22 Mar 2015 14:49:56 | by Admin
| 18632 views | 18 comments
|
4.4/5 Stars dari 5 voter
Sebuah Angkatan Udara yang modern akan memiliki sebuah system yang setiap komponennya terhubung dengan network centric Warfare sehingga setiap komponennya bisa saling membantu dan melengkapi. Salah satu komponen penting dalam network centric Warfare system adalah pesawat tempur peringatan dini atau yang biasa disebut pesawat Airborne Early Warning and Control (AEW&C).
Pesawat AEW&C ini memiliki fungsi untuk mendeteksi pesawat terbang, kapal perang, dan kendaraan jarak jauh serta melakukan pengendalian dan komando dalam pertempuran udara dengan mengarahkan pesawat tempur kawan menuju sasaran.
Pesawat AEW&C yang memiliki radar yang memiliki daya endus yang mumpuni ini mampu memberikan peringatan dini kepada pesawat tempur kawan jika terdeteksi adanya kehadiran pesawat tempur musuh. Informasi peringatan dini ini bisa diberikan pesawat AEW&C kepada pesawat kawan saat musuh masih jauh diluar jangkauan radar pesawat tempur biasa. Dengan adanya informasi peringatan dini ini, pesawat tempur kawan bisa melakukan antisipasi dini sebelum berhadapan dengan pesawat tempur lawan.
Pesawat AEW&C untuk Indonesia
Indonesia sendiri sampai saat ini belum memiliki pesawat peringatan dini (AEW&C) ini. Bahkan pesawat tempur Indonesia yang berasal berbeda flatform teknologi pun menambah runyam untuk menuju network centric warfare system. Ada pesawat tempur yang menggunakan teknologi Rusia seperti Su-27/30 serta pesawat tempur dengan teknologi NATO yaitu F-16 Fighting Falcon.
Namun meski demikian pemerintah Indonesia sudah merencanakan untuk memiliki pesawat peringatan dini alias pesawat AEW&C untuk meningkatkan kemampuan angkatan udara Indonesia. Beberapa waktu lalu kita mendengar pernyataan pejabat tinggi militer Indonesia yang menyebutkan bahwa pesawat AEW&C adalah salah satu prioritas pengadaan alutsista TNI beberapa tahun kedepan.
{IKLAN}
Pengadaan alutsista berupa pesawat AEW&C ini dimaksudkan juga untuk mengejar ketertinggalan dari negara tetangga. Sebut saja Singapura, Australia dan Thailand yang terlebih dahulu sudah memiliki pesawat peringatan dini untuk angkatan udara mereka. Sebagaimana kita ketahui, Singapura sudah lama menggunakan pesawat Northrop Grumman E2 Hawkeye dan sebentar lagi akan menggunakan Gulfstream G500 CAEW dari Israel. Australia juga sudah berpengalaman menggunakan pesawat AEW&C E-7A Wedgetail yang berbasis pesawat Boeing-737. Sedangkan Thailand memakai pesawat SAAB-340 AEW&C dari Swedia yang dibeli bersamaan dengan pesawat tempur Gripen C/D.
Pilihan untuk calon pesawat AEW&C untuk melengkapi alutsista TNI AU cukup banyak dimana sebagian besar pesawat jenis ini diproduksi oleh negara besar seperti Amerika dan Eropa. Beberapa pesawat AEW&C yang cukup popular adalah Boeing E3 Sentry AWACS (berbasis Boeing-707), E-7A Wedgetail (berbasis Boeing-737), Beriev A-50 dari Rusia, KJ 2000 dari China, Northrop Grumman E2 Hawkeye dari Amerika, SAAB 340 AEW&C dari Swedia, Embraer 145 AEW&C dari Brazil, dan Gulfstream G500 CAEW dari Israel.
Beberapa isu menyebutkan Indonesia menginginkan pesawat AEW&C yang berbasis pesawat jet, meski ini belum bisa dipastikan kebenarannya. Dibeberapa pesawat AEW&C yang penulis sebut diatas yang berbasis pesawat jet adalah E-3 Sentry, E-7A Wedgetail, Bariev A-50, Embrear 145, dan Gulfstream G-500 CAEW. Sedangkan pesawat AEW&C yang berbasis pesawat baling-baling (propeller) adalah E2 Hawkeye, SAAB-340 AEW&C, dan C-295 AEW&C.
