30 Jun 2012 13:21:53 | by Admin
| 20928 views | 0 comments
|
0/5 Stars dari 0 voter
Selamat pagi buat para pembaca setia AnalisisMiliter.com, apa kabar semuanya..?? Pasti luar biasa tentunya ya.. Di pagi hari ini saya terpanggil untuk menulis kembali di blog ini. Tulisan kali mudah-mudahan kembali masuk kepada ‘jalur yang benar’ seperti sedia kalanya saya menulis artikel di blog ini. Saya juga berharap tulisan saya kali ini akan memberikan pencerahan dan pemahaman baru atau setidaknya menambah wawasan kita bersama. Dan semoga juga tulisan saya kali ini tidak akan memberikan efek negative bagi pola pikir kita semua, hal ini karena saya melihat ada banyak sekali blog militer yang menuliskan artikel yang menurut saya akan menimbulkan efek negative pada pola pikir para pembacanya. Ini bisa dilihat dari postingan mereka yang cenderung menimbulkan persepsi negative terhadap suatu negara, walaupun memang tidak secara langsung diarahkan kesana. Mungkin saja beberapa tulisan saya di blog ini juga termasuk didalamnya. Namun semakin hari saya semakin berusaha untuk keluar dari itu, sehingga apa yang saya tuliskan dan yang saya bagikan kepada pembaca semua adalah sebuah hal yang positif, setidakny lebih banyak sisi positifnya dibanding negatifnya.
Tulisan saya pagi ini akan mengankat topic mengenai Militer Indonesia dan Faktor Gunboat Diplomacy yang selama ini kita lihat dalam menghadapi berbagai perselisihan dengan negara tetangga maupun negara lain. Berbicara tentang Militer dan Diplomasi sepertinya kita berbicara 2 hal yang sangat berbeda sekali, namun keduanya adalah sangat berkaitan satu dengan lainnya. Saat ini saya pribadi sebagai admin AnalisisMiliter.com merasakan bahwa semakin banyak lapisan masyarakat Indonesia yang semakin sadar akan peranan militer dalam masalah diplomasi Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari dukungan masyarakat Indonesia terhadap modernisasi militer Indonesia saat ini. Setidaknya dukungan itu diwujudkan dalam bentuk tidak banyaknya penolakan dalam belanja militer yang dilakukan pemerintah. Hal ini mungkin juga didasari kesadaran masyarakat Indonesia yang sudah lelah dengan terjadinya perselisihan kecil maupun besar yang dialami Indonesia dengan tetangga dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebagai contoh, perselisihan Ambalat yang membangkitkan nasionalisme Indonesia maupun perundingan DCA dengan Singapura yang sepertinya tidak menghargai harga diri Bangsa Indonesia. Dalam beberapa perselisihan ini dahulu (ketika Indonesia belum memodernisasi militernya), sepertinya pemerintah Indonesia selalu kalah karena tidak didukung oleh militer yang kuat. Saat ini dapat kita lihat banyak sekali proses modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat Indonesia pada umumnya tidak melakukan penolakan yang berarti akannya. Ini menunjukkan bahwa ada dukungan dari rakyat yang menginginkan Indonesia disegani dan dihargai oleh negara-negara lain.
Apa Kaitan Antara Militer dan Diplomasi?
Seperti yang saya sebutkan diawal bahwa Militer dan Diplomasi adalah dua bidang yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Namun kedua bidang ini saling terkait satu dengan lainnya. Diplomasi dapat diartikan sebagai suatu seni dan praktik melakukan negoisasi yang dilakukan oleh seorang diplomat yang memawakili suatu negara dengan diplomat yang mewakili negara lawan. Masing-masing diplomat akan berusaha memperjuangkan kepentingan nasional masing-masing dan memastikan bahwa negaranya tidak akan dirugikan didalam perundingan atau negoisasi. Kita misalkanlah seperti perundingan mengenai kasus Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, maka diplomat-diplomat Indonesia akan berunding dengan diplomat-diplomat Malaysia. Nah disini tentunya masing-masing diplomat akan berusaha agar negaranya mendapatkan hasil perundingan yang menguntungkan negaranya. Perundingan para diplomat ini adalah sebuah langkah awal yang akan dilakukan oleh setiap negara yang memiliki perselisihan dengan negara lainnya.
