Melektech |
26 Nov 2015 09:45:56
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna dan Juga sebagai Komisaris Utama PT. DI
Kejadian yang sangat MIRIS sekali, seharusnya dia sebagai Komisaris Utama PT. DI, sudah selayaknya MEMPROMOSIKAN PRODUKNYA SENDIRI
bukan malah menjelekkan Produksinya sendiri dan membanggakan Produk perusahaan lain
Baru kali ini ada orang kok menjelekkan produksinya sendiri
apa tidak ditertawakan orang / negara lain ?
Admin |
26 Nov 2015 10:35:45
@Surti,
terus terang, saya kurang paham dengan Helicopter shngga saya blm berani berkomentar dan bahas lbh jauh. Takutnya APA yg saya tulis malah salah karena ketidaktauan saya ..
tetapi saya sih ga terlalu tertarik dgn penggantian Heli Kepresidenan ini. mungkin saja itu masih wacana dan 'sekedar test the water' sblm akhirnya diambil keputusan final.
untuk membahas mana yg paling bagus, itu akan tergantung role dan fungsi khusus yg diinginkan. Dan until itu kits harus tau dulu apa requirement yg dinginkan oleh user heli kepresidenant ini. tanpa tau apa requirement yg diharuskan dimiliki kandidat, akan susah kits menilai mama yg paling bagus untuk kebutuhan itu. Dan terus terang saya sama sekali tidak tau apa requirement user dalam hal ini.
mungkin saja (mungkin ya, bukan pasti) ada requirement yg ada di heli AW-101 ini yg ga ada di EC-725. to tenth saja kits ga akan pernah tau detail sebenarnya.
itu satu dugaan saya..
kalau berbicara mengenai ToT ya paling logis memang beli EC-725 meski itu bukan produk PT DI, setidaknya PT DI terlibat didalamnya.
maka kalau kebutuhan requirement user dihadapkan dengan ToT kadang ga sejalan, meski akan lbh bail jika sejalan. tergantung mana yg lbh do prioritaskan, requiremet atau ToT nya. itu adalah sebuah pilihan yg masing masing punya sisi positif Dan negatifnya.
jadi ya kits tunggu saja, mama tau ini cuma sekedar test the water dan membuat perhatian masyarakat teralihkan dari satu hal ke half lain kan? who knows...
just IMHO
Melektech |
26 Nov 2015 11:36:11
Memang kalau membicarakan Pesawat/Heli VVIP kurang menarik, karena bukan golongan Alutsista dan tidak Urgent
VVIP urusannya pada Kenyamanan, Kemewahan dan Keselamatan, bukan kecanggihan untuk bertempur.
Keistimewaan AW-101 hanya pada 3 buah Mesin dan pemakaian pada ujung baling utama terdapat shovel-shaped BERP (British Experimental Rotor Programme), yang intinya untuk stabilisasi dari guncangan
Kecanggihannya sama, karena merupakan alat tambahan pada AW-101, sehingga bisa di implementasikan pada EC-725
Semisal Flare/Chaff atau missile jammer, radar, Lapisan Kevlar, dst....
Keistimewaan EC-725 :
- Dapat Offset dan ToT
- Lebih Murah US$ 15 juta
- Hemat BBM dan Suku cadang karena EC-725 hanya menggunakan 2 mesin
- Tidak perlu pelatihan Pilot/Co-Pilot/Teknisi, karena TNI-AU sudah memakai EC-725
- Suku cadang dan Service terjamin oleh PT. DI
- Keamanan / ANTI SADAP lebih terjamin, karena perangkat tambahan dikerjakan oleh PT. DI
- Interior lebih nyaman, karena dikerjakan di Indonesia dan disesuaikan dengan karakter orang Indonesia
- dst.......
dan benar kata bung @Admin, karena tidak URGENT, maka bisa diartikan kasus ini sebagai pengalihan issue sesuatu
Zuki |
27 Nov 2015 09:18:51
kelihatannya DPR akan membentuk panja masalah heli ini, kasus ini akan menggelinding bak bola salju krn ada pelanggaran uu indutr perthn
Surti |
27 Nov 2015 13:34:47
Katanya Helikopter VVIP untuk presiden jokowi adalah pesanan India yang batal dibeli karena dipicu hasil investigasi Italia yang menemukan Finmeccanica, perusahaan induk AgustaWestland, membayar petinggi Kementerian Pertahanan dan bekas Kepala Angkatan Udara India untuk memuluskan kontrak.