Pesawat C-295 versi AEW&C untuk Indonesia
Pesawat C-295 versi AEW&C disebut sebut memiliki peluang besar untuk menjadi pesawat AEW&C yang akan memperkuat alutsista TNI dimasa datang. Hal ini disebabkan karena pesawat ini pada dasarnya adalah pengembangan dari pesawat transport C-295 yang merupakan saudara dekat CN-235 yang sudah bisa diproduksi Indonesia. Selain itu, Indonesia juga sudah membeli 9 unit C-295 dan akan dilengkapi sampai 16 unit C-295 nantinya. Maka tidaklah mengherankan jika pesawat C-295 versi AEW&C disebut memiliki peluang untuk masuk kedalam alutsista TNI AU.
Pesawat C-295 AEW&C kandidat pesawat AEW&C TNI AU
Pesawat C-295 versi AEW&C sendiri sampai saat ini belum ada yang operasional karena masih menjalani serangkaian test dan sertifikasi sebelum bisa dijual. Namun factor diatas sudah bisa memberikan gambaran besar kenapa pesawat ini memiliki peluang besar bergabung di Indonesia. Pesawat C-295 versi AEW&C ini adalah pesawat pengembangan pesawat transport C-295, dimana pengembangannya melibatkan Airbus Military dan Elta Sytem dari Israel. Kemungkinan besar kedepannya, pesawat C-295 versi AEW&C ini akan menggunakan radar buatan Elta System, Israel. Israel sendiri sudah dikenal memiliki teknologi yang sangat maju dalam hal teknologi radar untuk pesawat peringatan dini.
Teknology dari Israel beberapa kali digunakan negara lain didalam pesawat tempur dan pesawat peringatan dini mereka. Sebut saja India yang memakai sentuhan teknologi Israel dalam pesawat tempur Su-30 MKI mereka. Namun menjadi pertanyaan apakah teknologi radar buatan Israel ini mampu mengatasi masalah alutsista TNI yang berasal dari teknologi yang berbeda kiblat.
Masalah lain, meski kelihatannya sepele, adalah ‘alergi’ masyarakat Indonesia tentang hal-hal yang berbau Israel. Maka penggunaan radar Elta System buatan Israel dalam pesawat C-295 versi AEW&C pada awalnya kemungkinan akan mendapat tentangan masyarakat Indonesia. Namun fakta bahwa pesawat C-295 adalah saudara dekat dari CN-235 yang sudah di produksi di Indonesia, dan fakta bahwa banyak bagian pesawat C-295 yang diproduksi di Indonesia akan membuat isu ‘sensitif’ ini tidak bermakna lagi. Ditambah lagi kenyataan bahwa Indonesia sudah beberapa kali memiliki hubungan militer (meski tak langsung) dengan Israel.
Radar Erieye sebagai radar AEW&C Indonesia
Terkait pesawat peringatan dini alias pesawat AEW&C ini, beberapa waktu lalu perusahaan militer dari Swedia, SAAB, memberikan tawaran cukup menarik. SAAB menawarkan paket pesawat AEW&C berbasis pesawat SAAB-340 sebagai pesawat AEW&C Indonesia. Tawaran ini diberikan bersamaan dengan tawaran pesawat tempur Gripen E/F sebagai pengganti pesawat tempur F-5 Indonesia yang sudah menua.
Sistem radar Erieye ini bisa disebut salah satu system radar pesawat peringatan dini yang cukup laris saat ini. Maka tawaran pesawat AEW&C dari Sewdia ini cukup menggiurkan bagi Indonesia. Apalagi diiming-imingi transfer of technology yang diusung SAAB, meski apa saja item ToT ini belum ada kejelasan hingga saat ini.
Petinggi SAAB beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa SAAB bersedia memasang system radar Erieye di pesawat C-295 atau CN-235. Pernyataan ini mungkin disebabkan prediksi SAAB bahwa Indonesia akan lebih memilih flatform pesawat C-295 atau CN-235 dibandingkan dengan SAAB-340 buatan Swedia sebagai flatform pesawat AEW&C Indonesia. Namun meski memberikan kesediaan untuk memasang radar Erieye di pesawat C-295/CN-235, mereka juga menyadari bahwa untuk memasang radar Erieye di pesawat C-295/CN-235 memerlukan biaya yang besar untuk modifikasi pesawat, testing serta sertifikasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa biaya modifikasi badan pesawat, testing dan sertifikasi sendiri akan menelan dana yang sangat besar berkisar USD 100 juta. Dan dana itu akan dibebankan kepada pembeli yang memintanya yang menyebabkan harganya akan jauh lebih mahal dibanding membeli pesawat AEW&C yang sudah siap pakai. Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa pemasangan radar Erieye di pesawat C-295/CN-235 tidak akan menarik bagi Indonesia.
