksi sy, pemerintah baru tidak akan terburu-buru.
Keputusan akhir mungkin baru akhir tahun depan (paling cepat).
==========================
menag pemerintah tidak akan buru-buru, tapi pengganti F-5 adalah salah satu prioritas modernisasi alutsista TNI AU di MEF 2 tahun 2015-2019. Sejak tahun 2011 ini sudah didengungkan dan kemungkinan besar akan diputuskan dalam waktu deakt. seperti prediksi saya pengumumannya akan dilakukan tahun 2015 ini, dan ratifikasi DPR kemungkinan paling lama 2016. tidak jauh berbeda dengan prediksi mas.
Kita andaikanlah kontraknya efektif 2016, maka kemungkinan target pengiriman adalah 2018-2019. tetap saja SAAB sulit memenuhi gripen E/F ditahun itu. maka pilihan sewa gripen C/D adalah satu-satunya tawaran yang bisa digunakan Swedia dan SAAB untuk menggoda Indonesia. kembali lagi kepertanyaan tadi diatas, apakah Indonesia tertarik dan seberapa banyak lagi dana yang harus disediakan untuk menyewa selain membeli Gripen E/F? itu harus diperjelas, dan sayangnya tidak ada sama sekali.
just IMHO
Gripen-Indonesia |
04 Feb 2015 10:18:14
@Admin, tambahan lain:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketiga, kalaupun ada produksi lokal di PT DI, lini perakitan PT DI Mampu ga? Kalaupun PT DI mampu, tetap saja itu hanya sebatas merakit, yang artinya badan pesawat dan komponennya tetap harus di produksi di Swedia bru di rakit di Indonesia. dan memproduksi badan pesawat dan komponennya tentu butuh waktu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nah, itulah.
Kalau @Admin sampai mempertanyakan kemampuan PT DI untuk Gripen, inilah sebabnya sy justru mempertanyakan keikut-sertaan Indonesia dalam proyek KF-X?
Dibandingkan proyek Gripen, yang dari faktor resiko justru jauh lebih aman, KF-X justru menjadi lompatan yg terlalu besar, ke dalam jurang yg terlalu dalam. Ingat, pesawatnya belum ada, dan kemungkinan campur tangan US dalam proyek ini terlalu besar.
Kembali ke topik:
Kalau kita melihat jadwal produksi Gripen-E di Brazil ini justru merupakan perencanaan yang sangat realistis.
21 pesawat pertama dirakit di Swedia (orang Brazil sekalian belajar), 15 pesawat berikutnya dirakit di Brazil (dalam pengawasan SAAB). Jangka panjang, tentu saja Brazil berencana untuk meng-akusisi 108 Gripen-E/F untuk menggantikan semua F-5E dan AMX-1 mereka.
http://www.janes.com/article/45878/brazil-requires-at-least-108-gripen-fighters
## Inilah justru sebabnya, kenapa Indonesia tidak akan pernah bisa berharap, dengan hanya membeli jumlah sedikit (16 pesawat), lantas dapat langsung merakit sendiri.
Harus ada komitmen dari pemerintah, dan negara untuk investasi jangka panjang dalam pesawat yang dipilih. Dan, Indonesia tentu saja lebih baik untuk mencontoh jadwal yang dipakai Brazil.
## Untuk masalah waktu,
Sy rasa kalau ada penambahan order dari Indonesia, SAAB akan dapat meningkatkan produksi Gripen untuk memenuhi order pertama dari Indonesia.
Mengingat milik Swedia pertama baru saja keluar tahun 2018, untuk Brazil baru tahun 2019, untuk Indonesia mungkin baru tahun 2020 - 2021.
## Lagipula, ada keuntungannya juga kalau Indonesia jangan langsung membeli dari Batch pertama Gripen-E, dan memilih untuk memakai Gripen C/D sewaan dulu lebih lama. Ini untuk memastikan produksi Gripen-E sudah semakin lebih efesien (harga jadi lebih murah), dan semua bugs (problem) yg menyertai semua tipe baru sudah diselesaikan terlebih dahulu.
