Gripen-Indonesia |
03 Nov 2014 14:53:40
Hal yang kedua yang perlu dipertimbangkan,
Russia bukanlah mentor yang baik seperti di tahun 1950-an sampai 1970-an.
## Kelemahan utama: Russia TERLALU mengandalkan sistem mass production (artinya jumlah pesawat yg banyak), yang boleh dibilang sekarang sudah tidak relevan lagi sejak kemunculan pesawat tempur Generasi ke-4. Russia sendiri malah dalam proses peralihan ke sistem network-centric mulai di tahun 1990-an.
Hal ini saja sudah kurang sesuai dengan anggaran militer Indonesia yang terhitung salah satu yang paling rendah di dunia saat ini.
Patut diingat, sistem pertahanan Russia skrg masih didasari pengalaman2 mereka yang buruk sampai dengan Perang Dunia II. Boleh dibilang Russia adalah pemeran utama dalam mengalahkan Nazi Jerman di tahun 1945.
Cara mereka mengalahkan Jerman; jumlah, jumlah, jumlah....
Jerman boleh dibilang adalah negara yang paling unggul secara tehnologi di tahun 1940-an. Tehnologi U-boat mereka jauh lebih unggul drpd Sekutu. Jerman juga memperkenalkan Me-262, pesawat tempur jet yang operasional pertama di dunia. Panther tank juga adalah tipe tank yg paling modern saat itu. Dalam soal strategi, dan kepemimpinan militer, Jerman juga memiliki keunggulan dibanding Sekutu, dengan jendral2 seperti Erich Von Manstein, Erwin Rommel, dan Hanz Guderian. Sepak terjang mereka boleh dibilang masih menjadi basis pelajaran strategi militer dewasa ini.
Dalam segala hal, Russia tidak bisa bersaing dengan Jerman di saat itu, akan tetapi mereka memiliki keunggulan untuk produksi massal untuk mengalahkan negara yang lebih modern. Tank T-34 dapat diproduksi dalam jumlah ribuan -- keunggulan Panther tidak berarti kalau ada 10 T-34 untuk menghadapi 1 Panther. Inilah kunci kemenangan mereka di Eropa. Russia mengakhiri PD II dengan memiliki Angkatan Darat terbesar dan terkuat di dunia. Mereka memiliki kemampuan bahkan, untuk menghancurkan pasukan Amerika dan Inggris di Eropa Barat waktu itu.
Pada masa perang dingin, Russia melanjutkan sistem produksi masal ini, dan membangun reputasi mereka berbasis kemenangan atas Jerman yang lebih unggul secara tehnologi. China, menjadi salah satu pengikut sistem Russia (walaupun mereka kemudian bermusuhan sejak tahun 1960-an). Salah satu produksi dirgantara Russia yg paling termasyur selama perang dingin; MiG-15 dan MiG-21 -- diproduksi dalam jumlah lebih dari 10 ribu unit adalah pesawat tempur jet yang pernah diproduksi terbanyak di dunia.
Setelah tahun 1970-an, dengan diperkenalkannya pesawat tempur Generasi ke-4 (F-14 dan F-15 oleh US, diikuti F-16 dan F-18); semua filosofi produksi massal yang dianut Russia / China boleh dibilang sudah berakhir. Pesawat tempur G4 mencapai titik puncak kematangan dari segi aerodinamis, kinematis, dan kemampuan mesin (afterburning turbofan).
Dari segi ongkos produksi, G4 fighters menjadi pesawat tempur yang jauh lebih mahal dibanding semua generasi sebelumnya. Di USAF sendiri, angkatan udara dengan budget terbesar, the "mafia fighters", mendorong agar US tidak terlalu mengandalkan F-15 yang luar biasa mahal ongkos produksi, dan biaya operasionalnya. Buah hasil mafia fighters adalah F-16 -- tipe yang dibeli US dan kebanyakan negara NATO, karena mereka tidak punya cukup uang untuk membeli dan mengoperasikan cukup jumlah F-15 yang mereka inginkan.