Akan lebih baik jika SAAB lebih berkonsentrasi menawarkan pesawat AEW&C berbasis SAAB-340 Erieye atau SAAB-2000 Erieye, dibandingkan memaksakan pasangan radar Erieye di pesawat C-295/CN-235. Namun untuk pesawat AEW&C propeller, SAAB-340 Erieye dan SAAB-2000 Erieye harus bersaing terlebih dahulu dengan pesawat C-295 versi AEW&C yang akan memakai radar Elta System, Israel.
Untuk pesawat berbasis jet, radar Erieye juga bisa dipasang di pesawat Embraer 145 AEW&C buatan Brazil yang sudah dipakai beberapa negara diantaranya Brazil, India, Mexico dan beberapa negara lain. Flatform pesawat ini sudah lama beroperasi sehingga tidak lagi memerlukan sertifikasi dan modifikasi pesawat. Maka jika Indonesia menginginkan pesawat AEW&C berbasis pesawat jet, maka pesawat Embrear 145 AEW&C dengan radar Erieye adalah pilihan yang cukup menggiurkan.
Pesawat AEW&C dan Penggantian Pesawat Tempur F-5 TNI AU
Seperti yang sudah beberapa kali penulis kemukakan bahwa penggantian pesawat AEW&C ini akan selalu terkait dengan pengganti pesawat tempur F-5. Siapa pemenang tender pesawat tempur pengganti F-5 sedikit banyak akan berpengaruh kepada pesawat AEW&C apa yang akan dibeli oleh Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa saat ini prioritas penngadaan alutsista TNI adalah untuk penggantian pesawat tempur F-5 yang sudah menua dan sudah tertinggal secara teknologi. Pengadaan pesawat peringatan dini alias pesawat AEW&C baru akan dilakukan setelah pengadaan pesawat tempur pengganti F-5 mendapatkan keputusannya.
Jadi mari kita tunggu saja perkembangannya sembari terus berharap pemerintah Indonesia akan mendatangkan alutsista TNI yang terbaik untuk kemajuan militer Indonesia. Sekian dari penulis, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Saran, kritik dan komentar silahkan disampaikan di form komentar dibawah ini
Label : Alutsista |
Pesawat Tempur |
Alutsista Indonesia |
Alutsista TNI |
Militer Indonesia |
Pesawat Tempur Indonesia |
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Masalah Integrasi Alutsista Angkatan Udara Indonesia
2.
ToT Missile C-705 vs Konflik Laut Cina Selatan : Indonesian Perfective
3.
Akhirnya 3 Unit F-16 Block 52ID Terbang Menuju Indonesia
4.
Kekuatan Militer Indonesia 2014 Unjuk Gigi di HUT TNI ke-69
5.
Pengaruh Uji Coba Rudal Yakhont TNI AL di Asia Tenggara
6.
Fase EMD Project Pesawat Tempur KFX/IFX Segera Dimulai
7.
Tak Mau Kalah, Swedia Ajukan Tawaran Paket Alutsista ke Indonesia
8.
Militer Indonesia: Modernisasi di Tengah ‘Perang Dingin’ AS vs China
9.
3 Unit F-16 C/D Setara Block 52 Akan Tiba di Indonesia Pada Juli 2014
10.
KRI Klewang 625 Terbakar : Belajar dari Pengalaman
phadyl |
22 Mar 2015 16:08:41
Pendapat sy sih lebih baik pakai pesawat AEW&C berbasis B 737 / mesin jet saja, seperti milik Rep. Turki / Rep.Korea karena lebih cepat scramble dan jangkauan luas dengan jumlah 2 unit sudah cukup untuk sementara.
Dengan pertimbangan ;
Tentunya pesawat pengganti F5 Taiger adalah F 16 Block 60+ plus hadiah F16 Lawas yang akan di Upgrade juga pertimbangan jumlah pesawat jenis ini sebanyak : F 16 Block 25+ (24 buah), F 16 Block 15 OCU (rencana MLU 10 buah), Rencana Akuisisi baru F 16 Block 60+ (sekitar 16 buah) jadi jumlah seluruhnya 55 buah jenis F16 ini,
Kita juga harus meminta paket Rudal JaraK Jauh sekalian jenis AM 120 C7 AMRAAM dan jangan cuma dikasih Sidewinder terus, bisa rontok duluan pesawat kita jika berhadapan musuh.