Walaupun untuk Gripen, sy ragu kalau problem-nya akan se-abrek seperti F-35. Lagipula 90% dari Gripen-E development sudah selesai di tes di Gripen NG Demonstrator.
## Dalam membeli pesawat tempur baru, kadang mendapatkan jadwal produksi yang lebih telat justru lebih menguntungkan, walaupun menyulitkan jadwal pergantian.
Inilah sebabnya semua negara pembeli F-35 saat ini, tidak ada yg mau cepat2 ambil F-35 yg pertama. Mereka mau menunggu 5 - 10 tahun lagi, untuk memastikan kebanyakan problem di F-35 sudah dihilangkan. Walaupun dilain pihak, mereka justru harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk meng-upgrade / memperpanjang umur F-16 dan F-18 mereka.
Admin |
04 Feb 2015 10:22:57
@Gripen-Indonesia,
terkait komentar mas dibawah :
================
Lagipula Gripen-C/D sewaan dari AU Swedia juga tidak dapat dipandang remeh.
=================
saya kira kita bukan meragukan kualitas Gripen C/D. seperti yang saya tulis diartikel, membahas keunggulan pesawat tidak akan pernah ada habisnya dan jujur saya merasakan itu adalah hal yang sangat membosankan karena sudah diperdebatkan dari tahun 2010 hingga saat ini terkait pengganti F-5.
saya hanya menyoroti apakah pemerintah tertarik menyewa Gripen C/D, sembari menunggu Gripen E/F produksi? kedua seberapa banyak lagi dana yang harus dikeluarkan untuk menyewa selain membeli Gripen E/F? Jika kandidat lain bisa mengirimkan direntang waktu 2017-2019, maka cukup logis jika pemerintah melirik kandidat lain. itu satu hal..
hal kedua, menyewa Gripen C/D sembari menunggu Gripen E/F akan menambah gado-gado di angkatan udara Indonesia. bayangkan saja ada 2 jenis F-16, 4 jenis Flanker, dan akan ada 2 jenis Gripen (jika Gripen C/D tetap dipakai seperi mas bilang). memang jika Hawk dan F-16 serta Flanker akan diganti Gripen dimasa datang, akan bagus jadi tidak gado-gado lagi.
pertanyaan saya kembali, adalah apakah ada kebijakan Indonesia ingin mengganti F-16, Hawk dan Flanker dengan Gripen??? saya rasa tidak dan saya melihat itu hal yang sulit terjadi (melihat kebijakan pemerintah).
just IMHO
Admin |
04 Feb 2015 10:28:27
@Gripen-Indonesia,
terkait komentar mas dibawah :
===================
Bukan.
ToT artinya men-transfer semua pengetahuan ttg Gripen-NG ke Indonesia.
Indonesia akan bebas meng-upgrade, customize, dan maintain Gripen 100% sendirian tanpa perlu mengandalkan bantuan luar.
100% ToT itu biasanya menjadi menu "makanan pembuka" bagi negara yg mau merakit sendiri.
Perakitan Gripen di Indonesia, tentu harus di-negosiasikan sebagai kontrak terpisah --- kontrak jangka panjang.
===================
terima kasih karena sudah mengkonfirmasi, karena ini terkait komentar mas @Melektech diatas, bahwa ada atau tidaknya "ToT 100%" bagi Indonesia tidak akan berpengaruh pada first deliveri Gripen E untuk Indonesia.
just imho
Gripen-Indonesia |
04 Feb 2015 11:27:06
@Admin
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
hal kedua, menyewa Gripen C/D sembari menunggu Gripen E/F akan menambah gado-gado di angkatan udara Indonesia. bayangkan saja ada 2 jenis F-16, 4 jenis Flanker, dan akan ada 2 jenis Gripen (jika Gripen C/D tetap dipakai seperi mas bilang). memang jika Hawk dan F-16 serta Flanker akan diganti Gripen dimasa datang, akan bagus jadi tidak gado-gado lagi.
pertanyaan saya kembali, adalah apakah ada kebijakan Indonesia ingin mengganti F-16, Hawk dan Flanker dengan Gripen??? saya rasa tidak dan saya melihat itu hal yang sulit terjadi (melihat kebijakan pemerintah).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Betul.
