13 Nov 2014 09:46:51 | by Admin
| 16886 views | 32 comments
|
4.9/5 Stars dari 4 voter
Proses penggantian pesawat tempur F-5 TNI AU belum mencapai tahap akhir meskipun sudah banyak desas-desus yang berkembang. Meski beberapa statement pejabat tinggi militer Indonesia yang menyebutkan bahwa kandidat hanya tersisa 3 saja, namun sampai saat ini kandidat lain masih bergerilya agar terpilih. Lalu bagaimana jika kita mencoba mempertimbangkan ide lain berupa tambahan hibah plus upgrade pesawat tempur F-16 setara Block 52 sebagai pengganti F-5?
Sebenarnya ide tambahan hibah F-16 dari Amerika sebagai pengganti F-5 TNI AU sudah penulis bahas tahun 2013 lalu dalam artikel yang berjudul Alternatif Lain Pengganti F-5 TNI AU. Namun tidak ada salahnya jika topic ini kita bahas kembali untuk memperkaya ide dan gagasan dalam hal pencarian pengganti F-5 TNI AU ini. Memang sampai saat ini, rilis resmi pejabat tinggi militer Indonesia hanya menyebutkan 3 kandidat sebagai pengganti F-5 TNI AU yaitu Su-35 BM, Gripen E/F dan F-16 Block 60. Namun tidak tertutup kemungkinan jika pengganti F-5 TNI AU dialihkan kepada penambahan Hibah plus Upgrade F-16 setara Block 52 dari Amerika Serikat. Hal ini didasari fakta bahwa beberapa tahun lalu pun Indonesia berencana membeli 6 unit F-16 Block 52 baru, namun akhirnya dialihkan dengan Hibah plus Upgrade 24 unit F-16 setara Block 52.
Mungkinkah Amerika Memberikan Tawaran Tambahan Hibah Upgrade F-16 ke Indonesia?
Pertanyaan ini cukup mudah untuk dijawab karena pada tahun 2011 yang lalu pun ketika Indonesia menerima tawaran hibah upgrade 24 unit F-16 setara Block 52, Amerika juga memberikan opsi tambahan hibah sebanyak 10 unit F-16 setara Block 52 lagi. Namun opsi itu belum diambil Indonesia sejauh ini.
Mengingat Amerika Serikat sangat berkepentingan untuk membendung pengaruh China di sekitar kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara dan di tengah isu Konflik Laut China Selatan, maka mau tidak mau Amerika Serikat juga harus berusaha keras mendapatkan perhatian Indonesia. Caranya tentu saja memberikan kerjasama yang sangat menguntungkan Indonesia. Salah satunya adalah kerjasama militer, seperti tambahan hibah F-16 ini.
Mungkinkah Dana Pengganti F-5 TNI AU Dialihkan Untuk Tambahan Hibah Upgrade F-16 setara Block 52?
Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik untuk di jawab, namun juga susah untuk menebak jawab pastinya. Susah ditebak jawabannya karena di Indonesia arah kebijakan pemerintah bisa saja berubah seiring dengan pergantian pemerintahan baru Indonesia. Meski tidak selalu terjadi, terkadang berganti pemerintahan maka kebijakan juga berganti. Maka dalam kaitan pertanyaan diatas, kita anggap saja pengalihan dana penggantian F-5 TNI AU kepada tambahan hibah upgrade F-16 setara Block 52 itu adalah satu hal memungkinkan.
Pada tahun 2011 yang lalu rencana awal Indonesia untuk menambah 6 unit F-16 Block 52 baru dengan dana sekitar $430 Juta, akhirnya dialihkan dengan hibah upgrade 24 F-16 setara Block 52 yang memakai anggaran sekitar $680 Juta. Berkaca pada kasus tersebut, kita bisa melihat bahwa kemungkinan ini adalah satu hal yang bisa saja terjadi. Pada awalnya reaksi masyarakat Indonesia khususnya komunitas penggemar militer cukup beragam yang kebanyakan cukup meyayangkan keputusan pemerintah Indonesia tersebut. Namun belakangan reaksi masyarakat cukup baik setelah kedatangan beberapa unit dari 24 unit pesawat hibah upgrade F-16 setara Block 52 tersebut.
Seberapa Banyak Tambahan Hibah Upgrade F-16 setara Block 52 yang Akan Diterima Indonesia?
Jika, sekali lagi jika, kemungkinan tambahan hibah upgrade F-16 setara Block 52 ini yang akhirnya dipilih sebagai pengganti F-5 TNI AU, maka pertanyaannya adalah seberapa banyak pesawat tempur F-16 setara Block 52 yang mungkin akan diterima Indonesia? Kembali pada kasus di tahun 2011 yang lalu dimana dengan dana sekitar $680 Juta Indonesia bisa memperoleh 24 unit F-16 setara Block 52. Dengan berkaca pada kasus ini maka setiap unit F-16 upgrade ini, Indonesia membayar biaya upgrade sekitar $30 Juta/unit.
Saat ini dana untuk penggantian satu skuadron F-5 TNI AU belum diumumkan secara resmi, namun beberapa sumber menyebutkan dananya adalah sekitar $1 Miliar. Penulis sendiri memprediksi bahwa dana pengganti F-5 ini adalah sekitar $1 Miliar sampai dengan $1.5 Miliar. Dengan dana sebesar itu dan mengacu pada dana upgrade per unitnya adalah $30 Juta/unit, maka Indonesia bisa menerima sekitar 40-50 unit F-16 setara Block 52. Jumlah yang cukup banyak dimana 40-50 unit F-16 setara Block 52 ini cukup untuk kebutuhan sekitar 3 Skuadron F-16 setara Block 52.
Jika kita anggap saja bahwa jumlah tambahan hibah upgrade F-16 setara block 52 yang diterima adalah 50 unit, maka secara total Angkatan Udara Indonesia akan memiliki 84 unit F-16 setara Block 52. Hal ini karena sebelumnya Indonesia sudah memiliki 10 unit F-16 Block 15 OCU yang akan di upgrade dan 24 unit F-16 setara Block 52 hasil hibah tahap pertama. Keseluruhan 84 unit pesawat tempur ini mencukupi untuk membangun 5 Skuadron F-16 setara Block 52 di Indonesia.
Nilai Plus Jika Pengganti F-5 Dialihkan kepada Tambahan Hibah Upgrade F-16 dari Amerika
Tambahan hibah upgrade F-16 setara Block 52 sebagai pengganti F-5 TNI AU kemungkinan besar akan kembali menuai polemik sebagaimana halnya pada proses hibah pada tahun 2011 yang lalu. Hal ini adalah hal yang sangat wajar mengingat harapan masyarakat Indonesia sudah cukup tinggi karena melihat beberapa kandidat yang muncul semuanya adalah pesawat tempur gress yang relative lebih canggih dari pada upgrade F-16 setara Block 52. Namun penulis sendiri memandang, opsi ini (jika dipilih) sejatinya memiliki beberapa nilai plus. Tentunya selain itu ada juga nilai negatifnya.
Nilai plus pertama yang penulis soroti adalah pada factor kesamaan pesawat ini dengan pesawat tempur yang sudah dimiliki TNI AU saat ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sudah memiliki 10 unit F-16 Block 15 OCU yang akan segera di upgrade dan 24 unit F-16 setara Block 52 hasil hibah tahap pertama. Jika ditambah dengan hibah tahap kedua ini, maka Indonesia akan memiliki puluhan pesawat tempur F-16 setara block 52 yang memiliki type mesin, radar dan komponen lainnya yang relative sejenis. Hal ini akan mempermudah masalah maintance dan mempermudah permasalahan logistik, sehingga bisa memangkas biaya operasional dan maintenance.
