Melektech |
08 Nov 2014 18:40:07
Jawabnya sama kok dengan keseharian kita.
Niat hati, saya pengen beli mobil baru seharga 100 juta an
Tapi apa cukup dengan gaji gue yang masih standar UMR Surabaya ? (Rp. 2.100.000)
Mungkin bisa beli dengan Ngutang sana-sini, misal kredit 20 tahun
Belum nanti BBM nya, belum lagi Perawatannya ke bengkel, dst............pusing deh
Lagian Gripen juga efek deterennya tinggi, dengan segudang kecanggiannya, seperti diterangkan @gripen-indonesia, bahkan mengalahkan Su-35, Su-35 hanya menang GEDE doang, namun bikin kantong Cekak / Kantong Bolong
Gripen NG : Radar AESA (Irbis Su-35 hanya tipe lama PESA), SuperCruise (Su-35 ngak bisa), Full Networking, Rudal amat mematikan BVR, Helmet mount, Full Layar LCD Touch Screen (Su-35 hanya LCD biaya), dan yang nikmat adalah DIrakit di Indonesia
SKYGUARD |
08 Nov 2014 22:01:05
mohon maaf bung wehr? mungkin saya agak sedikit berbeda dengan pendapat anda! kalau menurut saya kalau user lbh menginginkan pnghmatan dlm memilih pnggnti f5 srta adnya networking antr pespur! alngkah lbh baik memilh f16 blok 52! dsmping familiar jga mrampingkan jumlh n tipe pswt tmpr tni! sprti yg sdh dbhs admin! byngkn ingn mnghmt biaya oprsi ttpi bnyk perbdaan sucad, plathan pswat bru, simulatr, prsnjtbn, membuat biaya yg ingn dhmt mnjdi lbh bsr (logistic nightmare )! ttpi jka andai tni au memilh su 35 atau f16 ! mungkn hal itu bsa sdkt dtnggulangi! tlah lmanya tni au mngenal f16 n su 30 membuat user tdk ksulitn dlam mantnce! dan prsnjtaan f16cd trbru n su 30 dpt dpkai f16 52 n su 35! n mnurt awam sya alngkh lbh baik mrampingkan mnjd 2 plhan! ingn network dgn sesma pespur nato n rdar kohanud y f16! ingn superior n anti embel2 ham n poltk! y su35! n mslh tot atau ofset jgn hrap prdusn mbrikan tknologi snstf dgn mudh! ingt kjadian damen dgn 4 korvt sigma! tot tgl d krts! n skrng mungkn trjd dgn changbogo kta dgn dsme! mhon maaf bla ad tutur kta slh! hnya unek tkng cuci pring!
Admin |
09 Nov 2014 08:21:07
@SkyGuard,
terima kasih mas komentarnya, cukup menarik..
seperti yang sudah dijelaskan panjang lebar sebelumnya dalam artikel ini dan artikel artikel lainnya, pilihan pengganti F-5 itu harus mempertimbangkan beberapa faktor. diantaranya adalah :
1. performance (terkait erat dengan efek gentarnya),
2. faktor biaya akuisisi dan life cycle cost (terkait dengan anggaran),
3. faktor tawaran offset (terkait dengan mimpi kemandirian alutsista).
saya rasa ketiga faktor tersebut diatas adalah yang paling penting untuk dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah. tentunya faktor lain seperti politik internasional, kerjasama internasional, dan banyak faktor lainnya. tapi fokus paling penting menurut saya adalah ketiga diatas. mari kita bahas 1 per satu,
1. faktor Performance (efek gentar) :
tentu kita menginginkan fighter pengganti F5 yang mumpuni.. mengingat lawan tangguh di tetangga sudah menunggu dan lawan tersebut bukan fighter kelas sembarangan, maka Indonesia juga harus memiliki alutsista yang tidak sembarangan. artinya disini performance alutsista harus mumpuni.
namun pertanyaan saya adalah performance seperti apakah yang dibutuhkan Indonesia dalam menghadapi fighter tetangga? HARAP di ingat kembali bahwa pesawat tempur sekeren apapun tetap harus dibantu oleh sistem alutsista lain seperti pesawat AEW&C, ground radar, dan lainnya. yang artinya efek gentar satu alutsista bukan hanya dinilai dari kemampuan individu pesawat tempur tersebut, tapi harus juga di tunjang dengan kemampuannya untuk berkolabrasi dengan sistem alutsista lain untuk membangun efek gentar yang besar.
pesawat tempur yang punya performance individu bagus tetapi tidak mampu untuk berkolaborasi dengan alutsista lain seperti Ground radar, pesawat AEW&C dan lainnya, praktis hanya bisa mengandalkan kemampuan individunya. padahal lawannya di Australia dan Singapura SUDAH terintegrasi dengan sangat baik kedalam Network Centric Warfare system. artinya mereka tidak hanya mengandalkan kemampuan individu pesawat tempur mereka saja, tetapi mengandalkan kemampuan kolektif keseluruhan alutsista mereka, dimana pesawat tempur, pesawat AEW&C, ground radar, dll semuanya saling terhubung dan saling melengkapi dalam satu sistem yang utuh.
lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini Indonesia masih mengandalkan kemampuan Individual pesawat tempur, karena belum memiliki pesawat AEW&C dan tidak memiliki Network Centric Warfare. Maka kalaupun Indonesia membeli pesawat tempur yang punya performance individual yang baik, tetapi tanpa didukung komponen alutsista lainnya, maka tetap saja masih kalah sama tetangga.