Lalu bagaimana jika perundingan antar diplomat mengalami kebuntuan? Setelah beberapa kali melalukan perundingan tidak terjadi kesepakatan dan kesepahaman, jalan apa yang harus di tempuh? Aksi Militer antar kedua negara kah?? Oh tentunya tidak, karena Aksi Militer adalah pilihan terakhir dari sekian banyak pilihan. Tentunya proses perundingan akan terus dilakukan, namun selain perundingan antar diplomat, maka militer akan dikerahkan mendekati area perselisihan sehingga meningkatkan posisi tawar diplomat ketika berunding.
Sebagai contoh, melihat perundingan Indonesia dan Malaysia mengenai Ambalat masih jauh dari kata sepakat dan sepaham, pihak militer Indonesia melakukan penguatan militer Indonesia di sekitar wilayah perselisihan tersebut. Malaysia juga melakukan hal yang sama, karena kedua negara sama-sama ingin para diplomat mereka memiliki posisi tawar yang lebih karena di backup oleh hadirnya militer di area perselisihan tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa proses perundingan antar diplomat akan dilakukan secara parallel pengautan militer di area perselisihan.
Penguasaan Efektif Wilayah Perselisihan Menaikkan Posisi Tawar Diplomat
Bebricara mengenai perselisihan antar negara mengenai suatu wilayah kedaulatan, maka mau tidak mau masing-masing negara akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kedaulatan negaranya. Demikian halnya juga dengan Indonesia seperti contoh kasus yang kita bahas sebelumnya yaitu perselisihan Ambalat dengan Malaysia. Karena mengetahui proses perundingan itu akan panjang dan bisa menghabiskan perundingan berpuluh-puluh tahun, maka militer Indonesia berusa melakukan penguasaan efektif terhadap area perselisihan sehingga menaikkan posisi tawar Indonesia atas Ambalat tersebut. Langkah-langkah penguasaan efektif area perselisihan Ambalat ini di tempuh Militer Indonesia dengan membangun sebuah Mercusuar di Karang Unarang, Ambalat seperti yang sudah saya tuliskan di blog ini beberapa bulan yang lalu. Dengan adanya mercusuar milik Indonesia di Karang Unarang, Ambalat sejak tahun 2005 lalu, maka bisa dikatakan bahwa Indonesia sudah melakukan penguasaan efektif terhadap wilayah tersebut.
Malaysia sendiri juga berusaha untuk melakukan penguasaan efektif diperairan Ambalat tersebut untuk menaikkan posisi tawar diplomatnya. Hal ini bisa dilihat dari upaya militer Malaysia untuk menghentikan dan menggagalkan upaya Indonesia membangun mercusuar di perairan Karang Unarang tersebut. Bahkan Militer Malaysia tercatat pernah mengganggu para pekerja pembangunan mercusuar tersebut sebelum akhirnya di usir oleh pihak militer Indonesia. Dari sini dapat kita milihat bahwa masing-masing negara menyadari bahwa penguasaan efektif terhadap suatu area perselisihan akan sangat membantu dan memberikan posisi tawar yang lebih baik bagi diplomatnya dalam melakukan perundingan di kemudian hari. Indonesia benar-benar menyadari ini dengan belajar dari Kasus Sipadan dan Ligitan dimana Indonesia kalah dari Malaysia, dimana salah satu factor kalahnya Indonesia adalah karena Malaysia sudah melakukan penguasaan efektif terhadap pulau Sipadan dan Ligitan. Maka tidak heran jika saat ini, Indonesia begitu memberikan perhatian khusus terhadap Ambalat dan area sekitarnya, baik secara pembangunan ekonomi maupun militer. Ini tidak lain adalah sebagai bagian dari penguasaan efektif untuk mempertgas bahwa Ambalat adalah milik Indonesia.