Sebenarnya, pilihan manapun sbg pengganti F-5E, baik itu F-16, Su-35, ataupun Gripen akan menambah armada gado-gado TNI-AU dalam jangka pendek. Diatas kertas, F-16 adalah pilihan yg paling tidak gado-gado, tapi akan tetap akan disertai embel2 FMS pemerintah US.
## Masalah utama armada gado-gado yg skrg ini dengan Su-27/30, F-16, Hawk-209, dan T-50 -- spt sudah dibahas sebelumnya, mereka tidak akan bertempur dalam satu kesatuan. Tidak ada Networking. Semua tipe pespur buatan Barat, masih dapat di-Network, tapi Su-27/30 tidak mungkin. Itu juga kalau Indonesia mendapat Link-16 (!!).
Sukhoi lebih parah lagi, karena tipe ini akan berdiri sendiri, bahkan tidak compatible dengan sistem komunikasi / radar Kohudnas. Pilihan Su-35 justru akan memperunyam suasana.
Dalam keadaan sekarang, 1 atau 2 Skuadron F-16 Block-50+ RSAF mungkin sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan seluruh TNI-AU.
## Jangka panjang, sekali lagi tergantung kebijakan pemerintah, akan jauh lebih efektif untuk memilih 1 pilihan pespur utama yang coherrent, yang dapat berkerja-sama dengan baik.
Biaya operasional juga akan menjadi jauh lebih murah dibanding skrg.
Dari sudut pandang ini, armada TNI-AU yang memiliki 64 - 80 Gripen-E/F (4-5 skuadron)-- semuanya diperlengkapi TIDLS network, IRIS-T, dan Meteor (optional unmanned Gripen), dan dengan sistem network pertahanan nasional yang terpadu, akan jauh lebih unggul, bahkan dapat bersaing sama rata dengan armada F-15SG dan F-16 Block-60 upgrade RSAF, atau armada F-35 / F-18F Australia.
Tentu saja, tidak ada yg melarang kalau Indonesia mau menempuh arah gado-gado ala Malaysia; 18 Su-30MKM, 8 F-18D, 12 MiG-29N, 12 Hawk-128, dan 18 F-5E/F.
Kita hanya harus mempertanyakan, seberapa hebat armada gado-gado ini, kalau berhadapan bahkan dengan 24 F-16 Block-60 atau 24 F-18F saja??
Admin |
04 Feb 2015 21:43:47
@Gripen-Indonesia,
terkait komentar mas dibawah :
=====================
Nah, itulah.
Kalau @Admin sampai mempertanyakan kemampuan PT DI untuk Gripen, inilah sebabnya sy justru mempertanyakan keikut-sertaan Indonesia dalam proyek KF-X?
Dibandingkan proyek Gripen, yang dari faktor resiko justru jauh lebih aman, KF-X justru menjadi lompatan yg terlalu besar, ke dalam jurang yg terlalu dalam. Ingat, pesawatnya belum ada, dan kemungkinan campur tangan US dalam proyek ini terlalu besar.