Misalkan lah Indonesia membeli Su-35 BM yang punya performance individual sangat baik (saya sama sekali gak meragukan itu, bisa di cek dari artikel saya yang dulu-dulu), pertanyaan saya adalah dengan kombinasi F-16 (NATO), Su-27/30/35 (rusia), T-50i(NATO), C-235 MPA (NATO), Radar kohanudnas yang kebanyakan sistem NATO, bagaimana cara membangun Network Centric Warfare yang bisa menaungi semua sistem itu sekaligus?
pertanyaan selanjutnya pesawat AEW&C apa yang harus diakuisis agar bisa mengakomodir semua fighter Indonesia yang sistemnya saja udah gado-gado? Bisa saja sih membeli pesawat AEW&C dengan spek khusus seperti itu, hanya saja harganya pasti lebih mahal dari yang ada dipasaran dan tentunya belum teruji dengan baik..
kalau tanpa pesawat AEW&C dan Network centric Warfare, artinya Indonesia hanya mengandalkan kemapuan Individual pesawat tempur yang di beli saja... pertanyaan saya Mampukah Su-35 BM yang hanya mengandalkan kemampuan Individualnya melawan puluhan F-35 yang terintegrasi dengan Network Centric Warfare system yang baik serta didukung pesawat AEW&C yang sudah teruji sangat baik?
Saya ga mau menjawab, karena saya ga berkopeten menjawabnya. yang saya mau tekankan adalah dalam faktor performance ini, mohon perhatikan bahwa yang dibutuhkan TIDAK HANYA kemampuan performance individual pesawat pengganti F-5, tetapi kemampuan pesawat tesebut untuk berkolaborasi dengan system Network centrik kedepannya.
bersambung ya..
Admin |
09 Nov 2014 08:41:01
@SkyGuard,
terkait hal ini, mas bisa baca baca artikel lainnya seperti Masalah Integrasi Alutsista Angkatan Udara Indonesia. Ini sebenarnya kondisi yang dilematis bagi Indonesia, dimana cepat atau lambat, suka atau tidak suka, Indonesia harus memilih teknologi NATO atau Rusia.
Dengan alasan takut embargo, dan sejenisnya, memang Indonesia bisa mempertahankan status alutsista Gado-gado seperti sekarang, tetapi efek negatifnya adalah Indonesia harus mengubur mimpi memiliki Network centric Warfare. Bisa saja diakali, tetapi dengan biaya yang akan jauh lebih mahal dibanding jika sudah menentukan pake NATO atau Rusia.
sadar atau tidak sadar, proses pengganti F-5 TNI AU ini adalah momentum dimana Indonesia HARUS memilih NATO atau RUSIA atau tetap GADO-GADO seperti sekarang. mungkin kebanyakan pembaca masih melihat pengganti F-5 secara parsial dan tidak melihat gambar yang lebih besar, apa dampaknya jika Indonesia salah memilih pengganti F-5..
maka saya mengajak pembaca melihat bukan hanya parsial pada hal pengganti F-5 itu saja, tetapi dampak besarnya jika Indonesia salah memilih antara NATO atau RUSIA atau GADO-GADO yang momentumnya akan ditentukan pengganti F-5 itu.
bersambung...
Admin |
09 Nov 2014 09:03:19
@SkyGuard,
2. faktor biaya akuisisi dan life cycle cost (terkait dengan anggaran),
setelah mempertimbangkan faktor performance seperti diatas, pertimbangan lainnya yg tidak kalah penting adalah Biaya Akuisisi dan LIFE CYLCE cost... artinya berapa biaya pembelian alutsista pengganti F-5 dan berapa biaya operasionalnya selama 30 tahun kedepan (selama pesawat tempur itu operasional) akan mempengaruhi anggaran.
lalu terkait dengan point 1 diatas, pembelian pesawat pengganti F-5 akan menentukan pesawat AEW&C dan arah pembangunan Network Centric Warfare kedepannya. yang artinya jika Indonesia membeli Su-35 BM sebagai contoh, maka itu akan mempengaruhi pesawat AEW&C yang akan di beli..
pesawat AEW&C yang dibeli akan juga memiliki biaya operasional dan maintenace yang tidak sedikit, yang jika TIDAK MEMILIKI kesamaan dengan yng sama dengan yang udah ada di Indonesia akan membuat masalah LOGISTIK NIGHTMARE.. pesawat AWE&C yang "pas" untuk alutsista teknologi Rusia adalah A-50.. masalahnya jika nantinya A-50 dipilih sebagai pesawat AEW&C TNI AU, maka itu akan menambah masalah logistik yang mempengaruhi anggaran..
pertanyaannya lagi kalau A-50 sebagai pesawat AEW&C, pesawat F-16, T-50i dan lainnya mau dikemanakan? soalnya A-50 AEW&C tidak bisa mengakomodir F-16 yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia.