Perkembangan lain di Barat -- karena ongkos produksi yang mahal, mereka mulai melihat untuk mengoperasikan pesawat tempur sampai puluhan tahun. Mereka mulai menghitung kalau pesawat mereka harus bisa dipakai sampai ribuan jam terbang. Sebenarnya pergeseran ini sudah dimulai sejak tahun 1960-an. F-4 Phantom II, produk G3 Barat paling berhasil, sudah terkenal cukup tahan banting dan tahan lama; dan secara airframe masih bisa operasional sampai sekarang.
Perkembangan lain, adalah semakin majunya sistem network-centric di Barat sejak tahun 1960-an. Keunggulan sistem network-centric Barat atas sistem GCI (Ground-Control Intercept) versi Russia yang mengandalkan jumlah, bisa dilihat di satu pertempuran di tahun 1982; Beqaa Valley.
http://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Mole_Cricket_19
Di Beqaa Valley, Israel memanfaatkan sistem network-centric versi awal, mengkombinasikan jammer, E2 Hawkeye AEW&C, dengan kemampuan tempur pesawat G4 terbaru mereka; F-15 dan F-16. Antara 82 - 86 pesawat MiG-21 dan MiG-23 Syria di tembak jatuh, disertai dengan kehancuran 17 dari 19 SAM system mereka, tanpa kerusakan yang berarti di pihak Israel. Pertempuran inilah yang menentukan berakhirnya jaman Russia untuk bisa menjadi mentor yang baik bagi negara lain.
Walaupun mereka kemudian memperkenalkan MiG-29 dan Su-27 untuk bisa menandingi "the teen fighters", Russia (Soviet) masih belum bisa benar2 mundur dari filosofi produksi massal. Walaupun keduanya sama2 tipe yang semakin mahal, MiG-29 (lihat contoh Malaysia) pada awalnya juga tidak dibuat untuk menjadi pesawat tempur yang tahan lama seperti F-16, tetapi sebagai pesawat tempur garis depan yang juga bisa diproduksi dalam jumlah besar. Su-27
Kejatuhan komunisme di akhir tahun 1980-an, memperkeruh sistem pertahanan Russia. Anggaran militer dipangkas habis, dan Russia belum sempat melanjutkan proses adaptasi dari pelajaran pertempuran di Beqaa Valley. Secara praktis, dengan kejatuhan komunisme, Russia benar2 sudah kehilangan pamor dan reputasi menjadi mentor yang baik bagi negara pembeli senjata mereka.
## Pengalaman Russia sejak perang dingin selesai juga tidaklah terlalu bagus
Lihat record mereka dalam perang tahun 2008 melawan Georgia,salah satu negara kecil ex-Soviet yang angkatan perangnya jauh lebih kecil dibandingkan Russia sendiri.
http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx;_ttnews[tt_news]=35951#.VFco8zRSVik
Russia kehilangan terlalu banyak pesawat. 3 Su-25, 2 Su-24, dan bahkan sampai 1 Tu-22M3 yang sudah dimodernisasi. Ini memperlihatkan kalau mereka masih belum bisa memakai sistem network-centric yang baik.
Jadi dari segi pilihan, sudah jelas kalau Indonesia harus berpaling ke NATO.
Integrasi peralatan berat seperti Su-27/30, atau Su-35 ke sistem yang Network-centric, Indonesia harus berpaling ke India, yang berhasil mengkombinasikan sistem buatan Perancis dan Israel ke Su-30MKI mereka.
Tetapi kembali ke masalah awal; India memiliki 200 Su-30MKI dan anggaran militer yang berkali-kali lipat dibanding Indonesia. (Lagi2 masalah jumlah!!) Ini memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk "trial-and error"; mengetes sejauh mana sistem buatan Russia bisa terintegrasi untuk menjadi sistem yang tak terkalahkan.
Pengalaman India sendiri dalam pemakaian Su-30 MKI di Red Flag 2013 juga masih kurang bagus. Lihat link di bawah:
http://www.flightglobal.com/blogs/the-dewline/2008/11/usaf-pilot-describes-iaf-su30m/
Ini menunjukkan kalau India sendiri juga masih harus belajar banyak dari sistem seperti NATO. Paling tidak mereka sudah menunjukkan kalau mereka mau belajar untuk mencapai tujuan akhir mereka; Angkatan Udara yang bisa menandingi kemampuan NATO.
(masih bersambung ke "Negara mana yang bisa jadi mentor untuk sistem pertahanan terintegrasi", tapi cukup dulu disini)