Admin |
10 Dec 2014 11:44:35
@Harun,
Su-35 BM memang keren, tetapi saya kira yang dibutuhkan Indonesia tidak hanya sebatas alutsista, tetapi sebuah sistem pertahanan militer yang terpadu satu dengan yang lainnya sehingga bisa saling melengkapi dan saling membantu..
salam
Melektech |
10 Dec 2014 17:43:39
Benar sekali,
Kita tidak butuh keren - keren-an, yang kita butuhkan adalah WIN
Pengalaman "Lembah Bekaa", betapa senjata gajah dan maut Syria macam SA-2 Guideline, SA-6 Gainfull, lumpuh total dengan kehebatan taktik dan INTEGRASI serangan Israel.
belum lagi 100 lebih MiG-21 Fishbed, MiG-23 Flogger, dan Su-22 Fitter Syria dibuat RONTOK oleh hanya 40 unit gabungan A-4 Skyhawk dan F-15.
Israel menang Mutlak hampir tanpa perlawanan, itu semua karena INTEGRASI kekuatan.
Su-35 memang keren, namun tidak terintegrasi dengan sistem TNI (NATO), saya yakin 99%, kalau kita perang, yang terjadi adalah FRIENDLY FIRE alias Saling Tembak antar Su-35 kita dengan F-16A/B/C/D dan T-50i kita sendiri, atau Ground Defence macam Skyshield kita sendiri.
http://alutsista.net/read/10/Kiblat_Modernisasi_Militer_Indonesia_2015_2019_ke_Rusia_atau_NATO
https://analisismiliter.com/artikel/part/94/Masalah_Integrasi_Alutsista_Angkatan_Udara_Indonesia
Gripen-Indonesia |
10 Dec 2014 23:09:30
## Saya ingin meralat ulang.
## Kunci utama pertahanan Indonesia yg efektif adalah Sistem pertahanan yang baik.
## Syarat utama sistem pertahanan ini adalah fleksibilitas, mobilitas, dan tentu yg terpenting adalah fully integrated Network antar ketiga angkatan.
Berkaitan dengan artikel ini, pertahanan daerah manapun, termasuk Natuna, tidak akan menjadi masalah, karena setiap personil dan rakyat Indonesia tahu, kita mempunyai sistem yg bagus dan siap tempur.
## Kalau Indonesia sudah berhasil menentukan sistem yg ideal ini, prioritas pembelian Alutsista akan berubah dengan sendirinya. Setiap pembelian akan dilakukan murni hanya untuk mendukung / melengkapi sistem yg sudah ada dan siap.
## Tidak seperti sekarang. Peningkatan kemampuan pertahanan Indonesia seharusnya TIDAK BOLEH dibuat berdasarkan pada daftar senjata yg mau / harus kita beli.
Dari sisi pesawat tempur saja, sebenarnya percuma kalau Indonesia mau beli Su-35S, F-16 Block-62, ataupun Gripen-E/F -- kalau bentuk sistem pertahanan kita masih kurang jelas.
Sistem pertahanan apakah yg Indonesia butuhkan? Kita perlu mencari ideal model yg bagus. Tapi sistem pertahanan negara mana yg bisa dijadikan pedoman?
>> Kebanyakan sistem pertahanan negara2 Eropa kurang bisa dijadikan contoh yg ideal. Luas wilayah mereka kebanyakan terlalu kecil. Dan prioritas yg diberikan ke sistem Angkatan Darat secara natural lebih tinggi, karena kecuali UK, semua negara Eropa mempunyai tapal batas di darat.
>> Sistem Russia atau USA juga tidak memenuhi syarat -- ini karena kedua sistem ini terlalu menekankan jumlah yg besar, jadi cenderung berlebihan dan tidak efesien.
>> US menekankan mobilitas global, dan sistem pertahanan mereka boleh dibilang lebih menekankan ke kemampuan untuk menyerang target dimanapun di bumi. Inilah kenapa mereka mempunyai 11 gugus kapal induk + 7 LHD (kapal induk mini), ratusan air tanker, dan puluhan kapal supplier.