Nilai plus lain yang penulis soroti adalah fakta Angkatan udara Indonesia sudah cukup berpengalaman mengoperasikan pesawat tempur F-16, sehingga tidak akan terlalu sulit untuk beradaptasi. Pengalaman menggunakan F-16 sejak tahun 1989 sedikit banyak akan membantu mempermudah operasional dan maintenance puluhan pesawat tempur F-16 ini.
Nilai plus yang tak kalah mantapnya adalah jumlah tambahan hibah upgrade yang cukup banyak. Seperti sudah penulis bahas diatas, ada kemungkinan tambahan hibah upgrade ini adalah sekitar 50 unit. Jumlah tersebut memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan 3 skuadron pesawat tempur sekaligus. Artinya selain menggantikan F-5 di skuadron 14 TNI AU, masih ada tambahan 2 skuadron F-16 lagi yang akan segera bergabung dengan TNI AU. Tambahan 2 skuadron F-16 hibah upgrade ini memungkinkan untuk membetuk 2 skuadron pesawat tempur di kawasan timur Indonesia.
5 Skuadron F-16 setara Block 52 bisa mengcover seluruh Indonesia. Maps by Google Maps
Dengan demikian Indonesia secara total akan memiliki 5 skuadron pesawat tempur F-16 setara Block 52, yang terdiri dari Skuadron 3 Madiun, Skuadron 16 Pekanbaru, Skuadron 14 Madiun dan 2 skuadron baru di timur Indonesia. Dengan 5 skuadron pesawat tempur F-16 setara Block 52 ini, maka seluruh wilayah udara Indonesia sudah bisa tercover oleh kekuatan pesawat tempur angkatan udara Indonesia. Hal ini akan menjadi peningkatan yang sangat significan bagi kekuatan udara Indonesia.
Nilai Minus Jika Pengganti F-5 Dialihkan kepada Tambahan Hibah Upgrade F-16 dari Amerika
Seperti halnya koin, selain memiliki sisi positif, tambahan hibah upgrade F-16 setara Block 52 sebagai pengganti F-5 TNI AU ini pun memiliki sisi negative. Yang paling penulis soroti adalah fakta bahwa pesawat tersebut sejatinya adalah pesawat bekas yang di upgrade, yang artinya meski akan di upgrade dengan teknologi terkini, tetap saja memiliki keterbatasan dibandingkan dengan kandidat lain yang benar-benar pesawat baru dan dengan teknologi baru. Menurut pendapat penulis, kandidat lain seperti Su-35 BM, Gripen E/F dan F-16 Block 60/61 yang semuanya adalah pesawat baru dengan teknologi baru, relative lebih canggih dari pada upgrade F-16 setara Block 52. Disisi ini, kita bisa memprediski bahwa kandidat lain seperti Su-35 BM, Gripen E/F dan F-16 Block 60/61 akan memberikan efek gentar yang lebih besar dari pada pesawat hibah upgrade F-16 setara Block 52. Namun karena jumlahnya jauh lebih banyak, kekurangan ini sedikit banyak bisa “tergantikan”.
Selain itu, sisi negative lainnya adalah kenyataan bahwa teknologi dalam pesawat tempur hibah upgrade F-16 setara Block 52 relatif sama saja dengan pesawat tempur yang sudah dimiliki Indonesia. Artinya secara teknologi tidak ada peningkatan yang berarti bagi angkatan udara Indonesia. Jika negara tetangga seperti Singapura dan Australia sudah mulai mapan mengoperasikan teknologi terbaru seperti radar AESA, maka Indonesia masih akan berkutat pada radar MSA seperti APG-68(v) family. Hal ini mungkin saja bisa diatasi jika seandainya hibah upgrade ini nantinya juga menyertakan beberapa teknologi yang mutahir seperti radar AESA, dan lainnya. Namun penulis melihat peluang ini cukup kecil karena pasti akan berbenturan pada factor apakah efisien menggunakan radar AESA untuk pesawat tempur yang life time-nya sudah tidak terlalu panjang. Tentunya disamping biaya yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan untuk itu.
Faktor lainnya yang penulis pandang cukup negative adalah karena tambahan hibah upgrade F-16 setara Block 52 sebagai pengganti F-5 TNI AU ini akan membuat Indonesia semakin tergantung kepada satu sumber yaitu Amerika Serikat. Indonesia sendiri sudah memiliki pengalaman yang cukup pahit ketika mengalami embargo militer dari Amerika, yang membuat kesiapan alutsista TNI menurun drastis. Namun memang akhir-akhir ini hubungan Indonesia dan Amerika Serikat sangat baik sekali yang ditunjang dengan naikknya kekuatan ekonomi dan pengaruh Indonesia dikawasan Asia Pasifik, akan membuat Amerika tidak bisa semudah dulu menjatuhkan sangsi embargo militer bagi Indonesia. Amerika sendiri sangat berkepentingan besar untuk merangkul Indonesia untuk membendung kekuatan China dalam konflik Laut China Selatan. Maka penulis memandang bahwa factor ketergantungan terhadap Amerika ini sebagai hal yang tidak perlu terlalu di takutkan, meski tetap harus dipertimbangkan.
Faktor lain yang tak kalah seriusnya yang bisa berdampak negative bagi Indonesia adalah fakta bahwa pesawat tempur hibah F-16 setara Block 52 ini relative sudah berumur sehingga tidak akan bisa dioperasionalkan dalam jangka waktu yang panjang. Beberapa sumber menyebutkan sisa jam terbang pesawat tempur hibah upgrade F-16 setara Block 52 ini kemungkinan hanya bisa dioperasionalkan selama 15-20 tahun kedepan, dengan asumsi jumlah jam terbang setiap pesawatnya adalah 200jam/tahun. Itu artinya pada tahun 2030 mendatang keseluruhan pesawat tempur ini akan segera harus digantikan kembali.
Terkait hal ini, Indonesia sejatinya sudah memiliki rencana jangka panjang untuk mengantikan pesawat tempur F-16 ini dengan KFX/IFX yang sedang dikembangkan Indonesia bekerjasama dengan Korea Selatan. Project KFX/IFX ini direncakanan sudah mulai menghasilkan pesawat tempur generasi 4.5 untuk kedua negara pada tahun 2025 mendatang. Artinya ada satu benang merah yang sangat terkait, dimana masa pensiun keseluruhan F-16 setara Block 52 Indonesia ini bertepatan dengan produksi pesawat tempur KFX/IFX. Sehingga ketika F-16 setara Block 52 pensiun, bisa segera digantikan oleh pesawat tempur KFX/IFX.
Permasalahannya adalah bagaimana jika project KFX/IFX mengalami kegagalan atau katakanlah mengalami masalah sehingga belum bisa di produksi pada saat F-16 setara Block 52 harus pensiun. Kemungkinan ini bisa saja terjadi walaupun bisa juga tidak terjadi. Namun sebagai pertimbangan, penulis merasa bahwa akan sangat riskan apabila Indonesia bergantung kepada hibah upgrade F-16 setara Block 52 dan project KFX/IFX mengalami masalah.
Saran Jika Tambahan Hibah Upgrade F-16 dipilih Sebagai pengganti F-5 TNI AU
Selain melihat sisi negative dan positifnya, penulis merasa jika tambahan hibah F-16 benar benar dipilih sebagai pengganti F-5, maka ada baiknya Indonesia tetap menambah satu skuadron pesawat tempur kelas berat seperti Su-30MK2 atau Su-35 BM untuk mengimbangi jumlah pesawat tempur kelas medium TNI AU nantinya. Dengan demikian Indonesia akan memiliki sekitar 5 skuadron pesawat tempur kelas medium (F-16 setara Block 52) dan 2 skuadron pesawat tempur kelas berat (Flanker Family).