Saat ini mungkin pilihan ini yang paling realistis mengingat dari segi perawatan mesian dan maitanance serta biaya operasional Lebih murah dari Shukoi walaupun lebih mahal dari Gripen. Dan para tehnisi kita serta para Pilot sudah menguasai Plus dan Minusnya pesawat jenis ini dan tentunya dukungan pihak US yang cukup mendukung untuk saat ini.
Admin |
22 Mar 2015 20:55:38
Pesawat AEW&C dari Amerika memang akan menjadi salah satu kandidat pesawat AEW&C indonesia. Beberapa isu yang saya dengar seperti itu
Hanya saja blm ada kejelasan type AEW&C apa yg ditawarkan amerika atau yg di incar indonesia
Tp pesawat AEW&C E-7A Wedgetail juga berpeluang meski masih terlalu dini menyebutkannya.
Kita tunggu saja
Gripen-Indonesia |
22 Mar 2015 21:53:46
Sebaiknya jangan terlalu berharap banyak kalau Indonesia akan mendapat ijin untuk membeli sistem Wedgetail.
Ingat peraturan pertama transaksi militer dengan US; perlengkapan kita tidak akan diijinkan untuk menyamai Australia atau Singapore.
Sudut pandang disini -- pertanyaannya kembali mendasar: seberapa jauh Indonesia akan mendapat ijin untuk memakai semua sistem modern yg sudah dipasangkan di Wedgetail?
Ingat -- Block-52ID kita belum mendapat Link-16, JHMCS (dan kemampuan menembakkan AIM-9X), dan versi radar yg didapat juga masih APG-68v (versi original) atau v2 (versinya "sengaja" tidak disinggung). Ini sudah akan menjadi kemampuan yang mencukupi untuk Indonesia, dan tentu saja memenuhi syarat diatas.
Sistem Wedgetail adalah midsize AEW&C yang berada diantara E-2 Hawkeye AEW&C ringan versi US Navy (sudah dipakai Jepang, Israel -pensiun-, dan Singapore); dan FULL AWACS versi E-3 Sentry.
Kalau melihat sistem AEW&C US, kemungkinan US hanya akan menawarkan Hawkeye -- versi yang lebih ringan, yang sudah mendapat nama sebagai mata bagi kapal induk US.
IMHO, Erieye adalah pilihan yg terbaik, krn peluang lepas dari kemungkinan campur tangan pemerintah US.
Gripen-Indonesia |
24 Mar 2015 11:00:35
===============================
Tambahan informasi AEW&C buatan US
===============================
#1 Boeing E-7A Wedgetail
===============================
Sedikit latar belakang dahulu -- Boeing E7A Wedgetail AEW&C sebenarnya adalah proyek yang dimulai dari pengajuan RFP dari..... RAAF Australia di tahun 1999. Yah, Australia bahkan harus membayar development cost dan sertifikasi untuk memodifikasi platform Boeing 737-700 untuk dapat membawa radar MESA (Multi-role Electronically Scanned Array).
Nilai proyek ini mnrt website pemerintah Australia melebih AU$2 milyar -- sampai tahun 2005. Australia baru saja menandatangai kontrak $600 juta di tahun 2010 untuk project management and engineering service dengan Boeing untuk 5 tahun ke depan.
Nilai kontrak untuk 4 pesawat Turki -- US$1,6 milyar.
Untuk Korea Selatan (ini ada skandal kompetisi AEW&C-nya sendiri, karena Wedgetail sbnrnya bukan pilihan pertama mereka) -- nilainya juga $1,6 milyar untuk 4 pesawat.
==========================================
http://www.airforce-technology.com/projects/737aewc/
==========================================
Pesawat ini tentu saja saat ini kecil kemungkinannya untuk ditawarkan ke Indonesia (sepertinya sih tidak akan mungkin ditawarkan).
Lagipula, biaya yg begitu mahal yg menyertai penggunaan Wedgetail (yah, sama dengan biaya yg harus keluar untuk pespur pengganti F-5E + biaya support) juga sudah diluar kemampuan beli Indonesia.
==========================
#2 Northrop-Grumman E-2D Hawkeye
==========================
Versi ini baru saja di modernisasi, dan spt sudah ditulis diatas adalah versi pesawat AEW&C untuk kapal induk US. Versi ini sedang gencar ditawarkan ke negara2 client US... Malaysia, India, dan..... (tidak ditawarkan ke Indonesia).