Pesawat AEW&C yang mungkin berpeluang dibeli Indonesia adalah C-295 AEW&C dan Boeing-737 AEW&C dan beberapa pesawat lain yang kebanyakan adalah teknologi NATO... dengan pertimbangan logistik dan biaya operasional, kemungkinan pilihan pesawat AEW&C Indonesia kedepannya tidak akan jauh dari kedua kandidat tersebut, karena Indonesia sudah punya banyak pengalaman dengan varian pesawat tersebut.
pertanyaannya kalaulah Indonesia beli Su-35 BM sebagai ganti F-5, bisa kah Su-35 BM terintegrasi dengan Pesawat AEW&C sama baiknya dengan F-16 block 60 dan Gripen E/F (yang sudah menerapkan standard NATO)? memang Su-35 BM disebut kompatible dengan standard NATO, pertanyaan saya seberapa kompatible?
pertanyaan ini penting karena pilihan pengganti F-5 kedepannya akan mempengaruhi pengadaan pesawat AEW&C yang secara keseluruhan akan mempengaruhi faktor life cycle cost alutsista Indonesia secara keseluruhan...
maka dari itu, saya mengajak kita semua untuk berpikir luas kedepan, tidak hanya berhenti pada level pengganti F-5 saja.
bersambung...
Admin |
09 Nov 2014 09:09:51
@SkyGuard,
terkait dengan pesawat AEW&C TNI AU kedepannya silahkan baca artikel saya yaitu Menanti Kedatangan Pesawat AEW&C TNI AU. Dan kebutuhan pesawat AEW&C yang mendesak ini akan sangat dipengaruhi oleh pilihan pesawat pengganti F-5 sekarang ini..
so, kembali saya mengajak, mari kita memandang modernisasi militer Indonesia secara utuh, bukan parsial hanya pada pengganti F-5 saja.
bersambung
Admin |
09 Nov 2014 09:20:12
@SkyGuard,
3. faktor tawaran offset (terkait dengan mimpi kemandirian alutsista).
faktor ketiga ini saya kira tak perlu saya bahas terlalu dalam karena saya yakin kebanyakan kita akan tau arahnya. dari beberapa kandidat pengganti F-5, kita tau siapa yang berani kasih tawaran offset besar dan siapa yang jual mahal.
masalahnya Undang-udang Indonesia sudah mewajibkan adanya klausal Offset dan ToT dalam setiap pembelian alutsista Indonesia. tujuannya adalah suatu saat Indonesia mandiri dalam hal alutsista.
dalam artikel yang dikeluarkan website Janes beberapa hari lalu, disebutkan bahwa pertimbangan pengganti F-5 adalah 30% Performance, 30% Akuisisi dan Life Cycle Cost serta 40% tawaran Offset. saya tidak tau siapa yang memberikan bocoran ini dan tidak tau apakah ini valid 100% atau tidak, tapi seandainya ini benar, menurut kita siapa yang memenuhi kriteria pengganti F-5 ini? saya ga mau menjawab karena saya merasa tidak berkompeten menjawabnya.
sekian dari saya..
cmiiw
Gripen-Indonesia |
09 Nov 2014 10:39:48
@Admin
Trmksh atas post-nya
Saya mencari link IHS Jane yang anda maksud:
http://www.janes.com/article/45468/gripen-gears-up-for-indonesia-indo14-day3
Artikel yang sangat menarik; dalam beberapa hal menuliskan seolah2 Gripen-E sudah menerobos peringkat pertama sebagai pengganti F-5E (horee!).
Memang kontrak Gripen-E seperti sudah kita diskusikan disini, akan sangat menguntungkan untuk industri pesawat terbang nasional, menitik-beratkan prospek kerja sama dengan PT DI tidak hanya dalam perakitan, tapi juga development (wow!).
Gripen-Indonesia |
09 Nov 2014 11:05:18
Artikel IHS Jane ini juga menyinggung sedikit ttg KF-X.
Terus terang, saya agak pesimis dengan proyek ini.
Masalah utama adalah partnership Lockheed Martin. Memang Lockheed adalah satu2nya pembuat pesawat stealth di dunia saat ini. Tapi partisipasi mereka dalam KF-X akan membawa embel2 secara tak langsung dari US Senate yang paranoia. Ini artinya kemungkinan besar, sekali lagi US bisa mencampuri spesifikasi IF-X yang akan kita dapat.
Menurut saya, faktor campur tangan dan mengontrol tehnologi pertahanan orang lain (dari US) adalah faktor ancaman yang jauh lebih besar (dan lebih berbahaya) dibandingkan ancaman embargo militer.
Lihat saja, sekarang Indonesia adalah salah satu negara paling demokratis di seluruh Asia-Afrika! Dan sudah tidak ada lagi hutang masa lalu berkaitan dengan masalah teritorial, tidak seperti di tahun 1990-an (Timor Timur). Jadi sebenarnya kemungkinan terjadinya lagi embargo militer seperti di masa lampau sudah sangat kecil. Lagipula US membutuhkan kerja sama Indonesia dalam turut menstabilkan keamanan dunia (saya tidak mau menulis lebih dalam dari hal ini!).