Selain itu, penambahan pesawat tempur dalam jumlah yang “sangat banyak” ini harus juga diimbangi dengan penambahan pesawat tempur latih seperti pesawat LIFT T-50i. Hal ini untuk memastikan Angkatan Udara Indonesia tidak kekurangan jumlah pilot untuk “menunggangi” pesawat tempur tersebut.
Sekain ulasan singkat dari penulis, dan mohon di ingat kembali bahwa apa yang kita bahas ini adalah masih sebatas JIKA, SEANDAINYA dan sejenisnya. Tujuan tulisan ini hanyalah memberikan pandangan baru pada masalah pengganti F-5 TNI AU, untuk menambah wawasan kita bersama. Mohon maaf jika ada kekurangan dan kata-kata yang kurang berkenan. Saran dan kritik silahkan disampaikan di form komentar dibawah ini. Salam dari Admin AnalisisMiliter.com
Label : Pesawat Tempur |
Pesawat Tempur Indonesia |
Militer Indonesia |
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Militer Indonesia Segera Miliki Rudal Canggih AIM-120C7 AMRAAM
2.
Menanti Kedatangan Pesawat AEW&C TNI AU
3.
Militer Indonesia: Modernisasi di Tengah ‘Perang Dingin’ AS vs China
4.
Project KFX/IFX : Hambatan, Tantangan dan Peluang Sebagai Jet Tempur Indonesia di Masa Datang
5.
Kaskus Leaks Dan Modernisasi Militer Indonesia
6.
Incar Tender Pesawat Latih Amerika, KAI-LM Luncurkan Varian T-50
7.
Akhirnya Project Pesawat Tempur KFX/IFX Menggunakan Design Dual Engine
8.
ASTROS II dan CAESAR : Bintang Pameran Alutsista TNI 2012
9.
Tragedi Pesawat KC-130B Hercules Indonesia di Medan
10.
Modernisasi Kapal Selam Indonesia Tahun 2015-2020
Gripen-Indonesia |
13 Nov 2014 11:51:21
@Admin
Pertama saya mau menuliskan bagi yang skeptikal, yang masih takut embargo -- faktor resiko adanya embargo militer dari Amerika sudah hampir tidak mungkin --- selama negara kita tetap demokratis seperti sekarang.
Faktor terutama kenapa senjata buatan Amerika harus tetap dihindari adalah, mereka akan selalu mengontrol apa yang kita BOLEH pakai / beli. Ada bermacam cara untuk mengerjakan ini. Kalau F-16 Indonesia mendapat AESA radar, semisal APG-80, belum tentu kita mendapat kontrol penuh untuk mission parameter dan kemampuan yang sebanding dengan F-16 Block-60 milik UAE, atau F-16V upgrade Singapore.
Sama dengan persenjataan. Saya sudah tuliskan. Paling maksimum, kita hanya akan bisa membeli AIM-9M (versi sebelumnya dari Sidewinder), atau AIM-120 C2/3/5 (versi sebelumnya AMRAAM). Sepertinya Indonesia tidak bisa berharap banyak kalau bisa upgrade ke AIM-9X atau AIM-120 C7 yang dimiliki Australia dan Singapore.
** Kalau dari sudut pandang ini, mungkin lebih baik kalau kita membeli missile bekas dari stock USAF utk mempersenjatai F-16 Block-52ID yang baru saja kita beli bekas juga. Ini akan menghemat anggaran. Lapipula beli baru hanya buang2 uang, krn kita akan dapat versi yg lebih rendah mutunya dibanding negara2 tetangga.
Inilah faktor utama kenapa Switzerland, Brazil, dan India -- semua yang baru saja mengadakan kompetisi pesawat tempur, sebenarnya sudah mencoret pilihan Amerika dari awal. Di Brazil, Super Hornet kalah bukan karena gara2 skandal penyadapan NSA spt diberitakan, tapi memang tipe ini tidak banyak harapan dari awal -- dan sengaja diangkat2 untuk memberi "harapan".
Karena di Block-52ID, versi APG-68 tidak ditulis bahkan dalam dokumen DCDA Amerika; bisa diasumsikan kita dapat versi paling rendah (V2) yg sudah diperbaiki. Ini sebenarnya sudah lampu kuning kalau Indonesia mau menambah Block-52 bekas. Ingat juga, dalam daftar persenjataan kita juga tidak mendapat Link-16 aerial network yang sangat diperlukan, apalagi JHMCS untuk memungkinkan Indonesia bisa memakai tipe Sidewinder yg paling modern.
Artinya pembelian F-16 Block-52ID bekas boleh dibilang sama saja seperti membeli F-16 Block-25 tahun 1980-an yang sudah sedikit lebih dimodernisasi. Walaupun saya mendukung hibah 24 pesawat sebelumnya, karena TNI-AU memang lebih terjepit -- butuh lebih banyak pesawat dengan biaya seminim mungkin -- pembelian tambahan tipe pesawat semacam ini tidak boleh terulang lagi. Ini karena kecuali dari segi jumlah, pesawat dengan spesifikasi Block-52ID tidak akan banyak menambah kemampuan tempur TNI-AU dibandingkan dengan versi Block-15 OCU.
Dengan kata lain, kita tidak mendapat lompatan yang cukup jauh, seperti yang dinikmati pembeli F-16 Block-50/52 yang lain.
Tapi kenapa Indonesia masih harus pusing dengan F-16 bekas kalau mau menambah pesawat lagi dalam waktu dekat?
Kenapa tidak teken kontrak dengan Swedia dan SAAB untuk pembelian Gripen-E/F, kemudian bisa menyusuri kemungkinan menyewa 10 - 12 Gripen-C/D terlebih dahulu dari AU Swedia?
Bahkan Gripen-C/D dari segi kemampuan akan menyamai / melebihi F-16 Block-50/52+. Meteor BVRAAM juga sudah diintegrasikan ke tipe C/D. Jadi tipe ini sudah lebih unggul dibanding dengan semua F-16 yg ada di Indonesia.
Ini juga akan memberikan kesempatan untuk mengetes kemampuan Gripen C/D melawan semua tipe2 lain yang sudah dioperasikan TNI-AU. Saya rasa, untuk saat ini saja, Gripen-C/D yg disewakan ke Indonesia akan mempunyai kemampuan yg cukup untuk bisa mengalahkan Su-27SK/SKM, dan Su-30MK/MK2.
Admin |
13 Nov 2014 13:20:13
@Gripen Indonesia,
Thanks buat komentarnya yang berbobot.
terkait Amerika yang "agak cerewet" dalam transfer peralatan militer, memang bukan satu hal yang aneh lagi. semua sudah memahaminya. Kita bisa lihat seperti apa timpangnya dahulu tawaran militer untuk Indonesia dan Singapura sebagai contoh. terutama pada masa-masa kondisi ekonomi Indonesia masih semerawut dulu.
namun belakangan, sedikit demi sedikit, hal itu sdah mulai mencair. sebut saja Indonesia yang diberikan akses untuk memperoleh 8 unit Heli Apache dengan rudal hellfire nya. senjata yang selama ini hanya diberikan untuk sukut dekat Amerika seperti Singapura. hal ini bisa diindikasikan bahwa sudah ada perubahan yang cukup radikal dalam kebijakan US terhadap Indonesia. Apa yang diperoleh Indonesia dalam hal Apache dan Hellfire ini "sudah setara" dengan Singapura meski jumlahnya masih lebih banyak Singapura.