errik |
27 Nov 2015 13:56:04
Lha jangan2 petinggi angkatan udara kita juga di........(isi sendiri) oleh Finmeccanica sehingga ujug2 akhir tahun ini langsung beli & tahun depan langsung dateng (singkat amat prosesnya??)... XD
Btw, pemerintah Italia & Inggris malah nggak pake heli ini ya buat VVIP ato Kepresidenan/keperdanamentrian/kerajaan?
Yg pake AW101 VVIP malah pemerintah Arab Saudi, Nigeria, Turkmenistan, dan Algeria. Cuma 4. Kok kesannya yg pake heli ini negara2 yang........ eng.... yah... gitu deh... XD
Btw, TNI-AU kita emang pengen banget 'nampak' keren ya. First Class Air Force.
Sekeren Dinas Pasar Kota Semarang yg bikin pasar tradisional bertampilan mol dilengkapi eskalator... tapi masih bocor sana sini, becek, minim fasilitas umum... & lapak pedagangnya kacau.... XD
Moga2 industri2 strategis & litbang2 kita nggak maen2 memegang amanat rakyat! Moga2 produk2 kita bisa First Class!!
Admin |
27 Nov 2015 17:12:56
@Erick and @Melektech and @Surti,
dari penjelasan oleh petinggi AU, disebutkan bahwa TNI AU sebagai user cukup 'kecewa' dengan lambatnya PT DI mengerjakan pesanan TNI AU. Sebut saja pesanan Super Puma tahun 1998 yang lama sekali baru di kirim. lalu ada pembelian 6 unit EC-725 Caracal yang harusnya dikirim Mei 2015, tapi mundur hingga awal tahun 2016. dan ada beberapa kasus keterlambatan lainnya seperti CN-235MPA dan lainnya.
dikabarkan ini salah satu alasan TNI AU enggan dengan Helikopter "produk" PT DI lagi. mungkin saja kebutuhan Heli Kepresidenan ini dibutuhkan dalam waktu dekat untuk menggantikan Heli Super Puma VVIP yang katanya dah tua. dan karena kebutuhan ini, user sangat ragu PT DI bisa memenuhi kebutuhan dalam waktu yang pas. Mungkin loh ya, bukan pasti..
kedua adalah seperti yang saya sebut sebelumnya, mungkin saja sepsifikasi yang dibutuhkan oleh user ada di AW-101 dan tidak di EC-725, yang kita tidak tau detailnya.
ketiga adalah, user melihat peluang ada nih Heli yang sesuai kebutuhan kita dan bisa deliveri cepat (terkait kasus India), kenapa ga diambil? Indonesia sudah sering sekali melakukan pola ini, mulai dari F-16 Hibah, MBT Leopard dari jerman, dll. ada yang hasilnya baik, namun ada juga yang buruk. di sini bisa saja ada main mata antara user dan produsen yang terpilih, hal yang sudah 'biasa' terjadi dalam jual beli alutsista
nah sekarang PT DI Protes kenapa bukan EC-725 "produk" PT DI yang dipilih kan, maka kita kembalikan ke PT DI, jika user minta Heli kepresidenan ini di deliveri tahun 2016-2017 mereka sanggup ga sesuia dengan spek yang dinginkan user?
Yang berkembang di publik belakangan ini adalah pemerintah tidak pilih produk lokal dan lebih pilih import. seolah-olah EC-725 adalah produk lokal Indonesia. kalau kita teliti lagi, EC-725 adalah produk Airbus Military yang artinya buatan luar negeri alias IMPORT juga sama seperti AW-101.
bedanya di EC-725, PT DI terlibat memproduksi sebagian komponennya dan perakitan dan pengecetan. jadi isu yang berkembang di publik itu tidaklah benar seolah-olah pemerintah pilih produk import dari pada lokal, karena faktanya Heli apapun yang dipilih tetap IMPORT karena tidak ada satupun helikopter buatan Indonesia. sayangnya ini yang ga disadari banyak masyarakat dan pihak yang tau dan perkepentingan tidak menjelaskan ini secara gamblang.