Maka saat ini bisa dikatakan posisi tawar Indonesia lebih baik dari Malaysia dalam masalah klaim perairan Ambalat ini. Hal ini akan sangat membantu Indonesia dalam melakukan perundingan dengan Malaysia. Sebagaimana kita tahu bahwa perundingan ini akan menghabiskan waktu yang panjang, dan selama Indonesia melakukan penguasaan efektif terhadap wilayah Ambalat, maka seberapa lamapun perundingannya tidak akan merugikan Indonesia dalam banyak hal. Karena toh kalaupun perundingan belum ada kata sepakat, Indonesia tetap berkuasa atas area tersebut. Hal itu jugalah sebabnya Indonesia sangat tidak bersedia membawa perundingan masalah Ambalat ini ke Mahkamah Internasional. Saya pribadi beberapa kali berdiskusi dengan beberapa sahabat dari Malaysia yang menginginkan bahwa perselisihan Ambalat sebaiknya diselesaikan di Mahkamah Internasional. Mungkin juga pemerintah Malaysia menginginkan perselisihan ini diselesaikan di Mahkamah Internasional seperti halnya kasus Sipadan Dan Ligitan dulu.
Sementara pihak Indonesia, setidaknya menurut saya, yang sangat menyakini bahwa Ambalat adalah milik Indonesia dan tidak memiliki sedikitpun keraguan akan hal itu tentunya tidak akan bersedia membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Hal ini karena kalau Indonesia bersedia membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, itu artinya Indonesia sendiri meragukan Ambalat adalah miliknya. Untuk itu juga saya pribadi mendukung langkah pemerintah yang tidak bersedia membawa kasus ini kedalam Mahkamah Internasional. Bukan karena kita takut kalah, tetapi karena kita tidak memiliki sedikitpun keraguan bahwa Ambalat adalah milik Indonesia. Misalkan pun kalau Ambalat dibawa ke Mahkamah Internasional, Indonesia pasti punya bukti yang kuat untuk memenangkannya. Tapi masalah membawa kasus Ambalat ke Mahkamah Internasional adalah masalah apakah Indonesia ragu Ambalat milik Indonesia atau tidak. If we have no doubt about that, we don’t have to do that….
Modernisasi Militer Indonesia sebagai Bagian Gunboat Diplomacy
Saat ini pemerintah Indonesia tengah giat melakukan modernisasi militernya dengan melakukan program Minimum Essencial Force (MEF) yang dilakukan sejak tahun 2009 yang lalu. Program MEF ini mungkin belum berjalan sepenuhnya dan masih terus dilakukan dalam waktu dekat ini. Tercatat banyak pembelian yang sudah dilakukan seperti yang sudah banyak saya posting di AnalisisMiliter.com ini. Diantaranya adalah pembelian 4 Corvet SIGMA dari Belanda, pembelian LPD, dan lainnya. Selain itu banyak kontrak yang sudah di tanda tangani yang hanya menunggu kedatangannya saja. Seperti yang sudah saya tulisa dalam blog AnalisisMiliter.com ini pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul Pembelian Militer Indonesia (No Hoax) dimana sudah saya jabarkan berbagai kontrak pembelian yang merupakan bagaian dari Modernisasi militer Indonesia.
Dari dua artikel yang saya sebagai admin AnalisisMiliter.com telah posting, sangat terlihat bahwa petinggi Militer dan pemerintah Indonesia sudah menyadari betul akan peranan Militer sebagai bagian dari Gunboat Diplomacy yang akan dijalankan Indonesia dalam menjawab berbagai tantangan dimasa yang akan datang. Untuk itu sepatutnya kita juga sebagai warga negara Indonesia untuk mendukung langkah pemerintah dalam memodernisasi militer Indonesia. Tidak lain adalah untuk mendukung diplomasi Indonesia dalam menghadapi perselisihan dengan negara lain.
Gunboat Diplomacy di Masalah Laut Cina Selatan
Dikawasan Asia Tenggara, selain perselisihan Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, ada perselisihan lain lain yang sesungguhnya akan menjadi perselisihan yang lebih besar dibandingkan dengan konflik Ambalat. Karena perselisihan di Laut Cina Selatan ini melibatkan banyak negara di ASEAN, Taiwan dan Cina. Kawasan yang berpotensi perselisihan ini ada di kepulauan Spartly dan Paracel yang mengandung banyak sekali kekayaan alam sehingga semua negara berlomba-lomba untuk memilikinya. Kepulauan Spartly dan Paracel yang memiliki pulau kurang lebih 200 pulau kecil itu menjadi ajang perebutan dari negara-negara tersebut.