Lalu bagaimana dengan F-16? Salah satu kandidat yang ditawarkan Amerika Serikat ke Indonesia adalah F-16 Block 60, yang lebih baik dari F-16 Block 52+ yang dimiliki Singapura. Memang pada akhirnya Singapura upgrade F-16 nya ini menjadi setara Block 61. tapi yang mau saya soroti adalah kebijakan US dgn menawarkan Block 60 adalah sebuah langkah maju dalam memandang Indonesia.
Terkait senjata rudal F-16, setau saya dari artikel yang dipublis ARC beberapa bulan yang lalu, sudah disebutkan bahwa Indonesia juga "sedang dalam proses" mendapatkan puluhan rudal AIM-9X dan AIM-120C7. hanya saja realisasinya tentunya kita harus menunggu. kita tau sendiri bahwa AIM-9X dan AIM-120C7 adalah senjata yang "hanya dikhususkan" bagi sekutu dekat Amerika.
Semuanya memang masih menunggu waktu untuk "memperjelas" pandangan kita, but indikasi bahwa ada perubahan kebijakan Amerika yang significan dalam memandang Indonesia saya kira bukanlah isapan jempol semata.
just IMHO
Gripen-Indonesia |
13 Nov 2014 14:53:25
@Admin
## AIM-9X dan AIM-120 C7
Saat ini tidak satupun F-16 Indonesia bisa memakai AIM-9X -- tidak ada JHMCS. Keunggulan -9X adalah offbore-shot missile -- bisa ditembakkan mengikuti pandangan pilot, sampai 90 derajat dari moncong pesawat. Ini membutuhkan Helmet-Mounted-Sight, seperti di Su-27/30, Typhoon, dan Gripen. Untuk pesawat tempur US, standar-nya adalah JHMCS.
Integrasi JHMCS, berarti semua 34 pesawat mungkin harus dikirim ke US lagi -- ingat, tidak ada ToT(!).
Kalau Indonesia membeli AMRAAM C7 juga akan mubazir, karena masalah radar APG 68 v2 di Block-52ID yang lebih inferior dibanding standar APG-68 v9 di versi F-16 Block-50/52+. Ini artinya pembelian AMRAAM C7 berarti F-18F SuperHornet Australia (APG-79 AESA) dan F-16 Block-52+ Singapore (APG-68 v9 -- pulse doppler) tetap akan mempunyai keunggulan untuk menembak lebih jauh dibanding F-16 Block-52ID. Belum kita menghitung kemampuan software, kalau radar kita sebanding. Seperti sudah saya tuliskan, ada banyak cara untuk menurunkan kemampuan F-16 Indonesia dibandingkan F-16 Singapore, atau bahkan F-18A/B Australia.
Yang paling penting, kita tidak boleh tertipu rayuan si penjual senjata, apalagi kalau asalnya dari US, dan penjualnya Lockheed-Martin.
Sekali lagi, menurut saya, dilihat dari spesifikasi yang ada, lebih baik Indonesia membeli AIM-9M dan AMRAAM C3 bekas dari stock USAF. Paling tidak dengan demikian, F-16 Indonesia dapat mulai berlatih dengan missile generasi yang lebih modern drpd yang ada di stock skrg.
Lagipula status Indonesia belum masuk sebagai "Major non-NATO ally", dan sepertinya juga kemungkinannya kecil, kita bisa masuk menjadi anggota.
http://en.wikipedia.org/wiki/Major_non-NATO_ally
Berbeda dengan Pakistan, atau Maroko yang tidak berbatasan dengan negara lain yang masuk ke daftar ini, Indonesia diapit oleh Australia, dan Singapore (mereka tidak masuk daftar, tapi diperlakukan sama spt Australia). Jadi Amerika bukan masalah "cerewet" soal persenjataan. Coba tebak, kalau terjadi konflik, apakah tidak mungkin paman Sam pilih kasih dengan kedua tetangga kita ini?
Ini artinya kalau sampai terjadi ketegangan dengan favorit mereka di daerah Asia Tenggara ini, Australia (walaupun kemungkinannya sangat kecil sekali), bukan tidak mungkin kalau biar bagaimana persenjataan F-16 Indonesia akan "diatur" supaya setingkat dibawah kemampuan yang sudah "diperbolehkan" untuk Australia. Ini adalah faktor ancaman utama untuk kemandirian sistem pertahanan udara Indonesia di masa depan, kalau kita terlalu mengandalkan F-16.
Memang biar bagaimana, tambahan sampai 3 skuadron F-16 bekas mungkin menggiurkan karena menghemat uang.
Tetapi kalau penghematan menjadi prioritas utama, mengapa tidak langsung saja mempensiunkan Su-27/30 di Skuadron-11, dan mungkin menjualnya ke Vietnam mumpung mereka masih ada cukup resale value?
## Untuk Apache AH-64D dan Hellfire missile
Hanya ada 8 unit, dan sama seperti pembelian Leopard, kita justru harus mempertanyakan apakah TNI-AD sebenarnya membutuhkan helikopter tempur macam ini. Tujuan utama Apache adalah menghancurkan tank atau kendaraan musuh -- dan karena Indonesia negara maritim, efek penggunaannya sangat sempit.
Dari segi helikopter, Indonesia lebih membutuhkan Mi-35 yang sudah dibeli lebih dahulu.
Karena helikopter ini bisa kerja dobel sebagai helikopter angkut dan helikopter tempur, lebih fleksibel. Dari segi daya hancur, mungkin tidak sehebat Apache, tetapi kemampuannya sudah cukup.
## Dari segi senjata strategis, pesawat tempur selalu mendapat prioritas utama di semua Angkata Udara di dunia. Pesawat tempur bisa menjaga kedaulatan udara Indonesia, karena bisa memberikan "access denial" -- selama TNI-AU masih bisa mengudarakan pesawat tempur, "lawan" akan berpikir 2 kali untuk menyerang TNI-AD atau TNI-AL. Sedangkan helikopter tempur semacam Apache, mungkin tidak akan mempunyai tugas sampai kendaraan tempur "lawan" sudah mulai mendarat di salah satu pulau di Indonesia -- skenario yg kemungkinannya kecil. Untuk menyerang kapal, Apache juga kurang sesuai; pesawat tempur dengan anti-ship missile juga lebih berguna.
## Ini menjelaskan kenapa Amerika lumayan murah hati menawarkan versi tertinggi AH-64D Longbow, dan Hellfire missile -- karena kedua2nya tidak benar2 kita perlukan sekali. Jadi sebagai penjual, tentu mereka akan menawarkan semua yg terbaik. F-16 berbeda.
##Kemungkinan F-16 Indonesia bisa bertemu dengan F-18F dan F-16V Singapore di dalam konflik jauh lebih besar dibanding Apache bertemu lawan yg harus dicari. Kalau digunakan dengan baik, F-16 bisa menghancurkan F-18F Super Hornet atau F-16 Singapore; sedangkan Apache? Apakah ada kemungkinan Apache bisa menghantam Leopard milik Singapore atau M1A1 Australia?
## Singapore memiliki banyak Apache dan Leopard, apa kita mau mencontoh mereka?
Strategi perang mereka yang terutama adalah "menganyang" Malaysia -- ada banyak konflik kecil antara keduanya yg kurang disorot dunia internasional, mulai dari supplai air minum, makanan di Singapore, banyak orang Malaysia yg tidak puas dgn cara pemerintah sana mengatur mereka, kabur ke Singapore, dll.
Jadi tujuan pembelian Singapore jelas, Leopard, dibawah perlindungan Apache akan bisa meluncur masuk ke Kuala Lumpur dalam waktu kurang dari 2 hari. F-15SG dan F-16 Block-52+ mereka sudah akan menghancurkan semua Su-30MKM dan F-18D Malaysia di darat sebelum Malaysia sempat bergerak. Radar Malaysia bahkan tidak bisa melihat MH370 menyeberangi semenanjung Malaya (memalukan!), berarti mereka juga tidak akan bisa melihat kalau F-15SG Singapore menghabisi Angkatan Udara mereka. Seluruh semenanjung Malaysia bisa jatuh ke tangan Singapore dalam seminggu.