just IMHO
Melektech |
27 Nov 2015 17:52:53
@ADMIN
Silmy Karim (Dirut PT.PINDAD) berkata :
" Sebetulnya orang Indonesia mampu (mem-produksi Alutsista Sendiri), Kalau dikasih kesempatan, cuma kadang kadang kita (TNI) tidak mau sabar, kita kepinginnya cepat, SEHINGGA AKHIRNYA BELI (Impor) , padahal itu semua adalah untuk kemandirian "
Alasan yang anda kemukakan diatas terlalu klasik
Semua orang pasti maunya cepat, semua negara pasti begitu, namun negara lain akan sabar menanti demi kemandirian, Contohnya SAAB Gripen NG, F-35, Typhoon, atau Rafale.
Bahkan Brazil pun harus sabar menanti mendambakan Gripen NG mereka yang akan diproduksi secara lisensi
China pun demikian ketika dulu harus sabar menanti LISENSI Su-27SK mereka
ITU SEMUA TERGANTUNG NIAT DAN ETIKAT
-----------------------------------------------
TNI kalau KEPEPET ngak punya uang saja larinya ke Lokal
tapi kalau sudah sudah KAYA, TNI larinya ke barang IMPORT
-----------------------------------------------
Heli VVIP bukan barang Urgent, Super Puma TNI VVIP pun masih sangat bagus, karena jarang dipakai, asal dirawat dengan betul dan tidak ada manipulasi sana dan manipulasi sini
Contohnya Anoa, dulu karena paksaan dari Wapress Jusuf Kalla TNI akhirnya mau mengakuisisi Anoa
Memang EC-725 adalah produk Lisensi, namun 40% adalah lokal, belum lagi sub-contraktor dst...berapa ratus karyawan yang mengerjakan
Silahkan beli AW101, namun PATUHI amanat Undang Undang Th. 2012 tentang Industri Pertahanan
Kalau aparat saja tidak patuh pada Undang Undang, apalagi masyarakat ?
Jadi jangan salahkan PT. DI ; PT. PINDAD ; PT. LEN ; PT. PAL...dst
Melektech |
27 Nov 2015 18:45:59
Tahun 2010, PT. LEN juga pernah mengeluhkan rencana kerjasama pengadaan alat komunikasi untuk pertahanan yang dilakukan oleh Mabes TNI.
padahal PT..LEN dan Pihak Thales menjanjikan untuk membangun pabrik di Indonesia jika kerjasama ini dapat dilakukan.
Direktur PT LEN Wahyudin Bagenda : "Ini sangat penting untuk kemajuan aplikasi teknologi elektronika di Indonesia, baik itu untuk pertahanan ataupun lainnya"
Kita lagi lagi kalah dengan MALAYSIA
MABES TNI lebih memilih HARRIS yang made-in Singapura tapi LISENSI dari Amerika.
ISU penyadapan juga sangat rentan
Juga alasannya TNI butuh Cepat, padahal PT. LEN hanya butuh kurang dari 1 tahun untuk mempersiapkannya, karena PT. LEN sudah punya pabrik Manufacture
Just IMHO
Admin |
27 Nov 2015 19:12:27
@Melektech,
yang mengatakan PT DI itu lambat adalah pihak TNI AU sbg user, bukan saya. knp mereka punya pandangan seperti itu, saya tidak tau, yg tau itu mereka.
sprti yg saya tulis diatas, untuk mengetahui knp user lbh pilih AW-101 dibanding EC-725, kita hrs tau dulu apa pertimbangan user, baik dari segi spesifikasi maupun dari segi deliveri time dan lainnya.
tanpa tau itu, ya kita hanya bisa menduga duga saja. dan blm tentu apa yg kita duga duga itu benar, bisa saja dugaan kita salah. karena saya ga tau apapun dibalik itu semua, saya tdk berani memposisikan diri saya dalam posisi menyalahkan pilihan user.
karena posisi itu jika saya ambil bisa saja terlihat lebay bagi orang yg tau apa yg sebenarnya. mungkin ya bukan pasti..