Masalah berikutnya, kerjasama dengan Lockheed berarti spesifikasi KF-X HARUS dibawah" F-35. Pertanyaannya: Di area mana spesifikasi KF-X harus ada di bawah F-35? RCS (Stealth)? Radar? Networking? Atau kemampuan kinematis? Dalam kinematis saja, F-35 sudah terkenal luar biasa jelek! Apa spesifikasi KF-X "hanya" harus dibawah F-35 dalam hal stealth, atau mencakup kemampuan kinematis dan semua hal lain di atas juga?
Ingat, Lockheed-Martin adalah pembuat F-35, dan masih berharap bisa menjual pesawat (yang sudah luar biasa jelek) ini lebih banyak lagi! Tentu saja mereka tidak akan mau kalau KF-X spesifikasi tempurnya menjadi begitu baik, hingga bisa bersaing dengan F-35 di pasar pesawat tempur internasional.
Misalkan, KF-X bisa supercruise, kecepatan maksimum Mach-2, dan menembakkan AIM-9X. Walaupun dari segi stealth jauh lebih kelihatan dibanding F-35 (anggaplah RCS-nya 10x lebih besar), KF-X dengan kemampuan semacam ini bisa merebut pasar dari F-35.
Saya rasa karena kepentingan yang bertentangan (conflict of interest), Lockheed Martin bukanlah partner yang baik untuk pembangunan KF-X. Justru salah satu "hidden agenda" mereka PASTI adalah untuk men-sabotase spesifikasi KF-X agar tidak bisa cukup bersaing dengan F-35 mereka!
Faktor terakhir masalah KF-X, adalah keuangan Korea Selatan dan anggaran pertahanannya yang jauh lebih besar. Kemungkinannya masih cukup besar untuk Korea membatalkan proyek ini dan memilih untuk membeli lebih banyak F-35 atau pesawat tempur lain (yang harganya jauh di atas kemampuan Indonesia).
Inilah kenapa, proyek KF-X ini adalah proyek yang kurang menguntungkan untuk Indonesia!
Secara pribadi, saya lebih mendukung PT DI lebih menyokong kerja sama dengan industri pesawat terbang Eropa dibanding Korea Selatan. Dalam hal ini, PT DI turut mengambil andil dalam development Gripen-E/F justru memberikan leverage yang bagus terhadap kemungkinan *rusaknya* proyek KF-X / IF-X.
Gripen-Indonesia |
09 Nov 2014 11:14:00
Satu lagi kenapa pembelian Gripen-E - SEKARANG - adalah hal yang penting bagi masa depan industri pesawat terbang nasional.
Di tahun lalu, SAAB meneken kontrak kerjasama dengan Boeing untuk proyek pesawat trainer T-X di US.
http://www.defensenews.com/article/20131206/DEFREG02/312060011/Boeing-Saab-Team-Up-USAF-Trainer-Bid
Beberapa rumor bahkan menuliskan bahwa Trainer baru sebagai penganti T-38 US (ini adalah derivatif dari F-5 Tiger); kabarnya akan menjadi versi downgrade dari SAAB Gripen. Kedua pihak tentu menolaknya, dan menekankan bahwa T-X akan diwakili desain baru yang dibuat bersama.
Kenapa kerja sama Boeing-SAAB tidak menakutkan dibanding Lockheed-Martin dan Korean Aerospace?
Boeing sedang dalam proses kehabisan order kalau produksi Super Hornet berakhir, sedangkan F-15SE mereka juga belum mendapat satupun order -- sedangkan Lockheed-Martin masa depannya terjamin karena mereka akan menjual ribuan F-35 (yang jelek!). Jadi sayap industri militer Boeing terancam tutup tanpa bisa membuat pesawat tempur baru dan menjualnya.
Boeing, melalui kerjasama dengan SAAB, (dengan reputasi untuk membuat pesawat tempur sekelas Gripen, yang memiliki kemampuan tinggi dan biaya operasional yang murah); kemungkinan besar akan berusaha mencoba membuat tipe pesawat tempur alternatif berbasiskan proyek T-X di atas. Melalui kekuatan lobby Boeing, pilihan ini akan menjadi saingan di masa depan untuk F-35; yang bisa dijual kembali ke pemerintah US, dan negara2 pembeli F-35 saat ini.
Hal ini bukan tidak mungkin mengingat proyek F-35 relatif sudah diunjung tanduk dalam hal menghabiskan uang.
Tentu saja kerjasama Boeing-SAAB detailnya banyak disembunyikan dibelakang layar. Tetapi kerjasama ini tentu lebih menjamin masa depan proyek Gripen-NG.
Bukan tidak mungkin Boeing bisa menjual Gripen II di tahun 2025 sebagai alternatif untuk F-35. Kemungkinan akan ada 2 versi yang tidak saling bersaing untuk dijual ke dua segmen market yang berbeda; versi Boeing - Gripen II dijual ke US dan sekutunya (dengan sistem persenjataan dan radar buatan US); dan versi SAAB yang akan memakai persenjataan dan sistem2 buatan Eropa.
Ini bukanlah teori saya. Saya membaca beberapa orang sudah menuliskan yang serupa di Internet (referensi nanti!).
Menurut saya, adalah pilihan yang jauh lebih baik untuk Indonesia (dan PT DI) menaruh uang di proyek Gripen-NG -- SEKARANG juga, dibandingkan mengadu nasib di proyek KF-X yang sudah dicampuri Lockheed Martin.