## Terakhir, sekali lagi, untuk urusan pesawat tempur, Indonesia tidak memiliki banyak pilihan.
F-16 Block-52ID sangat bagus sekali untuk menutup "gap" sementara, tapi sebaiknya kita jangan tergiur dan ketagihan dengan persepsi "murah", dan mulai memikirkan masa depan bangsa. Efek deteren F-16 Block-52ID juga sudah "di-permurah".
Untuk Su-35S, skrg saja para petinggi sudah mulai resah dgn biaya operasional Su-27/30. Di artikel2 Tempo itu padahal hanya memakai 2 pesawat selama 1 1/2 jam untuk intercept. Untuk berlatih, pilot2 ke-16 pesawat Su-27/30 Indonesia sebenarnya harus menaruh 150 - 170 jam terbang per tahun!
Lihat link di bawah:
http://www.globalsecurity.org/military/ops/mtw-readiness.htm
Ini menjadikan satu2nya pilihan yang paling memenuhi semua kebutuhan, dan menjamin kemandirian Indonesia didalam sistem pertahanan udara adalah SAAB JAS-39 Gripen-E/F. Supplier adalah negara netral, dan akan membangun kesempatan untuk PT DI untuk mendekatkan kerjasama yg menguntungkan dengan SAAB dan Embraer.
istnar efendy |
13 Nov 2014 12:19:44
kalo tawarannya F16 bekas,lebih baik nggak usah aja, jauh lebih baik banyakin gripen en tambah sukhoinya. biaya operasi dan maintenance gripen saya kira lebih murah dari pada f16,
Admin |
13 Nov 2014 13:25:36
@Istnar efendy dan @rezz,
memang benar (KALAU) pilihan ini dipilih sebagai pengganti F-5 pasti akan menimbulkan polemik seperti tahun 2011 lalu. karena punya nilai plus minus yang tidak sedikit seperti yang sebagian sudah saya jabarkan diatas.
permasalahannya adalah keputusan bukan di tangan kita, tetapi ditangan pemerintah. Kita bisa saja bilang ya atau tdak, tetapi tidak akan banyak merubah pandangan dan sikap resmi pemerintah.
Ya kita harapkan saja lah pemerintah kita memberikan keputusan yang terbaik bagi NKRI.
just IMHO
Tukino |
18 Nov 2014 18:58:03
@Rezz
Pake Tukino Aza, Paling Murah Lho.. $100/Jam.
Larinya KHuenceng Kok :P, Minta TeTot dikasih 100 % yey
Yg Lain Lewat dehhh..!
caksolar |
13 Nov 2014 14:58:57
Beli pesawat tempur yg sangat mahal itu utk apa. Kan supaya NKRI aman dari gangguan dan ancaman potensial musuh maupun tetangga yg usil, sehingga rakyat bisa tidur dengan nyenyak.
Apakah dng membeli F16 bekas dalam jumlah banyak bisa menjadikan musuh gentar dan tetangga segan utk usil? kalau ya, bisa saja diambil, tapi kalau tidak, tidak usah diambil.
Sama2 mengeluarkan uang yg sangat besar 1M-1,5M US setara dengan 12T-20T, tapi kalau tidak bikin potensial musuh gentar tetapi malah bikin musuh geli, yg percuma.
Pilihan pengganti F5E Tiger yg termasuk dalam kategori Medium Fighter adalah Gripen atau Eurofigter atau Rafale. Monggo dipilih salah satu yg paling menguntungkan buat NKRI. Pak RR sangat antusias dng TOT.
Lupakan ASU yg banyak syarat dlm penggunaannya walaupun kemungkinan embargo saat ini lebih kecil. Yang PASTI tidak akan boleh digunakan utk menghadapi SEKUTU DEKATNYA..
Admin |
13 Nov 2014 15:17:13
@caksolar,
peringatan pertama, mohon tidak menggunakan kata kata yg tidak beretika untuk nama orang, atau nama negara manapun.. saya akan sangat menghargai pendapat anda jika bisa disampaikan dengan etika dan sopan santun sebagaimana orang Indonesia seharusnya.
salam Admin
phadyl |
13 Nov 2014 17:46:26
Ulasan yg menarik, kalau memang benar menurut kabar2 tsb pemerintah menyiapkan anggaran untuk program ini antara $ 1 Milyar sd $ 1,5 M Bung, jumlah tersebut cukup mengakuisisi 1 skuadron pespur Gen 4 atau 4++. (no pensil).
Terkait altikel diatas, menurut pandangan sy ngak ada jeleknya juga kita ambil F 16 Block 52ID tsb, walaupun dengan berbagai pertimbangan dan itu merupakan pilihan terpahit, tapi dana tersebut jangan di pergunakan semua, paling tidak $ 750 juta untuk membeli 2 skuadron tambahan F 16 B52ID bekas lagi, paling tidak dengan kuatitas sebanyak 4 skuadron F 16 B52ID (termasuk Blok 15icu yg di upgrade) lama sudah cukup membuat membuat langit kita terjaga.
Sisanya yang $750 Juta, bisa buat borong pesawat AW&C plus perbanyak Rudal BVRAAM macam AIM-120 C/6/7 dengan ilustrasi tiap pesawat dicanteli 4 AIM 120C/6/7 X 64 pesawat wuiiii........... kalao pun paling tidak 50 pesawat sj terbang dengan formasi missil lengkap (tiap pesawat 4 BVRAAM + 2 Sidewinder) +plus 16 SU 27/30 full missile, sudah pasti ketangga kita mikir2 5 x bung mau usil, di banding pakai Gripen/Typhon/SU 35 tapi rudalnya pas-pas-an atau mungkin kosongan, kalau konfrontasi terjadi dalam waktu dekat, beneran sudah habis duluan kita Bung.
Just analisis ..............thanks
Harry |
14 Nov 2014 18:31:24
Menarik juga pembahasannya. Pendapat saya sebaiknya opsi F16 52 atau versi lain dr keluarga F16 tidak menjadi pilihan sbg pengganti F5, mengapa ? mengingat Indonesia bkn negara sekutu bagi Amerika, walopun mungkin saat ini scr geografis dan geopolitik, posisi Indonesia dipandang penting dan strategis bagi mereka.
Namun kembali lagi, bknkah yg namanya sekutu itu artinya ada jaminan yg dibuat dr sebuah kerjasama yg kuat, yg tentu saja hal tsb bs digunakan utk saling mengontrol kepentingan msg2 (walaupun kadar mengontrolnya bs jd tdk berimbang , hehehehe )
Nah kembali lg knp opsi F16 mnrt sy bkn pilihan yg baik krn kt bkn sekutu Amerika ?
mungkin contohnya spt ini, misalkan saat ini Amerika scr jor2 an memberi teknologi alutsistanya scr terbuka ( contoh loh yaa, hehehehe), dr jor2 an itu apa aja yg kt mau beli di ksh versi yg plg canggih melebihi negara sekutunya ....
Tapi krn tdk ada ikatan sekutu dgn mrk ,ceritanya katakanlah misalnya 10-15 thn lg arah kebijakan politik luar negeri Indonesia berubah, yg tdnya netral ngga mendukung pengaruh siapapun di kawasan ini, tiba2 jd deket bgt sm Rusia dan China (walopun tetep bkn sekutu jg),
Kalo sdh begitu hal ini pasti akan berpengaruh thd negara2 sekutu Amerika di sktr Indonesia, karena teknologi canggih yg sdh diberikan kpd Indonesia tadi itu bs jd akan dianggap membuat ketidakseimbangan kekuatan bagi negara2 di sktr Indonesia tsb ...