TNI AU sendiri bukan tidak membeli "produk" PT DI kan? bahkan Heli CSAR EC-725 kabarnya akan ditambah hingga 1 skuadron, yg saat ini masih 6, artinya ada kemungkinan penambahan 6-10 unit lg.
kalau dikatakan TNI ga mendukung industri pertahanan Indonesia, ya ga juga lah. ada banyak alutsista pesanan TNI yg melibatkan PT DI. sebut saja puluhan Bell 412 EP, Fennec, EC-725 CSAR, CN-235 MPA, C-295, C-212, dan banyak lg.
maka untuk memahami semua, ya kita harus hal spesifik knp TNI AU pilih EC-725 untuk CSAR tp tidak untuk heli kepresidenan.
yanh saya lihat adalah lebay-nya banyak media yg menyorotin Heli kepresidenan ini seolah olah pemerintah sama sekali ga mau pake "produk" lokal, padahal faktanya ga seperti itu.
memang lbh baik kalau Heli kepresidenan jg diambil dari "produk" lokal, tetapi jika userbpunya alasan logis untuk milih lain knp tidak.. dan knp kita hrs lebay seolah olah pemerintah sama sekali ga dukung industri dalam negeri?
just imho
Melektech |
27 Nov 2015 20:19:49
Bukan lebay, namun lebih ke arah Kritisi dan koreksi, kalau tidak kita akan kembali ke jaman Orde Baru.
Sering sekali oknum pejabat, MENYELIPKAN order tertentu yang WAH tentunya, hanya untuk kepentingkan pribadi atau golongan
Marsekal Agus Supriatna (Komisaris PT. DI) : “Saya ingin PTDI berkembang dengan baik. Step by step akan saya perbaiki,”, Namun tetap mendukung pembelian AW101
Marsekal Agus Supriatna (Komisaris PT. DI) : "PT. DI Lamban"
Saya tidak habis fikir, kok bisa-nya seorang komisaris, malah menunjukkan Aib perusahaannya pada Dunia ?, mengerikan sekali
SANGAT JAUH berbeda dengan Direktur Utama PT. DI Budi Santoso, yang terus menerus mempromosikan PT. DI.
Alasan TNI butuh cepat, itu adalah alasan Klasik, kenapa demikian ?
Sebab cara cara tersebut sering dipakai pada jaman Orde Baru untuk meraup keuntungan pribadi dan golongan.
Itulah kenapa kita tidak maju maju, bahkan sekarang dapat disamai dan di ungguli oleh negara tetangga yang dulu dibawah kita
errik |
27 Nov 2015 20:51:49
Yg saya heran pengadaan heli VVIP ini seperti sangat mendadak & seolah-olah ada suatu keadaan mendesak (misal heli2 VVIP kita sudah sangat tua & nggak bisa terbang kayak herki2 & tiger2 kita).
Saya nggak tau apa TNI-AU memang pernah memaparkan pengadaan heli ini jauh-jauh hari, misal dengan memperkirakan usia pakai Super Puma & kapan mulai diganti. Beda dengan pengadaan heli SAR yg seperti udah tercantum dalam MEF.
Tp sepertinya pengadaan heli VVIP ini kayak dibuat dadakan & mendesak serta spesifikasinya diarahkan tertentu sehingga hanya ada satu suplier/kelompok yg bisa memenuhi. Makanya bener juga kata anggota DPR Alvin Lie bahwa TNI musti lebih transparan & akuntabel sehingga publik nggak menduga-duga. Kalo kayak sekarang, bukan tidak mungkin kan ada drama 'marsekal minta saham' dibalik layar Bollywood????
Dan tumben juga TNI-AU minta sesuatu yg katanya spesifikasinya terunggul, bahkan mengalahkan spesifikasi yg dibutuhkan negara2 maju lainnya terkait heli VVIP (misal Inggris-Italia, produsennya). Lha radar terbang & tanker udara yg mumpuni bisa ngelayani F-16 aja kita belum punya.