============================================
http://www.ainonline.com/aviation-news/defense/2015-03-17/advanced-hawkeye-deploys-ng-unveils-export-version
============================================
http://www.ainonline.com/aviation-news/defense/2013-04-05/northrop-grumman-adds-malaysia-e-2d-export-sales-campaign
============================================
Versi sebelumnya -- E-2C sudah lama beroperasi dengan RSAF Singapore, dan saat ini akan digantikan dengan Gulfstream G550 yg membawa radar Elta.
===========================================================
http://www.flightglobal.com/news/articles/singapore-declares-g550-aew-fully-operational-370768/
===========================================================
Melektech |
22 Mar 2015 16:16:07
Pesawat AEW&C berbasis SAAB-340 Erieye atau SAAB-2000 Erieye adalah pilihan yang paling logis dan murah.
Mungkin nanti dimasukkan syarat ToT agar SAAB dapat me-LINK-kan ke dua dunia tersebut (Barat - Rusia).
Mereka bisa membuat Erieye, tentunya mereka juga bisa membuat Link nya.
Kalau mereka merasa "segan" dengan anggota NATO lainnya, tapi mereka bisa membimbing kita melakukannya
Namun semua pastinya SAAB juga akan meminta agar Indonesia membeli 1-Paket dengan Gripen
Admin |
22 Mar 2015 21:01:51
@Melektech,
SAAB-340 dan SAAB-2000 Erieye mungkin saja cukup murah, namun masih harus dicompare dgn produk lain. Sebut saja C-295 AEW&C yg sama sama pesawat kitiran.
SAAB Erieye mungkij udah lbh berpengalaman, namun faktor kedekatan C-295 ke Indonesia punya pengaruh yg besar.
Terkait komentar mas, bahwa mungkin SAAB bisa kasih TOT untuk nge-link kan teknologi Barat dan Rusia di Indonesia, saya rasa itu masih terlalu jauh untuk dipastikan. Karena blm ada contoh yg benar benar sudah ready.
Cmiiw
Gripen-Indonesia |
22 Mar 2015 22:16:26
@Admin @Melektech,
Perihal memadukan tehnologi Barat dan Timur -- mrnt sy sebaiknya tidak perlu menaruh banyak harapan.
Masalah utamanya -- hampir semua negara rata2 sudah menentukan mau memakai sistem yg mana -- jadi tentu saja, hampir tidak ada yg mencoba mengusahakan untuk menyatukan sistem Barat dan Timur.
Negara yg memilih memakai sistem blok Timur (Algeria, Vietnam) biasanya tidak mempunyai sistem AEW&C; China membuat sistem AEW&C-nya sendiri, tetapi tanpa service record yg menjanjikan dibanding sistem AEW&C Barat, sebaiknya jangan pergi kesana!
India mungkin memimpin dalam integrasi sistem Barat - Timur.
Dari yg saya dengar, kabarnya AWACS India yg memakai Phalcon radar buatan Elta -- kabarnya juga kurang sukses dalam mencoba memadukan sistem Barat - Timur. Nanti sy akan cari informasi lebih lanjut. Saat ini sy belum mendapat cukup referensi yg jelas, dan koneksi internet sy juga sedang jelek -- jd belom bisa research lebih banyak.
Lagipula perbedaan antara sistem India - Indonesia sangat jelas --
## India akan mengoperasikan ratusan pesawat buatan Perancis, dan ratusan pesawat buatan Russia -- mereka SANGAT memerlukan sistem semacam ini.
## Sistem AEW&C yg dipakai India, adalah custom-made -- spesialis dibuat untuk India saja. Jadi apa yg diaplikasikan disana belum tentu dapat diaplikasikan di Indonesia.
## Utk Mirage (dan Rafale); Perancis mungkin akan mengijinkan customisasi lokal untuk meningkatkan compatibility ke Sukhoi MKI; sedangkan F-16 yg dipakai Indonesia TIDAK BOLEH dimodifikasi tanpa persetujuan pemerintah US (Mustahil!).
## Lihat juga ukuran platform AEW&C yang dipakai India --- Il-76 -- ukuran besar, harga dan biaya operasional akan jauh melebihi kemampuan daya beli Indonesia. Tentu saja, India juga membayar penuh harga integrasi sistem Elta ke Il-76 --- lebih muahal daripada biaya integrasi C-295 ke Erieye radar (kalau straightforward).
Lalu bagaimana dengan tawaran SAAB yg kalau tidak salah menawarkan link-up antara Sukhoi yg sudah dipakai Indonesia, dengan sistem lainnya?
SAAB akan harus mempelajari dahulu apa yg bisa di-customisasi di Sukhoi -- kemudian mengajukan rekomendasi, dan proyeksi biaya yg harus dibayar Indonesia kalau mau melakukan ini.