Bicara soal sekutu tentunya kt jg ngga lupa dgn pakta FPDA antara Singapura, Malaysia, New Zealand, Australia, dan tentu saja, Inggris ... pendapat saya meskipun tawaran TOT dr Thypoon cukup menggiurkan tp mslh sekutu2 an spt itu rasanya perlu dipikirkan jg ...
Terutama mengenai persenjataannya apabila misalkan kelak kt memilih Thypoon, apakah kt yakin mrk akan memberikan senjata yg plg canggih melebihi kemampuan dr negara2 anggota FPDA yg ada di sktr kt ?
Klo pemilihan pengganti F5 hny menggunakan parameter sekutu non sekutu saja, maka dibandingkan Thypoon atau F16, tentunya Gripen E/F tdk terlalu byk kepentingan dlm hal politik luar negerinya yaa, mungkin bs jd tetap ada tp mnrt sy lbh kcl dibanding opsi Thypoon or F16
Tp maaf itu hanya pendapat saya saja ya dan anyway sy rasa TNI dan Menhan pasti akan memilih yg terbaik
tedy senaputra |
14 Nov 2014 20:41:13
penganti terbaik adalah mereka yang menawarkan kemandirian.SAAB sejauh ini cukup profesional bisnis.tawaran dari euro untuk typhon juga wajar mengingat pesawat ini sudah dinilai usang&bermaslah;.
untuk kelas berat heavy intercept sebaiknya secara operasional dibawah kendali badan strategis yang dibuat terpisah dari airforce,kohanudnas bisa dan akan berperan seperti bakamla.
biaya operasional sukhoi tinggi wajar,kan double engine-bila ingin murah ada tucano..tapi apa ya wajar?
sejak akhir 80an desault menawarkan ofset kepada (waktu itu IPTN))PT.DI untuk mirage seperti skarang rafale,kenapa ya bung admin.mohon pencerahan admin
tedy senaputra |
14 Nov 2014 20:47:17
maksud saya ;sejak akhir 80an desault menawarkan ofset kepada(waktu itu IPTN)PT.DI untuk mirage seperti sekarang TOT untuk rafale,tapi mengapa PT.DI tidak mengambil kesempatan tersebut.mohon pencerahan bung admin.
Gripen-Indonesia |
15 Nov 2014 23:33:18
@tedy senaputra,
Sebetulnya di tahun 1986, Mirage-2000 bersaing dengan F-16 untuk merebut kursi di Skuadron-03.
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/04/22/mirage-2000-di-indonesia-air-show-86-tampil-lebih-menawan-553658.html
http://www.globalsecurity.org/military/world/indonesia/f-16.htm
Sebagaimana kita tahu, F-16 Block-15 OCU memenangkan kompetisi ini, tapi boleh dibilang keputusan ini lebih didorong oleh alasan politik luar negeri saat itu.
Di akhir 1980-an itu (masa2 akhir Perang Dingin), Indonesia dan pemerintah Orde Baru masih menjadi sahabat karib US dan Australia. Indonesia dianggap pahlawan, karena satu2nya negara yg berhasil mengenyahkan komunisme di Asia, tanpa perlu campur tangan militer Barat. Sementara US baru saja selesai menjilati luka2 mereka dalam perang Vietnam, dimana upaya mereka untuk membendung komunisme gagal total.
F-16 Block-15 OCU di tahun 1980-an akhir adalah produk yg cukup modern untuk Export Amerika. Di masa itu, AMRAAM belum selesai development-nya. F-16 C/D Block-25 dan Block-30/32 hanya bisa memakai AIM-7 Sparrow untuk BVR missile -- Sparrow sudah di tes di perang Israel-Mesir/Syria dan perang Vietnam terbukti bukanlah senjata yg sangat efektif. Jadi di masa itu, perbedaan antara F-16 A/B dan C/D tidaklah sebesar skrg.
Tentu kalau kita melihat kembali buku sejarah Indonesia, mungkin sebaiknya Indonesia memilih Mirage-2000. Pembelian Mirage akan membawa serta Matra Magic II dan MICA missile ke dalam stock TNI-AU. Dan tentu saja, kemungkinan besar, Perancis tidak akan memberlakukan embargo militer yg sama seperti US dan UK di tahun 1990-an.
Mirage-2000 malah bisa mempermalukan F-18 Hornet Australia di Timor Barat, dan memberi "pelajaran" bagi F-18 US dalam insiden Pulau Bawean.
Pembelian Mirage-2000 di tahun 1986 juga akan mengubah pembelian2 TNI-AU yang berikutnya:
#1: kemungkinan pembelian Hawk-209 di tahun 1990-an. Sebenarnya Hawk-209 terpilih, bukan hanya krn faktor biaya operasional, tapi juga karena radar yg dipakai (AN/APG-66) sama dgn F-16 Block-15 OCU.
Sebaliknya, mengingat ketegangan antara pemerintah Orde Baru dan US mulai meningkat drastis di tahun 1990-an, kemungkinan TNI-AU malah bisa menambah 1 atau 2 skuadron lagi Mirage-2000.
### Catatan: Di awal tahun 1990-an, TNI-AU sempat berencana membeli 60 F-16. Tentu rencana ini sudah tumpur gara2 embargo militer.
#2: Pesawat latih Hawk-109 kemungkinan juga tidak pernah terbeli -- dan digantikan dengan Dassault/Dornier Alpha Jet (saat ini masih dioperasikan AU Thailand.)
#3: Dan terakhir, dengan adanya 2 sampai 3 Skuadron Mirage-2000 yg kebal embargo, tentu saja tidak akan pernah ada rencana untuk membeli 12 Su-30KI di tahun 1996. Dan, di tahun 2003, tentu saja Indonesia tidak akan pernah *terpaksa* untuk mulai membeli 2 Su-27 SK dan 2 Su-30MK.
Demikianlah, memang kalau waktu itu TNI-AU memilih Mirage-2000, seharusnya keadaan TNI-AU jauh lebih baik daripada sekarang. Pilihan pengganti F-5E sekarang ini, tentu saja akan lebih menitik beratkan ke Rafale, mengingat TNI-AU belum memiliki Skuadron Flanker seperti sekarang.
Gripen-Indonesia |
17 Nov 2014 16:12:32
Komplikasi upgrade radar KF-16 C/D (Korea Selatan) - Ada campur tangan Lockheed?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada 3 variant utama dalam armada KF-16 C/D Korea Selatan -- Block-32, Block-52, dan Block-52+
* Block-32 memakai APG-68v2 -- sama atau sebanding dgn radar di F-16 Block-52ID Indonesia, memiliki kemampuan AMRAAM, menambah jarak jangkau, mode deteksi, dan resolusi dibanding APG-66 di F-16A/B.
* Block-52 memakai APG-68v7 -- lebih tahan lama, mengurangi maintenance, dan mempunyai kemampuan deteksi yg lebih baik dr versi sebelumnya.
* Block-52+ memakai APG-68v9 -- dengan processor, dan receiver yg lebih modern, lebih mengurangi maintenance lagi, dan mempunyai jarak deteksi lebih jauh dr semua versi sebelumnya.
Ketiganya tergolong "mechanical pulse-doppler", tapi relatif jauh lebih modern dibanding kemampuan radar RRC atau Korea Utara, dua lawan yg paling mungkin dihadapi S. Korea. Perhatikan kalau radar di Block-52 Indonesia, masih lebih rendah atau sebanding kualitasnya dengan versi radar di KF-16 Block-32.