Memang sih kalo soal VVIP2-an aparat kita termasuk cepat tanggap. Saya ingat kasus pengadaan mobil dinas 'mewah' baru yg sempet ditandatangani Jokowi & akhirnya dicoret setelah Jokowi sadar & ramai di publik. Belum lagi kantor2 & rumah pejabat kita yg ngalahin Downing Street 10-nya Inggris yg lebih kayak ruko (di Aceh bahkan ada rumah dinas 'senat' yg mirip Gedung Putih AS).
Memang industri strategis kita perlu lebih giat lagi ningkatin mutu & standar serta nggak maen2 ngelayani pembeli. Tapi memihak heli VVIP supercanggih yg nggak turut dibikin di sini sama aja memukul semangat industri strategis kita yg pengen maju. Soalnya heli tunggangan pemimpin negara adalah bagian dari simbol. Sebagaimana sepasang sepatu made in Cibaduyut yg dipake cawapres JK (waktu 2009) yg berhasil membungkam 'serangan' soal komitmen mendukung produk dalam negeri (waktu itu si penanya malah pake tas made in luar negeri :D ).
makanya saya pikir masuk akal juga kalo media begitu menyorot isu ini & muncul kesan tidak pro produk lokal. Heli kepresidenan itu udah kayak simbol. Minimal podium panggung.
Zuki |
27 Nov 2015 23:12:33
Direktur Utama PT Dir Indonesia Budi Santoso menduga heli AW101 ini adalah 12 unit pesanan india yang dibatalkan karena kasus "suap", nah sekarang "suap" nya sudah pindah.......bla bla bla.
pantes saja kok cepat kirim,
munkn juga ada oknum yang kepingin cepat dapat komisi..hi...hi...
errik |
28 Nov 2015 15:07:17
http://nasional.sindonews.com/read/1065166/14/beli-helikopter-aw101-tni-au-langgar-uu-1448662907 pernyataan TB Hasanudin ----->
".....sesuai dengan renstra pengadaan helikopter saat itu, tahun 2009 DPR menyetujui pengadaan helikopter produk PT DI sebanyak 16 unit (satu squadron) yang terdiri dari hely angkut/SAR dan hely angkut VVIP.
"Dari 16 unit itu diprogram dalam dua tahap, yaitu renstra 2009/2014 dan renstra 2015/2019. Semua direncanakan akan dibeli dari dalam negeri produk PT DI," katanya dalam pesan elektronik, Sabtu (28/11/2015).
..................
Untuk memenuhi 10 unit lagi, maka PT DI telah melakukan investasi dalam rangka persiapan pembuatan ke-10 helikopter tersebut.
"Tapi sangat disesalkan kalau kemudian muncul ide mengubah pembelian helikopter Super Puma produk PT DI menjadi AW101 buatan Itali/Inggris. Disamping merugikan negara, juga melanggar UU No 16/2012 Pasal 43 ayat 1," tegasnya.
.............
"Kebijakan mengganti Super Puma dengan AW 101 sejatinya tidak semudah itu, karena Agusta Itali harus menggandeng industri dalam negeri sesuai Pasal 43 ayat 5," bebernya.
.............
"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya? Dengan membeli dari PT DI, maka 30% dari uang rakyat itu akan kembali ke Negara," ungkapnya.
.................
======================================================
Dari pernyataan anggota komisi 1 DPR itu, saya nangkepnya pembelian heli tipe ini emang dadakan & TNI-AU nggak pikirkan UU No. 12 Tahun 2012. Kedatangannya bahkan ditarget lebih cepet dari SU-35, Apache, Chinnok, Blackhawk, kapal latih, dsb yg udah jauh2 hari isunya seliweran di media.
errik |
28 Nov 2015 15:32:43
Opini pribadi jurnalis KompasTekno. Saya copas ke sini -->
==============================================================
MENYOAL AGUSTAWESTLAND AW101 JADI HELIKOPTER KEPRESIDENAN RI
Tiba-tiba saja, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Agus Supriatna mengatakan bahwa TNI AU akan membeli tiga unit helikopter AgustaWestland tipe AW101 untuk dioperasikan sebagai helikopter angkut VVIP, termasuk Presiden RI.
AgustaWestland AW101 akan menjadi pengganti NAS-332 Super Puma yang dioperasikan sekarang.
Hal itu disampaikan KSAU di sela-sela acara Silaturahmi dan Makan Bersama Media Massa di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (24/11/2015).