Masalahnya -- spt diatas, tidak banyak negara yg memakai pespur Barat & Timur bersamaan; akibatnya tentu saja, SAAB juga tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini.
Mnrt sy -- kalaupun bisa, biaya customisasi akan sangat mahal.
Apakah Indonesia mau membayar?
Dan pertanyaannya juga, apakah Russia akan mengijinkan atau mau membantu modifikasi lokal ke Sukhoi mereka?
Yah, biar bagaimana akan membutuhkan kerjasama kedua belah pihak pembuat pesawat (F-16 dan Sukhoi), kalau memang kita masih terus memakai kedua tipe ini secara bersamaan di masa depan.
IMHO
Hehe |
23 Mar 2015 12:34:03
Sebaiknya indonesia beli AEW&C yg sudah jadi seperti A-50 atau 737 . . . Soal 737 krn kita jg dah lama mengoperasikan boeing, mgkn saja blh, tp kendalanya cuma mahal saja kayaknya . . .
Kalau bnr2 mau pasang d C295 y lbh baik ambil Elta,, Erieye selama ini dipakai cuma sama operator Gripen saja kan kalo g salah? Jd menurut saya Erieye bkn plhn yg bagus buat TNI apalagi kalau mengambil Sukhoi atau Typhoon . . .
Gripen-Indonesia |
23 Mar 2015 13:06:18
Embraer R-99A Brazil (Emb-145 dengan Erieye radar) sudah terbang sejak tahun 1999 -- AU Brazil diwaktu hanya mengoperasikan Mirage-2000 (sewaan), F-5E Tiger II, AMX-1 (sebanding BAe Hawk-209), dan Super Tucano -- tidak ada masalah selama ada national aerial network (lihat dibawah).
Yunani juga membeli 5 R-99A dengan Erieye radar -- pesawat tempur mereka Mirage-2000-5 dan F-16 Block-50+.
UAE membeli 2 SAAB-340 Erieye -- pesawat tempur mereka F-16 Block-60, dan Mirage-2000-9.
Pakistan membeli 4 SAAB-2000 Erieye -- pesawat tempur utama mereka F-16 Block-52+.
Tentu saja, integrasi antara komponen Erieye akan jauh lebih baik dengan Gripen -- tapi semua kontrak pembelian diatas sudah menjadi bukti nyata kalau bukan persoalan untuk mengintegrasikan antara Erieye dengan tipe pswt tempur Barat yg lain.
==================
Sekilas ttg AU Brazil
==================
National Network untuk Brazil memang sudah menjadi salah satu yg terbaik di dunia.
R-99A dengan Erieye radar hanyalah menjadi salah satu komponen yg terintegrasi kedalam network ini.
Network Brazil juga menjadi salah satu alasan kenapa pesawat tempur andalan mereka 10 tahun terakhir "hanyalah" F-5E Tiger II.
Ketika Mirage-2000 sudah lanjut usia, sebaliknya dari meng-upgrade / memperpanjang umurnya, Brazil memilih untuk mempensiunkan Mirage-2000, dan malah membeli tambahan F-5E bekas dari Yordania -- yg kemudian di-upgrade ke F-5EM standard (SIVAM network, Helmet-Mounted-Display, dan kemampuan off-boresight WVR missile).
Brazil sengaja mengambil keputusan ini, walaupun Venezuela baru saja membeli 24 Sukhoi Su-30MK2, sedangkan negara tetangganya, Chile dalam bbrp tahun terakhir terus aktif membeli F-16 Block-52+ dan MLU bekas ex-NATO.
Hal ini menggarisbawahi kalau Brazil tidak memusingkan efek gentar pesawat tempur tipe tertentu. Diatas kertas, tentu saja, Mirage-2000, Su-30MK2, atau F-16 Block50/52+ jauh lebih unggul dibanding F-5 Tiger yg desainnya saja tahun 1960-an. Brazil memilih F-5E karena biaya operasional yg murah, dan mereka tahu, kalau F-5E mereka yg terintegrasi ke dalam sistem aerial network yg modern, justru akan dapat menandingi pesawat2 tempur yg lebih modern.
==========================================================================
https://medium.com/war-is-boring/the-best-little-air-force-youre-barely-aware-of-9eea17dedf55
==========================================================================
Salah satu alasan Brazil membeli Gripen:
F-5EM juga sudah semakin lanjut usia, dan akhirnya harus dipensiunkan.