Seperti Singapore, S. Korea juga ingin meng-upgrade ketiga versi radar APG-68 ke tipe AESA. Latar belakang keputusan untuk mengupgrade ini sebenarnya bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan KF-16, tetapi karena masalah tipe radar yg ingin dipasangkan S. Korea di FA-50.
Kerjasama dgn Lockheed-Martin menggaris-bawahi klausal bahwa kemampuan keluarga T-50 tidak boleh mengalahkan kemampuan KF-16. Korea S sebenarnya ingin memasangkan radar SELEX Vixen 500E AESA di FA-50. Tetapi karena KF-16 mereka masih memakai APG-68, berarti Selex AESA radar di FA-50 akan melebihi kemampuan KF-16 --- untuk itu, Korea harus terlebih dahulu meng-upgrade SEMUA radar di KF-16 mereka ke AESA.
Ini akan membuat KF-16 Korea memenuhi persyaratan (dgn LM) utk tetap melebihi kemampuan versi FA-50 yang memakai AESA.
Link referensi:
http://www.defenseindustrydaily.com/south-korea-looking-to-upgrade-its-kf-16s-05404/
Singkat cerita, BAe (British Aerospace) memenangkan kompetisi untuk meng-upgrade semua KF-16 dgn AESA radar, databus ke MIL-STD-1760, avionic dan komputer baru. Radar yg sudah dipilih adalah dari tipe RACR buatan Raytheon, yg menjadi basis dari APG-79 di Super Hornet.
Permainan kotor Lockheed dan pemerintah US
------------------------------------------------------------
Langkah selanjutnya lebih menarik. Pemerintah US (yg licik) mengetahui bahwa deal antara Korea dan BAe berarti satu deal yg hilang dari perusahaan lokal mrk. Krn upgrade ini harus melalui proses FMS (Foreign Military Sale) dan memerlukan ijin dari pemerintah US, tentu saja mereka memperlambat proses, dan kemudian menuntut 400 milyar WON ($471 juta) untuk "risk management" (walaupun faktor yg mendorong tidak jelas). Ini memperlambat mulainya proses upgrade, dan tidak bisa tidak, BAe terpaksa menegosiasi ulang deal yg sudah mereka ttd dengan Korea.
Korea Selatan tentu saja tidak punya banyak pilihan. Mereka malah menyalahkan BAe, dan membatalkan kontrak dgn BAe. Sekarang kontrak AESA jatuh ke tangan siapa?
Siapa lagi kalau bukan sahabat baik kita, Lockheed Martin.
Baca saja tulisan dibawah ini:
"Lockheed Martin’s angle is a spinoff from their recent F-35A deal, which will supply 42 aircraft to the ROKAF. Part of their industrial offsets involved help designing the proposed KF-X fighter, which is currently a collaboration between South Korea and Indonesia. They were cautious about providing too much help, but they reportedly see enough benefit in badly wounding an F-16 upgrade competitor to offer another 400 man-years of support for KF-X (total: 700) if the ROKAF switches. Sources: Chosun Ilbo, “U.S. in Massive Price Hike for Fighter Jet Upgrade” | Defense News, “F-16 Upgrade: Problems With S. Korea-BAE Deal Could Open Door to Lockheed” | Korea Times, “Korea may nix BAE’s KF-16 upgrade deal”."
Skrg BAe akan mengajukan tuntutan ke pemerintah Korea Selatan. Saya rasa tuntutan di level ini tidak akan membawa keadilan yg mereka cari:
http://www.flightglobal.com/news/articles/bae-suing-south-korea-in-wake-of-canceled-f-16-upgrade-406054/
Dengan demikian Lockheed Martin berhasil melindungi market utk upgrade F-16 mereka. Ingat juga kalau upgrade utk F-16 Indonesia juga TIDAK BOLEH tanpa persetujuan pemerintah US; artinya kemungkinan kita juga akan dihadapi masalah yg sama dgn Korea. LM --HARUS-- menjadi sahabat baik kita selama kita mengoperasikan F-16.
Efek Samping deal ini ke KF-X
---------------------------------------------------------
Pembatalan kontrak dengan BAe memperlihatkan bahwa Korea Selatan juga terlalu sudah gampang utk "dipermainkan" oleh Lockheed-Martin, dan konco setia-nya, pemerintah US, yg juga sudah mabuk oleh anggur "F-35".
Kejadian ini menggarisbawahi, bahwa T-50 bukanlah pesawat buatan Korea, tetapi buatan Lockheed, yg dibiayai langsung oleh pemerintah Korea sendiri krn terlalu bersemangat mau membuat pesawat tempur sendiri. Kenyataannya, T-50 relatif masih dikontrol LM, dan algojo mereka, pemerintah US.
Kerja-sama untuk membuat T-50 bersama dgn LM telah mengundang si "iblis" naik ke tempat tidur. Dgn memainkan kartu As mereka, klausal upgrade T-50, LM boleh dibilang berhasil memegang kontrol atas hampir seluruh kemampuan udara Korea Selatan (kecuali F-15K mereka yg buatan Boeing).
Skrg Korea Selatan sudah terjerumus ke dalam perangkap yg lebih dalam lagi dengan mengundang LM ke program KF-X. LM sudah berhasil menguasai kontrak pembelian 42 F-35; jadi mereka sudah dibayar dimuka. Mereka TIDAK AKAN mendapat keuntungan apa2 dari KF-X. KALAU sampai KF-X berhasil justru akan membuat runyam pasar F-16 dan F-35 mereka di masa depan. Sebagai perusahaan yg baik yg memikirkan masa depan, tentu saja LM akan berusaha semaksimal mungkin, bahwa buah hasil KF-X tidak akan bisa menandingi produk mereka sendiri.
Entah apakah Korea Selatan sadar atau tidak dengan keadaan mereka sekarang. Tetapi saat ini, LM sudah memegang semua kartu dalam proyek KF-X. Kejadian terakhir ini sudah sangat memperburuk kemungkinan KF-X akan berhasil. Keputusan Korea Selatan untuk mengundang "iblis" ke pesta, memperbesar kemungkinan bahwa investasi Indonesia di proyek KF-X akan terbuang percuma.
Kesimpulan akhir
----------------------
Indonesia jangan terlalu berharap banyak dari proyek KF-X. Saat ini pemeran utama dalam proyek mungkin sudah bukan lagi Korea Selatan, walaupun mereka masih merasa seperti memimpin proyek itu. Pemimpin proyek ini adalah LM, yg melalui lobi2 mereka didlm pemerintahan US mempunyai kemampuan menawar yg sangat besar. LM dan pemerintah US tidak akan mau melihat kalau KF-X akan bisa bersaing dgn produk "buatan Amerika" ---- yg diproduksi oleh LM sendiri.
Lockheed-Martin sudah tumbuh menjadi perusahaan dengan kemampuan politik yg luar biasa, utk bisa memanfaatkan US utk mengatur kondisi market agar sesuai dgn apa yg mereka maui.
Kembali ke Indonesia, inilah saatnya lebih menyusuri kerjasama dengan industri pesawat terbang Eropa dan mulai bersiap2 utk melepaskan diri dari "belenggu" industri pesawat terbang USA dan Lockheed-Martin.
Penambahan semua jenis F-16, baik block 60+ ataupun bekas, hanya akan menjerumuskan industri pesawat terbang nasional dan sistem pertahanan udara Indonesia ke dalam perangkap Amerika Seriat -- dan ini jauh lebih berbahaya dibandingkan embargo militer mereka.