Kepulauan Spartly sebenarnya secara geografis jauh lebih dekat dengan wilayah Filipina dan jika kita mengambil logika sederhana, selayaknya wilayah itu adalah milik Filipina. Bahkan Cina dan Taiwan yang turut mengklaim karena alasan sejarah mereka ribuan tahun yang lalu, secara geografis sangat jauh sekali dari kepulauan yang diperebutkan. Jarak antara Daratan Cina (Pulau Hainan) dengan kepulauan Spartly mungkin lebih dari 1000 km. Tapi itu tak menyurutkan mereka melakukan klaim atas kepulauan itu.
Klaim China atas kepulauan Spartly yang sedikit tidak logis ini menimbulkan banyak tanda Tanya bagi semua orang. Saya sendiri sering bertanya-tanya, kenapa China sedemikian berani mengklaim kepulauan yang jaraknya lebih dari 1000 Km dari wilayahnya? Lebih-lebih lagi kenapa China sebegitu garangnya mengklaim walaupun ditentang oleh Vietnam, Filipina, Brunai, Malaysia dan Taiwan? Menurut saya, jawabannya ada pada factor militer mereka. Saat ini China memiliki kekuatan militer yang luar biasa besar hasil modernisasi militer yang mereka lakukan beberapa decade terakhir ini. Kekuatan Militer mereka saat ini sangat besar, yang bahkan negara sebesar Amerika Serikat sekalipun akan berpikir berulang kali untuk melakukan perselisihan terbuka dengan China.
Bisa dikatakan bahwa dari sekian banyak negara yang menentang klaim Cina atas Kepulauan Spartly dan Paracel, tidak ada satupun negara yang bisa mengimbangi kekuatan militer China. Mungkin hanya Vietnam yang secara terang-terangan menantang China dalam perebutan Kepulauan Paracel dan Spartly ini. Hal itu ditandai dengan pembelian 6 Kapal Selam Kelas Kilo dari Rusia dan puluhan Jet Sukhoi-30 MK2V juga dari Rusia. Selain itu mereka juga dilengkapi rudah pertahanan pantai jenis Yakhont yang dipasang di pantai Vietnam. Dan masih banyak modernisasi militer lainnya yang dilakukan Vietnam untuk menunjukkan kepada China bahwa mereka serius dengan kepemilikan mereka di kepulauan Paracel dan Spartly.
Selebihnya, Malaysia tidak terlalu terlihat melakukan upaya menentang terang-terangan klaim China ini. Namun sepertinya mereka melakukan penguasaan efektif di beberapa pulau di kepulauan Spartly disamping membangun militer mereka untuk menghadapi perselisihan ini. Filipina yang selayaknya paling berhak atas kepualaun Spartly saat ini menjadi bulan-bulanan China, karena Filipina memiliki militer yang sangat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan wilayahnya dari klaim China. Bantuan dari Amerika berupa Kapal tempur bekas AS kepada Filipina, merupakan sebuah langkah serius walapun sedikit telat dari Filipina sebagai upaya menghadang klaim China ini. Brunai Darusalam sepertinya adem ayem saja menghadapi klaim ini. Sepertinya Brunai adalah negara yang paling ‘pendiam’ dalam perselisihan ini.
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa Klaim China yang sedikit ‘diluar logika’ karena mereka merasa mereka memiliki kekuatan militer yang akan mengangkat posisi tawar mereka dalam perselisihan ini. Ditambah lagi China tidak bersedia membahas permasalahan Kepualaun Spartly dan Paracel dengan semua negara yang terlibat sekaligus. China hanya bersedia membahas dengan terpisah untuk setiap negara. Klaim China yang didasari sejarah yang ‘kurang masuk akal’ bisa menjadi ‘masuk akal’ karena diplomasi mereka di topang militer yang sangat kuat. Sedangkan Filipina yang sejatinya ‘paling berhak’ menjadi ‘tidak berhak’ karena diplomasi mereka tidak didukung oleh militer yang kuat. Filipina sepertinya baru sadar sekarang setelah China mulai melakukan kalim terang-terangan. Amerika Serikat yang merasa sebagai ‘penguasa de facto’ di ASEAN berusaha membantu negara-negara yang terlibat perselisihan dengan China untuk mengimbangi kekuatan China. Namun ini tidak menyurutkan langkah China dalam melakukan klaim.