Siapa tahu kelak buah bangsa dalam development Gripen-NG melahirkan kemampuan industrial dan tehnologi yang setaraf dengan standar internasional, dan akan dicari negara lain?
Melektech |
09 Nov 2014 11:24:22
@Gripen-Indonesia
Kemungkinan memang Gripen NG akan menang mutlak kalau syarat IHS Jane itu diterapkan.
Bahkan kemunginannya EuroTyphoon pun harus mundur
Mengenai proyek IFX, memang dengan sumbangan HANYA 20% kita dapat apa ? apalagi ada kemungkinan besar "jeroan" dari KFX dan IFX berbeda.
Hal itu salah satunya karena ada negosiasi ulang antara negara Produsen Komponen yang sensitif dengan Indonesia, dan belum adanya kepastian masalah pembagian hak cipta.
Saya sangat setuju apabila Perakitan pengganti F-5 dilakukan di PT.DI, dengan begitu PT.DI akan sangat siap Line Produksinya apabila IFX jadi diproduksi. tidak lagi dari nol
Admin |
09 Nov 2014 21:46:54
@Gripen Indonesia,
terkait KFX/IFX, justru saya sedari awal cukup melihat banyak sisi positif ikutnya Indonesia dalam project KFX/IFX ini. saya merasa ini adalah langkah yang sangat brilian dari Indonesia meski memiliki banyak kekurangan juga.
Terkait komentar mas bahwa KFX/IFX harus lebih inferior dari F-35, ya itu bukan hal yang aneh dan tidak perlu dipermasalahkan. karena memang sejak awal requeriementnya sudah jelas. Target yang ingin di capai dari project KFX/IFX adalah pesawat tempur generasi 4.5 yang lebih baik dari F-16 Block 52 Korsel dan dibawah F-35. hal paling memungkinkan lebih rendah dari F-35 adalah masalah RCS, dimana target awal KFX/IFX adalah setara F/A-18 Super Hornet dengan level RCS sekitar 0.3-0.1 m2. itu adalah untuk KFX/IFX block I
tapi harap dipahami kembali bahwa konsep pengembangan KFX/IFX ini mirip dengan konsep pengembangan Typhoon dimana akan ada update berikutnya. Setelah selesai block I, akan dikembangkan KFX/IFX block 2 yang level RCS nya yang lebih kecil lagi (VLO). selanjutnya akan masuk ke pengembangan KFX/IFX block III yang RCS nya akan sama dengan F-35 alias Steallt.. walaupun itu masih sebatas konsep.
terkait dugaan mas kalau Lockheed Martin akan "takut KFX/IFX akan mencuri pasar F-35", maka saya malah memandang hal sebaliknya. Harap dipahami kembali bahwa F-35 itu kemungkinan besar 10-20 tahun kedepan tidak akan dilepas ke negara yang bukan sekutu dekat Amerika. Dan satu lagi yang harus dipahami adalah TIDAK SEMUA negara yang membutuhkan fighter baru memiliki kemampuan finansial mengoperasikan F-35 yang mahal.
dalam beberapa artikel yang pernah saya baca, justru Lockheed Martin ingin juga menjual KFX/IFX untuk pasar negara negara yang tidak mampu membeli dan mengoperasikan F-35. artinya LM ingin menambah segment pasar mereka. Hal ini mirip dengan T-50 yang juga merupakan produk kerjasama LM dengan KAI Korsel untuk segment pasar pesawat latih.
terkait komentar mas berikut :
"Justru salah satu "hidden agenda" mereka PASTI adalah untuk men-sabotase spesifikasi KF-X agar tidak bisa cukup bersaing dengan F-35 mereka!"
saya merasa malah itu adalah tuduhan yang terlalu mengada-ada dan terlalu paranoid terhadap LM dan Amerika seca umumnya.
terkait komentar mas :
"Faktor terakhir masalah KF-X, adalah keuangan Korea Selatan dan anggaran pertahanannya yang jauh lebih besar. Kemungkinannya masih cukup besar untuk Korea membatalkan proyek ini dan memilih untuk membeli lebih banyak F-35 atau pesawat tempur lain (yang harganya jauh di atas kemampuan Indonesia). "
saya menyoroti komentar mas yang saya bold, saya malah melihat bahwa mas belum terlalu paham seperti apa sebenarnya project KFX/IFX bagi Korea Selatan. harap dipahami bahwa F-35 dan KFX/IFX itu adalah project yang sangat berbeda namun saling melengkapi. F-35 adalah hasil project FX-3 dimana pemenangnya HARUS membantu KFX/IFX. dan harap dipahami project KFX/IFX tidak hanya sekedar membuat pesawat bagi Korea Selatan, tetapi KFX/IFX itu seperti NATONAL PRIDE yang sangat penting sekali artinya bagi Korea Selatan.
Kenapa saya membicarakan masalah NATONAL PRIDE dalam case KFX bagi Korea Selatan?? Harap di ingat bahwa Korea Selatan punya ambisi besar untuk bersaing dengan China dan Jepang di kawasannya. China sudah mengambangkan J-XX dan Jepang dengan Shinsin nya.. harap dipahami bahwa Korea Selatan tidak akan mau kalah bersaing dari Jepang dan China dalam membangun pesawat tempur terbaru. dan itu ada dalam wujud KFX/IFX.