=====================
agak OOT, tapi tidak apa saya komentari sedikit. Konteks pernyataan saya terkait ketidak mampuan PT DI dalam membantu produksi Gripen E/F adalah masalah delivery time tahun 2017-2019. Kondisi PT DI saat ini sangat tidak memungkinkan untuk membantu produksi Gripen di Indonesia. Kecuali kalau Gripen E direncanakan tiba di Indonesia tahun 2025 keatas, saya rasa tidak masalah, karena masih ada 10 tahun mempersiapkan semuanya.
nah disinilah letak bedanya Gripen E/F sebagai pengganti F-5 dengan time line delivery tahun 2017-2019 dengan project KFX/IFX yang target produksi adalah tahun 2025-2030. artinya produksinya (jika sukses) baru dilakukan tahun 2025-2030. artinya PT DI masih memiliki waktu sekitar 10-15 tahun lagi untuk berbenah.
membandingkan keduanya yang memiliki time line berbeda tentu kurang tepat.itu satu hal..
Hal kedua adalah konteks Gripen E di Indonesia saat ini adalah sebagai pengganti F-5 TNI AU. maka mau tidak mau timeline pengganti F-5 menjadi pedoman. Selain pengganti F-5, memang bisa saja Gripen E/F masuk ke Indonesia setelah project pengganti F-5 selesai, contohnya pesawat tempur untuk Kohanudnas yang sudah didengungkan beberapa kali.
namun jika langkah SAAB gagal menggolkan Gripen E/F di pengganti F-5, maka kemungkinan peluang Gripen ke belakang jga makin berat.
just imho
Admin |
04 Feb 2015 22:05:57
@Gripen-Indonesia,
terkait komentar mas dibawah :
=====================
## Inilah justru sebabnya, kenapa Indonesia tidak akan pernah bisa berharap, dengan hanya membeli jumlah sedikit (16 pesawat), lantas dapat langsung merakit sendiri.
Harus ada komitmen dari pemerintah, dan negara untuk investasi jangka panjang dalam pesawat yang dipilih. Dan, Indonesia tentu saja lebih baik untuk mencontoh jadwal yang dipakai Brazil.
=====================
memang kalau hanya 12-16 unit, produksi lokal itu mustahil dan kalaupun dilakukan harganya akan membengkak dari harga pembelian langsung ke Swedia. Maka supaya lebih ekonomis dan berpeluang semakin banyak ToT nya termasuk produksi lokal, maka Indonesia harus pesan banyak.
pertanyaannya apakah Indonesia tertarik membeli banyak Gripen E/F? saya sendiri tidak tau, karena yang terdengar sekarang hanya pengganti F-5 dengan total maksimal biasanya 1 skuadron 16 unit. Saya pribadi akan senang jika pemerintah Indonesia membeli dalam jumlah banyak sekaligus, entaha Gripen atau produk lain pun tidak masalah, yang penting dalam jumlah banyak. hanya saja saya pesimis hal itu terjadi di Indonesia dalam waktu dekat ini.
terkait komentar mas dibawah :
====================
## Lagipula, ada keuntungannya juga kalau Indonesia jangan langsung membeli dari Batch pertama Gripen-E, dan memilih untuk memakai Gripen C/D sewaan dulu lebih lama. Ini untuk memastikan produksi Gripen-E sudah semakin lebih efesien (harga jadi lebih murah), dan semua bugs (problem) yg menyertai semua tipe baru sudah diselesaikan terlebih dahulu.
Walaupun untuk Gripen, sy ragu kalau problem-nya akan se-abrek seperti F-35. Lagipula 90% dari Gripen-E development sudah selesai di tes di Gripen NG Demonstrator.
====================
yup ada benarnya yang mas bilang.. hanya saja proses penggantian F-5 sudah cukup mendesak mengingat F-5 hanya beberapa unit yang bisa terbang dan umurnya sudah tua dan ketinggalan zaman. susah jika terlalu lama menunggu pengganti datang.
Jika harus menyewa dulu Gripen C/D sembari menunggu Gripen E, itu bisa saja. tapi kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah Indonesia tertarik dan seberapa banyak dana yang diperlukan untuk opsi itu. itu mungkin tawaran menarik, tapi kembali lagi kepertanyaan itu.
just IMHO