Hehe |
23 Mar 2015 13:42:34
maaf bung Gripen, tp Indonesia juga mengoperasikan Sukhoi,, data2 yg bung Gripen terangkan semua mengoperasikan pesawat NATO, berbeda dgn Elta yg bisa dioperasikan untuk pesawat2 Russia jg . .
Menurut saya lbh baik Indonesia memilih C295 Elta, kalau u jet A50 atau Wedgetail walaupun saya blm tahu apa bisa Nyetel dgn duo Sukhoi dan Nato, yg menurut saya kita msh lama akan menggunakan pesawat gado2 . .
Gripen-Indonesia |
23 Mar 2015 15:10:33
Memilih radar Elta BUKAN BERARTI menjamin compatibility ke Sukhoi.
Lihat komentar sy diatas ttg radar Elta yg dipakai India.
Kabarnya juga pembelian radar Elta membutuhkan ijin export dari US (mungkin bbrp komponennya made-in-US, dan berada dibawah export control pemerintah US??)
Biaya sistem AEW&C versi India, yg memakai radar Phalcon buatan Elta, dikabarkan melebihi $1 milyar (biaya tahun 2004 -- skrg akan lebih mahal).
=======================================
http://www.defencenow.com/news/361/india-plans-to-acquire-two-more-advanced-israeli-phalcon-awacs-soon.html
=======================================
TIdak ada informasi apakah radar Phalcon AEW&C ini dapat berbagi informasi dengan sistem TKS-2 network di Sukhoi Flanker.
Berikut referensi-nya -- membandingkan sistem radar Elta Phalcon (custom-made) untuk India, dengan Erieye radar yg dipakai Pakistan.
========================================
http://www.spyflight.co.uk/indiapakaew.HTM
=======================================
Kesimpulan dari artikel ini sendiri -- keputusan Pakistan untuk memakai radar Erieye lebih baik dibandingkan India. Radar Erieye kemampuannya lebih unggul, dan jauh lebih cost-effective dibanding A-50-based Phalcon yg dipakai India.
================
Info ttg Beriev A-50
================
India sendiri pernah menyewa 2 A-50 Beriev, dan mereka memutuskan untuk tidak membeli pesawat ini.
===================================
http://www.spyflight.co.uk/mainstay.htm
===================================
Keputusan India untuk tidak memakai A-50 Beriev yg asli pure Ruski, walaupun seharusnya lebih compatible ke Sukhoi MKI dan MiG-29 mereka ini cukup menarik.
Bagaimana sebenarnya kualitas A-50 Beriev Ruski, sampai India saja menolak untuk memakai tipe ini?
Bagaimana ampuhnya sebenarnya sistem network made in Russia?
Apakah competitive dengan sistem Link-16 NATO?
(Jawabannya: TIDAK -- tapi ini bisa dibahas dilain waktu).
Beberapa faktor lain pemberat kenapa A-50 Beriev asli Ruski tidak akan mungkin dibeli Indonesia:
## Platformnya sendiri Il-76 -- tidak ada satupun pesawat ini operasional di Asia Tenggara. Bagaimana caranya men-support pesawat yg asing ini? Biaya operasional pasti akan meledak tak terkira, dan lagi2 Indonesia akan tergantung pada Rosoboronexport untuk spare part.
India saja sudah sering mengeluh kalau Il-76 mereka seringkali tidak ada spare part, karena kesulitan untuk dealing dengan Rosoboronexport -- padahal mereka sudah terbiasa dengan pesawat tipe ini, dan jumlah yg operasional di India sendiri cukup banyak.
## Seperti diatas -- kemampuan A-50 Beriev meragukan.
Russia tidak dikenal sebagai negara yg dapat mengoperasikan pesawat AWACS / AEW&C yg efektif dan combat-proven seperti negara2 Barat.
Kenapa Indonesia mau taruhan dengan sistem yg "operationally unproven" dan biaya op-nya akan sangat mahal, kalau ada alternatif yg jauh lebih murah, dan jauh lebih efektif?
Hehe |
23 Mar 2015 19:34:51
Bung Gripen,,
apa Erieye sudah pasti/menjamin "keserasiannya" dengan Sukhoi??
Mungkin kurang suskes, mungkin jg sukses. Kenyataanya India berencana menambah system Phalcon lg kedepannya kalau tdk salah . . .
Kalau ijin Export saya tdk tahu diijinkan atau tidak u kita,,
Memang kendalanya adalah anggaran yg mencapai 1 milliar dollar u 3 unit, tp mengingat ini radar tercanggih untuk AWACS ya wajar saja . . .