Kalau mas mengatakan Korea bisa saja membatalkan KFX/IFX dan beralih ke F-35, harap dipahami kembali bahwa KFX/IFX itu diproyeksikan menggantikan F-5 dan F-4 yang jumlahnya banyak, dan akan menjadi pendamping F-35 di masa datang. Jadi KFX/IFX dan F-35 itu bukan saling menggantikan tetapi saling melengkapi.
bersambung...
Admin |
09 Nov 2014 22:03:00
@Gripen Indonesia,
terkait komentar mas berikut :
"Secara pribadi, saya lebih mendukung PT DI lebih menyokong kerja sama dengan industri pesawat terbang Eropa dibanding Korea Selatan. Dalam hal ini, PT DI turut mengambil andil dalam development Gripen-E/F justru memberikan leverage yang bagus terhadap kemungkinan *rusaknya* proyek KF-X / IF-X."
saya cuma mau bilang, harap dipahami kembali apa sebenarnya tujuan awal Indonesia ikut project KFX/IFX. Tujuan Indonesia ikut project ini BUKAN HANYA sekedar mendapatkan pesawat. Tujuan utamanya adalah BELAJAR membuat pesawat dari NOL yang artinya terlibat dari proses mendesign, development, pembuatan prototipe, testing sampai produksi massalnya. ilmu itu yang sebenarnya dikejar oleh Indonesia bukan hanya sekedar membeli pesawat dan hanya sekedar "menjahit" pesawat.
maka kalau mas menyebutkan bahwa "menjahit" Gripen E/F lebih baik dari pada project KFX/IFX, ya sah sah saja, tergantung pandangan masing-masing. tapi menurut saya project KFX/IFX lebih baik dibandingkan dengan "menjahit" Gripen E/F atau pesawat lain. meskipun saya harus akui bahwa resiko gagal project KFX/IFX pasti lebih besar dari sekedar menjahit. yang namanya belajar ya pasti ada resiko nya..
just IMHO
Admin |
09 Nov 2014 22:20:41
@Gripen Indonesia,
tambahan dari saya, keterlibatan Lockheed Martin dalam project KFX/IFX itu, bukan berarti LM yang mengendalikan Korea dan Indonesia dalam project KFX/IFX. Yang ada justru adalah Korea Selatan lah yang mengendalikan LM bukan sebaliknya. Kenapa saya menyebutkan Korea mengendalikan LM, tak lain karena LM punya KEWAJIBAN membantu KFX/IFX dan Korea Selatan punya HAK untuk memaksa LM membantu KFX/IFX. ini adalah hasil dari Project FX-3 Korea Selatan dimana Korea Selatan telah memilih F-35A sebagai pemenangnya.
dalam klausal FX-3 Korea, siapapun pemenangnya DIWAJIBKAN untuk membantu project FX-3. dan kalau tidak bersedia, maka kemenangan dalam tender FX-3 bisa dibatalkan, yang berarti kerugian besar bagi LM.
just IMHO
Admin |
09 Nov 2014 22:31:56
@Gripen Indonesia,
tambahan lagi, terkait KFX/IFX, saya melihat seolah mas mencurigai bahwa Korea Selatan bisa saja mendepak Indonesia dari project ini. Menurut saya, ya peluang itu bisa saja sih. tapi pertanyaan saya, berani gak Korea Selatan melakukan itu?
kalau menurut saya, Korea Selatan akan mengalami kerugian besar kalau berani mendepak Indonesia dari project KFX/IFX ini. kenapa saya katakan demikian? tak lain karena Indonesia juga ikut memberikan dana development sebesar 20% dari total nilai project. diperkirakan nilai yang ditanggung Indonesia mencapai 2 Miliar Dolar, sebuah nilai yang sangat besar yang akan membuat Korea Selatan berhitung ulang, jika harus kehilangan dana sebesar itu.
Kita tau sendiri publik korea selatan sendiri sudah menyoroti besarnya biaya yang harus dikeluarkan Korea dalam project ini. Jika dana talangan 20% dari Indonesia batal, maka Korea selatan akan mengadapai masalah yang lebih pelik lagi. itu satu hal
hal lain yang akan membuat rugi Korea Selatan jika mendepak Indonesia adalah kehilangan pasar minimal 50 pesawat KFX/IFX yang sudah di komitmenkan Indonesia. sebagai informasi, target awal BEP KFX/IFX adalah sekitar 200-250 pesawat. Jika Indonesia di depak, maka Korea Selatan akan kehilangan minimal 50 pesanan KFX/IFX. Padahal itu masih pesanan awal, dimana dibeberapa sumber menyebut Indonesia berpeluang sampai pesan 80 KFX/IFX kedepannya. saya yakin mas mengerti betapa besarnya nilai dari kehilangan pasar 50-80 pesawat tempur.
oleh sebab itu, meski Indonesia hanya memiliki share 20%, posisi tawar Indonesia cukup besar dalam project ini.
just IMHO
salam
Gripen-Indonesia |
09 Nov 2014 23:53:09
@Admin
Maaf, mungkin tulisan saya terlalu berat konotasi negatifnya.