Saat berita tersebut saya bagikan melalui media sosial Facebook, muncul banyak komentar yang sebagian besar mempertanyakan, atas dasar apa keputusan tersebut dibuat?
Pertanyaan itu memang beralasan, sebab tidak seperti proyek pengadaan pengganti F-5E Tiger yang juga dinilai sudah berumur oleh TNI AU, penggantian NAS-332 Super Puma milik Skadron 45 (dahulu menjadi satu dengan Skadron 17 VVIP) ini sama sekali tidak ada kabar berita sebelumnya.
KSAU hanya mengatakan pembelian tiga unit AW101 itu sudah tercantum dalam rencana strategis (Renstra) TNI Angkatan Udara periode 2015-2019 dan sudah melewati berbagai pertimbangan, yang sayangnya pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak dibeberkan.
Dahulu, sebelum memutuskan tipe helikopter apa yang akan dipakai untuk mengangkut Presiden, dibentuk tim yang jelas yang terdiri atas orang-orang yang mengurusi banyak aspek pertimbangan, mulai bisnis, pengoperasian, hingga teknis.
Untuk AgustaWestland AW101 ini, belum jelas seperti apa mekanismenya, apakah ada transfer teknologi seperti yang selalu disyaratkan untuk pengadaan alutsista, apakah ada tim yang mempelajari teknologinya lebih dulu dan apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat atau tidak?
Dari pernyataan-pernyataan KSAU di media, pembelian kali ini lebih seperti pilih dahulu, pelajari kemudian.
Berkaca kepada pemerintah AS yang juga telah berencana menggantikan helikopter kepresidenan "Marine One" pada awal tahun 2000-an, mereka menyiapkan tim khusus serta melibatkan industri lokal untuk pengadaanya.
AgustaWestland AW101 saat itu dipilih pemerintah AS sebagai pengganti Marine One sekarang. AW101 dimodifikasi dan dikembangkan bersamaan dengan Lockheed Martin dan Bell Helicopter asal AS, menjadi VH-71 Kestrel.
Namun pada akhirnya rencana tersebut harus berhenti di tengah jalan karena pada 2009 pihak parlemen AS menilai pengembangan AW101 menjadi VH-71 Kestrel butuh baya yang besar.
Belakangan, pemerintah AS menggandeng pabrikan Sikorsky untuk membuat Marine One yang baru bersama dengan Lockheed Martin, berbasis Sikorsky S-92. Marine One baru tersebut rencananya mulai dioperasikan pada 2020 mendatang.
Sebenarnya pengadaan AgustaWestland AW101 untuk Indonesia sama halnya dengan pengadaan-pengadaan alutsista TNI sebelum-sebelumnya. Yang menjadi istimewa kali ini alutsista tersebut juga berperan sebagai alat transportasi Presiden.
Di samping itu, saat ini sudah ada helikopter sejenis AW101 yang ternyata sudah dirakit di dalam negeri, yaitu EC725 Caracal (juga disebut Super Cougar) yang dirakit oleh PT Dirgantara Idonesia (PT DI) di bawah lisensi dari Airbus Helicopter.
Helikopter itu pun sudah dioperasikan oleh TNI AU, hanya peruntukannya yang berbeda, yaitu sebagai Combat SAR. Dengan demikian, kru yang terlatih baik dari pilot, mekanik hingga fasilitas pendukungnya sudah ada.
Tinggal dikonversi saja menjadi helikopter VVIP dengan persyaratan yang ditentukan, seperti kevlar penahan peluru, pengecoh misil, radar jamming, dan sebagainya.
Dengan demikian, pengadaan alutsista tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dimana di Pasal 43 butir (1) disebutkan bahwa pengguna wajib mengunakan Alat Pertahanan dan Keamanan produksi dalam negeri.
Bukankah lebih baik jika TNI AU mengoperasikan helikopter yang sejenis, sehingga bisa menghemat anggaran pelatihan, suku cadang, dan fasilitas pendukung lainnya karena sudah ada.
Terlepas dari polemik tersebut, TNI AU sudah yakin dengan keputusannya untuk memboyong helikopter dengan julukan "Merlin" tadi sebagai heli angkut kepresidenan.