Soal lbh baik mana India atau Pakistan dgn projek AWACS nya, sepertinya masih terlalu dini, apalagi sepertinya permasalahan India lbh kompleks dgn Sukhoi dan Miragenya . . .
Soal Il-76 mungkin bisa diganti dgn C295...
Soal lbh murah dan efektif itu yg mana y bung?
Mungkin kalo Erieye, saya lbh suka SAAB membantu Indonesia membuat sistem radar sendiri drpd memasang Erieye k C295, . . Apalagi kita akan kehadiran IFX, akankah lbh baik jika kita bisa membuat sendiri, msh byk waktu menurut saya . .
Salam kenal bung Gripen hehe, kenalan dulu dah
bambang |
23 Mar 2015 20:06:12
23 Maret 2015,,, Sepasang Rafale dan A400M has landed di Halim,,, dalam rangka promo khusus dihadapan petinggi Kemenhan dan TNI,,, pertanda apakah??? menjelang tikungan akhir semakin seru deh kayanya,,,
phadyl |
23 Mar 2015 21:25:05
Pesawat idaman dan sudah batleproven nich Rafael nonggol tiba2 di Lanud Halim PK, pilot2 TNI AU bisa Test Drive nich Pespur, semoga tambah rame persaingan Tender Pespur pengganti F5 kita, mantap.
Admin |
24 Mar 2015 07:12:48
@phadyl dan @Bambang,
Isu kedatangan pesawat tempur Rafale sudah terdengar beberapa hari sblm kedatangannya.
Tujuan kedatangan ke Indonesia adalah promosi pesawat Rafale untuk menjadi pengganti pesawat tempur F-5 Indonesia.
Jika kemarin SAAB diatas angin, maka skrng pertarungan makin seru dan berimbang.
Bulan juni pasca kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika akan menjadi bola panas yag bisa merubah semua prediksi banyak pihak tentang pengganti F-5
Just IMHO n CMIIW
Gripen-Indonesia |
24 Mar 2015 09:52:36
@Admin @All
Kita lihat saja, memang ini semakin menarik.
Mnrt saya pilihan salah satu dari ketiga Eurocannards (Typhoon, Rafale, Gripen) adalah pilihan terbaik untuk Indonesia, dibandingkan semua tipe lain yg sedang dipertimbangkan saat ini.
Kelebihan ketiga pilihan ini:
## Indonesia terjamin tidak akan mendapat versi downgrade.
Yah, kenyataannya saat ini sebenarnya semua pesawat TNI-AU adalah versi downgrade dari model yg dipakai negara asalnya. FYI, US dan Russia mempunyai reputasi yg cukup buruk dalam hal ini.
## Supplier dari Eropa lebih mungkin untuk "play it fair" atau "no strings attached".
Ini adalah aspek yg bagus utk mengurangi ketergantungan ke Russia (spare part cenderung sulit), atau ke US (supply senjata bisa diatur mengikuti kemauan politik, atau dipengaruhi lobi negara lain).
## Tentu saja, yg paling penting -- Singapore dan Australia (dua angkatan udara terkuat di Australasia) tidak akan mungkin memakai ketiga tipe ini.
Kelebihan pertamanya bisa ditebak disini: Ketiga tipe ini akan memperoleh akses ke MBDA Meteor -- missile ramjet Eropa yg tidak ada equivalent-nya baik dari US, Russia, atau China.
## Ketiga tipe ini juga dapat dikonfirmasi membawa ECM (Electronic Countermeasure) yg mungkin lebih baik daripada equivalent-nya di US atau Russia.
Gallium Niitride jammer, & Britecloud decoy di Gripen-NG, Thales SPECTRA EW di Rafale, dan EuroDass (& Britecloud lagi) di Typhoon -- pembahasan lebih mendalam lain kali saja, research material-nya susah :)
Tentu saja ketiga tipe Eurocannards masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Sy sudah pernah mem-post-nya di JKGR.
Kelebihan / kekurangan masing2 tipe yang lebih spesifik untuk Indonesia dapat dibahas di lain waktu.
IMHO
ihsan |
25 Mar 2015 12:58:58
Menurut saya semua produk ada kelemahan dan keunggulannya, tinggal TNI harus bisa mengantisipasinya agar kelemahan tsb bisa diatasi nanti. Saya cuma mau mengingatkan saja agar dalam setiap pembelian alutsista dibarengi dengan TOT yg sdh diamanatkan UU. Semoga dgn pembelian ini, bangsa kita bisa membuatnya sendiri di CN295. Sehingga kita bisa mempunyai produk mutakhir dan produk hasil karya anak bangsa.