Saya menulis lebih menitik-beratkan "industry politics" yang kerap memanfaatkan semangat nasionalisme negara lain.
Dan dalam hal ini, Lockheed-Martin adalah pemain berlatar belakang industri militer terbesar di dunia, yang memiliki expertise dan kemampuan industri terbesar. Sangat berbahaya jika kita bermain api dengan pihak yang memiliki tungku api terbesar di dunia. Dan reputasi mereka tidaklah terlalu baik.
Biar bagaimana karena Indonesia sudah teken kontrak, harus tetap terlibat dalam proyek ini. Kita lihat saja berapa besar proyek ini bisa meningkatkan kemampuan industri pesawat terbang nasional.
Tetapi saya meragukan kalau anda menyatakan "... share 20%, posisi tawar Indonesia cukup besar...".
Masalah utamanya, Indonesia saat ini sama sekali tidak memiliki expertise dalam tehnologi pesawat tempur G4++ . Bahkan, relatif sudah tertinggal jauh dibanding standar internasional. PT DI (atau nama lamanya IPTN) bahkan sama sekali tidak pernah punya pengalaman merakit pesawat tempur sendiri, berbeda dengan Turkish Aerospace Industries, dan Korean Aerospace yang paling tidak sudah belajar dari merakit F-16.
Proyek semacam ini berbeda jauh dengan proyek terbaru PT DI; N219. Kalau kita lihat di akhir tahun 1990-an, sejarah IPTN / IAe (Indonesian Aerospace) lebih terarah untuk membangun pesawat seperti N-250 dan N-2130:
http://en.wikipedia.org/wiki/IPTN_N-250
http://en.wikipedia.org/wiki/IPTN_N-2130
Mungkin pada tahun 2000-an, IPTN akan mulai diarahkan untuk melayani kebutuhan TNI-AU. Sayang, krisis Ekonomi Asia 1998 ini sebetulnya nyaris membuat bangkrut IPTN:
http://www.nytimes.com/2014/02/14/business/international/indonesian-arms-industry-seeks-to-drum-up-business.html?_r=0
http://www.flightglobal.com/news/articles/iptn-cuts-workforce-as-programmes-near-collapse-236186/
http://www.merdeka.com/uang/pemerintah-dukung-pt-di-kembangkan-pesawat-n-219.html
Saya rasa tujuan utama keterlibatan ahli2 pesawat terbang Indonesia di proyek KF-X adalah lebih untuk memasuki proses "belajar" daripada "kontribusi tehnologi". Kontribusi Indonesia, biar bagaimana lebih menekankan ke turut "mengambil resiko untuk 20% proyek KF-X".
Dengan kata lain, kalau Indonesia mundur dari proyek KF-X, Korea Selatan akan lebih pusing soal finansial dibanding kontribusi tehnologi Indonesia. Untuk bisa merealisasi KF-X, Korea Selatan memerlukan expertise perusahaan (atau negara) yang sudah berpengalaman.
http://www.militaryfactory.com/aircraft/detail.asp?aircraft_id=1035
http://www.defenseindustrydaily.com/kf-x-paper-pushing-or-peer-fighter-program-010647/
Sebenarnya mereka sudah mengundang Turki untuk ikut serta, dan memang kelihatannya keduanya boleh dibilang start dari latar belakang yang sama; license production F-16; dan mencari requirement yang sama untuk pesawat stealth alternatif dari F-35. Tetapi Turki sudah menolak -- karena urusan proporsi kerja sama. Turki ingin proporsi kerja sama yang proporsional dengan Korea Selatan -- mereka menolak.
Dan dalam hal ini, industri pesawat / negara yang memiliki leverage paling besar, adalah yang mempunyai paling banyak pengalaman dan kemampuan. Semakin sedikit kemampuan dan pengalaman kita, semakin rendah kemampuan menawar kita.
Apa yang diinginkan Korea Selatan sendiri biar bagaimanapun cukup ambisius. Pengalaman konstruksi F-16, dan membangun T-50 belum cukup untuk memberikan latar belakang yang kuat untuk Korea Selatan mengejar ambisi ini.
Mari kita melihat proyek T-50 dari sudut pandang industrial Politik ini.
Proyek T-50 sebenarnya lebih dipimpin oleh Lockheed-Martin dibanding Korea Selatan. Lockheed boleh dibilang berhasil memanfaatkan ambisi Korea Selatan untuk membangun pesawat sendiri untuk memproduksi calon kuat untuk proyek T-X. Dengan demikian, mereka tetap bisa pegang kontrol di desain dan spesifikasinya, tapi tidak perlu keluar uang untuk menempuh biaya development pesawat baru yang mahal. LM hanya perlu berkontribusi 13%, KAe mengambil 17%, sedangkan 70% sisanya ditanggung pemerintah S. Korea.
Untuk bersaing di proyek T-X nantinya, tentu saja semua produksi harus dialihkan kembali ke US. Pemerintah US nanti akan membayar biaya royalti balik ke Korea Selatan, tapi tetap saja, LM yang akan lebih mengeruk lebih banyak untung dari produksi T-50 di mainland USA.
http://www.airforce-technology.com/projects/t-50/
Jadi LM sebenarnya bisa menarik untung dobel dari partnership dengan Korea Selatan.