Kesimpulan Dan Saran Bagi Militer Indonesia
Dari penjelasan diatas, dapat kita lihat dan simpulkan bahwa kekuatan militer suatu negara akan meningkatkan daya tawar diplomasi negara tersebut dalam menghapai perselisihan dengan negara lain. Klaim suatu negara yang ‘tidak logis’ bisa menjadi ‘logis’ jika didukung oleh kekuatan militer yang besar. Sementara negara yang ‘paling berhak’ bisa menjadi ‘tidak berhak’ jika diplomasinya tidak didukung oleh militer yang kuat. Kekuatan Militer suatu negara akan memberikan efek gentar bagi diplomat lawan dan memberikan efek pemberi semangat bagi diplomat sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa Militer yang kuat memberikan dampak diplomasi yang besar bagi negara tersebut.
Belajar dari Filipina yang sepertinya terlambat menyadari pentingnya Militer sebagai bagian dari Diplomasi, maka sebaiknya Indonesia terus membenahi militernya untuk terus menaikkan posisi tawar Indonesia dalam berbagai perselisihan yang sedang terjadi dan yang mungkin akan terjadi di masa datang. Ini penting agar semua yang menjadi hak Indonesia akan tetap menjadi hak Indonesia, dan tidak menjadi hak Negara lain.
Belajar dari China yang menggunakan kekuatan militer mereka untuk menuntut apa yang menurut mereka hak miliknya, maka Indonesia juga harus terus memperhatikan kekuatan militernya agar bisa memberikan efek gentar bagi lawan dan memberikan efek psikologis positif bagi para diplomat Indonesia dalam berbagai perundingan. Tapi kekuatan Militer ini sebaiknya jangan digunakan untuk melakukan klaim ‘tidak logis’ terhadap wilayah negara lain karena itu bukan tabiat dan sifat bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa tukang klaim. Kekuatan Militer ini sebaiknya digunakan untuk mempertahankan wilayah Indonesia yang di klaim negara lain. Karena setiap jengkal wilayah Indonesia adalah hak Indonesia yang harus dipertahankan.
Sekian dulu tulisan saya kali ini, mudah-mudahan artikel kali ini bermanfaat bagi rekan-rekan semua. Dan semoga tulisan ini juga memberikan pencerahan positif bagi kita semua. Jika ada kata-kata dari tulisan saya ini yang mengkin kurang tepat dan tidak berkenan bagi rekan-rekan semua, saya mohon maaf karena saya tidak memiliki maksud apapun untuk menyinggung perasaan pihak manapun. Saya hanya menuangkan apa yang saya pikirkan dan saya rasakan. Tulisan saya ini pun mungkin jauh dari sempurna dan memiliki banyak sekali kelemahan. Saya mengundang pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan saran agar kita semua mendapatkan pencerahan, tidak hanya pembaca saja, tapi saya sebagai penulis juga mendapat pencerahan dari komentar pembaca. Salam damai dari Admin AnalisisMiliter.com…
Label :
Baca juga artikel terkait lainnya :
1.
Indonesian MBT : 63 Leopard 2 Revolusion + 40 Leopard 2A4 + 50 Marder 1A3?
2.
Nasionalisme dan Batalnya Perjanjian DCA Indonesia – Singapura 2007
3.
China Ubah Pulau Buatan Jadi Pangkalan Militer di Spartly?
4.
All About CN-235 IPTN/PT DI Indonesia
5.
Embargo Militer : Masa Suram Alutsista Militer Indonesia
6.
Menanti Pesawat Tempur Pengawal Langit Timur Indonesia
7.
Perspektif 2020 : 100 F-35 Australia dan Singapura Mengancam Indonesia?
8.
Modernisasi Alutsista Kapal Selam di ASEAN
9.
Quo Vadis Pertahanan Udara dan Maritime Strike Indonesia di Malaka dan Natuna?
10.
Konflik Laut Cina Selatan dan Posisi Strategis Indonesia
Belum ada komentar untuk artikel ini