AW101 sebenarnya helikopter yang memiliki performa hampir setara dengan EC725, seperti dalam hal daya jelajah, kecepatan jelajah, dan endurance terbang.
Mereka bahkan sesumbar sebelum hari bhakti TNI AU tahun depan, yang jatuh pada 9 April 2016, helikopter tersebut sudah datang di Indonesia dan bisa dipamerkan ke masyarakat dengan dibawa terbang flypass, ajang dimana TNI biasanya mengatakannya sebagai bentuk pertanggungjawaban TNI kepada rakyat, karena alutsista-alutsista tersebut juga dibeli dengan uang rakyat.
Namun yang perlu diingat, bentuk pertanggungjawaban bukan hanya sekadar memamerkan di depan publik. Publik juga perlu tahu latar belakang mengapa alutsista itu bisa sampai dipilih dan digunakan.
Tugas TNI AU saat ini adalah meyakinkan masyarakat dan pengamat, bahwa pilihan mereka adalah tepat. Bukan sekadar mengatakan di media bahwa pemilihan AW101 sudah melewati kajian saja, namun TNI AU juga harus menjelaskan kajian seperti apa yang dimaksud, siapa saja yang mengaji, dan hasilnya seperti apa? Itulah bentuk pertanggungjawaban yang sebenarnya.
Tulisan ini bukan untuk membuat gaduh berita tentang helikopter kepresidenan, toh keputusannya sudah diambil oleh TNI AU.
Namun TNI AU juga harus membuka telinga dan mau mendengar, di luar sana banyak suara-suara sumbang yang mempertanyakan, alih-alih memaksimalkan potensi yang sudah ada, mengapa TNI AU justru memilih untuk menambah "gado-gado" alutsista yang dioperasikannya?
Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari jurnalis KompasTekno, Reska K. Nistanto. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blog www.aviatren.com.
============================================================
Sabtu pagi (28.11.2015) saya liat bincang2 pagi TVOne dgn TNI-AU & seorang pengamat dirgantara. Momennya sebetulnya bagus untuk jelasin alasan pemilihan heli AW-101. Tapi sebagian besar isinya malah curhat kekecewaan TNI-AU atas kinerja PT.DI.
Saya jd punya kesimpulan pemilihan heli ini lebih atas dasar emosi/perasaan kecewa & pertimbangan jangka pendek daripada kajian matang & pertimbangan jangka panjang yg rasional. Soalnya TNI-AU nggak bisa jelaskan gimana penuhi UU No. 12 Tahun 2012, soal perbaikan kerusakan , biaya operasional, & pelatihan serta kepastian apakah produk ini juga akan sesuai dgn spek yg diharapkan (TNI-AU yakin betul akrab dgn heli ini). Yg dilihat cuma sekedar performa heli aja & selebihnya kekecewaan2 terhadap PT.DI. Bahkan argumennya agak bertentangan dgn argumen pemilihan SU-35 & Viper: penyederhanaan alutsista tanpa ketinggalan teknologi.
Bahasa sederhananya, kayak ABG yg baru putus pacaran. Dalam rentang itu, keputusan2 aneh bakal terjadi namun tampak wajar :D
Zuki |
28 Nov 2015 18:32:55
Saya sangat malu dengan para petinggi TNI-AU. itu sama saja menjatuhkan kredibelilitas PT. DI di mata dunia, mereka pantas disebut PENGKHIANAT BANGSA.
itu bukan Kritikan yang Membangun....................................karena mereka sama sama satu badan milik negara......kecuali mereka itu konsumen swasta maka itu lain lagi
kalau dalam Islam : itu sama saja memakan bangkai saudara sendiri
Surti |
28 Nov 2015 20:48:25
Kalau baca wawancara pak kasau di berita kayaknya benci banget sama PT.DI, ternyata ada saja didunia ini seorang komisaris sebuah perusahaan tapi menjelekkan perusahaannya perusahaannya sendiri.... dan pak luhut juga sangat membela pembelian aw-101 oleh pemerintah indonesia, dan apa sekarang bapak2 tersebut jd salesman aw? Coba seandainya bapak2 yg terhormat tersebut mau bantu mengiklankan ploduk-ploduk PT.DI