Apakah tindakan semacam ini boleh dibilang licik?
Tidak juga. Bukankah Korea juga mendapat keuntungan dari proyek T-50?
Hanya saja, keuntungan LM akan tetap jauh lebih besar di masa depan.
T-50 saat ini berpeluang besar untuk memenangkan proyek T-X nanti (jumlahnya bisa sampai 1000 unit). Kenapa tidak? T-50 adalah tipe yang lebih baru dibanding BAe Hawk yang sudah berumur 40 tahun, dan memiliki performa lebih baik dibanding M-346 yang subsonic, dan berbasiskan Yak-130.
Saya rasa proyek KF-X tidak akan berbeda jauh. Terlepas dari rhetoric nasionalisme, LM adalah perusahaan yang cari untung. Sekali lagi, Korea Selatan akan menyerahkan kursi pimpinan desain ke LM dengan sudah menandatangi syarat kalau "KF-X tidak boleh melebihi kemampuan F-35". Ingat, kita sama sekali tidak tahu batasan2 dari syarat itu. Dan LM tidak akan pernah menandatangi kontrak yang tidak menguntungkan buatnya sendiri.
Gripen-Indonesia |
10 Nov 2014 00:16:26
Saya berpendapat bermain dengan orang2 Eropa, terutama SAAB Swedia, menjadi pilihan yang lebih aman untuk Indonesia.
Bukan berarti juga orang Eropa lebih suci. Setiap perusahaan di atas juga sudah terkena beberapa skandal sogok-menyogok agar satu negara membeli tipe tertentu. Lockheed juga terkenal menyogok banyak pejabat negara di tahun 1960-an agar F-104 mereka menjadi pesawat terlaris di dunia saat itu.
SAAB,tidak memiliki reputasi yang sama dengan kebanyakan perusahaan tradisional lainnya. Mereka sejauh ini sebaliknya memiliki reputasi bermain fair dengan negara2 lain; Thailand, Hungaria, dan Czezh.
Satu2nya skandal melibatkan pembelian Gripen, adalah kasus Afrika Selatan. BAe (British Aerospace) agen untuk SAAB internasional waktu itu, kabarnya menyogok beberapa pejabat di Afrika Selatan. Tentu saja, SAAB internasional partnership antara BAe dan SAAB pecah tak berapa lama setelah skandal itu diungkapkan.
Ini artinya, kalau Indonesia mau belajar tehnologi pesawat tempur, SAAB akan menjadi tempat belajar yang lebih baik. Lagipula Gripen-NG adalah pesawat yang sudah lebih proven-concept. PT DI bisa secara bertahap langsung diarahkan untuk bisa merakit Gripen, hal yang saya rasa mungkin tidak bisa terjadi di KF-X.
S. Korea biar bagaimana masih belum memiliki cukup expertise untuk membangun KF-X sendiri, ini artinya mereka harus mengandalkan LM yang adalah pemain yang jauh lebih berbahaya. Proyek membangun pesawat tempur baru juga penuh resiko; Indonesia malah bisa ketiban membayar kontribusi finansial yang lebih besar kalau proyek ini molor; atau tidak mendapat apa2 kalau proyek ini gagal. Hasil proyek ini belum tentu mencapai target yang diidamkan. Lihat saja, semua requirement KF-X sudah didikte S. Korea; dan ini sudah berubah2 banyak dalam beberapa tahun terakhir.
http://www.globalsecurity.org/military/world/rok/fx-2.htm
Biar bagaimana kita tidak boleh menaruh semua telur dalam satu keranjang. Keranjang jatuh, semua telur pecah.
Indonesia bukanlah pemain besar, tapi masih baru belajar. Semua penjual pesawat tidak peduli kemampuan finansial Indonesia yang masih terbatas; mereka hanya mau menjual pesawat mereka dan ambil untung.
Itulah kenapa kita harus bermain lebih pintar dari negara2 lain.
Kembali ke subyek utama, itulah kenapa akan sangat penting bagi masa depan bangsa, dan bagi industri pesawat terbang nasional, kalau Indonesia memilih Gripen-E sebagai pilihan pengganti F-5E.
Gripen-Indonesia |
10 Nov 2014 00:57:08
Referensi tambahan ttg Lockheed-Martin dan Proyek KF-X;
Dari Wikipedia:
http://en.wikipedia.org/wiki/KAI_KF-X
"Lockheed has had successful joint aircraft development with South Korea in the past; during T-50 jet trainer development, Lockheed covered 13 percent of costs, with KAI covering 17 percent, and the government taking the remaining 70 percent. However, the company is apprehensive about supporting the KF-X program as it may create a medium fighter that can be a competitor in the export marker against their own fighters"
Seperti saya sudah tulis sebelumnya.
KF-X akan bisa menjadi pesawat tempur kelas menengah yang bisa menjadi saingan untuk F-35 di masa depan.
Dan karena S. Korea belum cukup mempunyai kemampuan untuk benar2 bisa membuat pesawat dalam skala KF-X yang cukup ambisius, mereka malah mengundang pembuat pesawat yang bisa menjadi kompetitor utama untuk bisa membuat KF-X (!).
Melompat masuk mulut harimau?
Ini adalah faktor yang paling mengkhawatirkan dari Proyek KF-X.