Dukunglah supaya Indonesia menjajaki Transfer-of-Technology yg ditawarkan Eurofighter Gmbh atau Saab; sebagai pilihan utama utk memastikan kemandirian masa depan industri dan sistem pertahanan udara Indonesia.
Tentu saya lebih mendukung ke SAAB, terlebih karena produksi Gripen-E/F di masa depan yg lebih terjamin (pabrik mereka sudah akan sibuk sampai 2026) -- yg juga memungkinkan konstruksi Gripen-E/F dilakukan di Bandung. Lagipula dari segi harga dan biaya perawatan, Gripen-E/F hanya setengah dari harga Typhoon.
Faktor lain yg lebih penting adalah penandatanganan kontrak kerjasama antara Boeing dan SAAB di tahun lalu dalam proyek trainer T-X. Bukan tidak mungkin, 20 tahun mendatang, hasil kerjasama ini akan melahirkan pesawat pengganti utk proyek gagal F-35.
ryuga |
25 Nov 2014 11:17:00
Saya pikir anak anak bangsa negeri ini sekarang ini tidak akan mudah lagi di bodohin. dalam hal kerja sama KFX/IFX ada banyak alternatif yang saya rasa sudah dipikirkan.
Jangan juga terjebak dengan TOT dalam konteks harfiah saja, tapi esensi TOT itu yg perlu diejawantahkan. Industri pertahanan kita sudah on the track, tinggal kearifan para pengambil kebijakan
yang musti di pertanyakan, tp saya yakin pemerintah kemarin sekarang dan yg akan datang .InsyaAlloh komitmen terhadap Industri pertahan kita guna menuju kemandirian.
saya tidak bisa bicara secara technical A B C D karena saya tidak bisa.
kalau mau cepat membuat sendiri pespur ya contoh yg sudah bisa kita lihat adalah skenario pindad.
beli license, produksi sendiri ciptakan varian baru product sendiri,hasilnya anoa, SS2, dsb.
PT PAL juga sejalur dengan membuat changbogo dan PKR, nah tinggal PT DI yg kemarin2 dari dari cn235 skrg mau ke n219, untuk pesawat tempur skenario seperti diatas yang saya rasa akan bisa lebih feasible.
LAPAN juga skenario sama hasilnya satelit A2 walaupun masih supervisi dan part dari luar.
Dan saya yakin kita lebih dari bisa dan mampu
Pilihan pesawat tempur yg ditawarkan banyak sekali dan hitung-itungannya sudah masuk ke Mabes dan Dephan
Harapannya yg terbaik dan sesuai budget dan kapabilitas yang diputuskan.
Gripen-Indonesia |
26 Nov 2014 01:22:32
@Ryuga
Secara garis besar;
Pilihan ToT sebenarnya adalah tahapan selanjutnya yang lebih aman dan lebih logis, yg sebenarnya HARUS dilalui terlebih dahulu oleh Indonesia;
dibandingkan langsung turut serta membuat pesawat tempur KF-X.
Kenyataanya PT DI belum mempunyai pengalaman sama sekali dalam pengembangan pesawat tempur.
ToT dari Eurofighter atau SAAB paling tidak mengajarkan PT DI yang masih dari bayi; "bagaimana cara berjalan"; sedangkan proyek KF-X lebih menjadi: "Ayo kita berlari sekencang2nya!"
Kerjasama KF-X menuntut kemampuan tehnis dalam tehnologi pesawat tempur -- kalau tidak punya (spt skrg), Indonesia hanya akan menjadi penonton yg tidak bisa berbuat banyak, kecuali ikut kontribusi finansial.
ToT akan membuka langkah pertama "belajar berjalan sendiri" dengan Eurofighter atau SAAB mengajarkan seluk-beluk pesawat tempur G4.5 yg modern, yg sama sekali asing utk industri pesawat terbang nasional -- yg lebih terbiasa merakit; dan kemudian mulai mendesain sendiri pesawat angkut ringan.
Indonesia akan dituntun terlebih dahulu untuk bisa mengenal, dan maintain pesawat tempur sendiri, dan mulai terbiasa dgn tehnologi pesawat tempur modern -- dalam hal ini juga Indonesia sudah tertinggal jauh. Jadi setelah bisa satu hal, Indonesia bisa maju ke tahap selanjutnya.Langkah kedua yg logis, adalah perakitan Typhoon atau Gripen-E di Bandung.
## Sekali lagi, dengan pemesanan hampir 116 Gripen-E/F di pabrik SAAB -- membuka peluang besar kalau Gripen-E juga bisa dirakit di Bandung.
Patut diketahui, inilah juga cikal bakal Korean Aerospace. Mereka mendapat ToT (bersyarat) dari Amerika Serikat, yg lalu memulai perakitan hampir 200 F-16 C/D di negara mereka.
Turki juga harus melalui tahapan yg sama -- menerima ToT dan merakit lebih dari 200 F-16 C/D.
## Jadi dengan kata lain, keikutsertaan Indonesia dalam KF-X itu bagaikan "anak yg tiba2 lompat kelas". Padahal dari masalah umur, dan pengetahuan, si anak belum bisa naik ke kelas itu. Inilah permasalahan utama KF-X untuk Indonesia, dan mengapa sebaiknya pemerintah baru harus lebih waspada dalam "kerentanan" Indonesia dalam keikutsertaan di proyek besar semacam ini.
Gatoloco |
16 Jan 2015 14:06:32
Analisa singkong goreng . . . analisa orang yang tidak memahami akan kejayaan militer.
Kejayaan dan supremasi militer tidak dilihat dari banyaknya alat yang dipakai, tetapi lebih dipentingkan tehnologi, akurasi dan efektifitas suatu alutsista.
apa artinya sejuta pistol dibanding dengan satu meriam ?
Tentu analisa anda akan sangat membahagiakan orang2 penggemar barang rongsok yang setiap saat akan menelan ludah berharap ada besi tua yang jatoh dari langit.
Admin |
16 Jan 2015 14:39:18
@Gatoloco,
Terima kasih komentarnya.. tapi saya sangat yakin anda sama sekali tidak pernah membaca analisa saya yang lain tentang Su-35 BM, Gripen E/F, F-16 Block 60 dan Rafale.. kalau anda pernah membacanya, saya yakin anda gak akan koment ngawur seperti ini.
btw, analisa anda seperti apa? bisa di tuliskan dengan detail serta disertai dengan penjelasan lengkap alatar belakang masalah dan solusinya? kalau ada saya tunggu ya.
salam
Melektech |
18 Jan 2015 12:23:43
Wooow........
@Gatoloco
Alangkah lebih baiknya anda kemukakan analisa menurut versi anda dengan jelas, tapi semuanya dalam kontek NEGARA INDONESIA.
Jadi jangan samakan dengan Amerika atau Rusia yang anggaran belanja militernya 100x - 1000x lebih besar dari Indonesia, Beli Sukhoi gado-gado saja nyicil, ngutang lagi, dan baru dipersenjatai setelah 10 tahun lebih.
Dengan uang yang Sangat Minimalis, kita harus bisa membelanjakan dengan sangat sangat sangat sangat sangat sangat Bijak.
Melektech |
18 Jan 2015 12:23:57
Wooow........
@Gatoloco
Alangkah lebih baiknya anda kemukakan analisa menurut versi anda dengan jelas, tapi semuanya dalam kontek NEGARA INDONESIA.
Jadi jangan samakan dengan Amerika atau Rusia yang anggaran belanja militernya 100x - 1000x lebih besar dari Indonesia, Beli Sukhoi gado-gado saja nyicil, ngutang lagi, dan baru dipersenjatai setelah 10 tahun lebih.
Dengan uang yang Sangat Minimalis, kita harus bisa membelanjakan dengan sangat sangat sangat sangat sangat sangat Bijak.