>> Sedangkan, sistem dan industri militer Russia, keduanya belum pernah bisa pulih dari filosofi lama mereka di sistem mass-production "mati satu tumbuh seribu". Sistem ini bekerja sangat baik utk mereka di tahun 1960-1970-an -- lihat produksi MiG-15 dan MiG-21 yg mencapai 10 rb unit. Produksi militer di jaman modern ini sudah tidak bisa lagi mendapat jumlah yg sama. Tetapi sebagai warisan sistem lama mereka -- mesin MiG-29 dan Su-27/30 hanya dirancang untuk ratusan jam terbang saja (sementara mesin2 buatan Barat utk ribuan jam terbang) -- dengan prinsip, kalau sudah tak bisa dipakai, mesin baru harus sudah ready stock.
>> China dan India boleh dibilang mencontoh atau mencoba mengikuti jalur tengah antara US dan Russia -- prioritas tetap ke JUMLAH, baik itu personel, kapal, dan skuadron pesawat tempur.
## Anggaran pertahanan Indonesia yg $8,5 milyar tidaklah terlalu besar, sedangkan wilayah yg harus dijaga terlalu besar. Jadi model apakah yg lebih cocok untuk Indonesia?
Artikel berikut memuat suatu contoh yg mungkin bisa menjadi model yg ideal untuk Indonesia:
https://medium.com/war-is-boring/the-best-little-air-force-youre-barely-aware-of-9eea17dedf55
(bersambung)
Gripen-Indonesia |
11 Dec 2014 00:10:57
Artikel diatas me-review kemampuan pertahanan Angkatan Udara Brazil.
Konteks & Latar Belakang dari Artikel diatas
-------------------------------------------------------
>>Pertama2, memang Anggaran militer Brazil yg $30 milyar boleh dibilang lebih menyamai Australia, dibandingkan Indonesia yg hanya $8,5 milyar. Tetapi ingat juga, budget besar ini juga perlu utk maintenance dan operasional kapal induk Sao Paolo, yg mahal, dan tidak kita butuhkan. Lagipula kita hanya akan melihat salah satu komponen -- yaitu FAB -- AU Brazil.
>>Kalau kita melihat konteks anggaran militer Brazil dari wilayah mereka yg 8 juta km2 hampir 4x lipat dibanding Indonesia (1,9 juta km2) boleh dibilang Anggaran militer mereka lebih kecil dibandingkan Indonesia untuk menjaga setiap satu kilometer per segi wilayah mereka.
>> Nilai belanja anggaran militer Brazil juga hanya 1,4% dari GDP -- lebih tinggi dari Indonesia yg hanya 1% (yg masih bertahap akan naik ke level yg sama), tapi masih lebih rendah dibandingkan Australia (1,6%), Korea Selatan (2,8%), dan Singapore (3,3%).
>> Dari segi wilayah juga, 60% teritorial Brazil adalah Amazon rainforest -- yg sukar dicapai lewat Darat, dan sangat sulit untuk diawasi dalam masalah penebangan liar, penanaman narkoba, dan penyelundupan.
Dalam hal ini konteks-nya cukup mirip dengan masalah2 keamanan Indonesia dewasa ini -- nelayan2 asing yg mencuri hasil laut Indonesia, banyak pertambangan liar di Kalimantan, atau perkebunan Bakau yg liar di Sumatera.
Pelajaran yg bisa diambil dari FAB di artikel ini
----------------------------------------------------------
## FAB mendalami konsep network yg efektif, dengan memakai 5 R-99A AEW&C (Embraer EJ145 dengan Erieye radar), dan 3 R-98 yg diperlengkapi dengan ground mapping radar. Ini masih didukung lagi dengan pemakaian Hermes-450 UAV.
Quote:
"Raytheon added radio datalinks to the R-99s “allow[ing] for near real-time downlink of multispectrum imagery and radar,” according to Raytheon. Anything the R-99s see in the air or on the ground, government officials on the ground can see, too. Likewise, the planes’ crews can see anything detected by ground-based radars."
Konteksnya, para petinggi TNI-AU bisa memonitor hasil yg dilihat pesawat AEW&C bahkan dari Lanud Halim Perdanakusuma. Semua pesawat TNI-AU juga seharusnya bisa melihat apa yg dideteksi dari radar2 Indonesia dari Sabang - Merauke. Dengan sistem yg seperti ini, tentu saja Indonesia tidak pernah harus terlalu khawatir dengan pengamanan Natuna. Karena negara spt China-pun tidak akan dapat menandingi TNI-AU yg fully networked.
## Senjata utama FAB saat ini bukanlah Gripen-E/F -- tipe ini baru saja dibeli dan belum akan datang sampai 2016.
Sebaliknya, Alutsista utama FAB sekarang ini adalah pesawat tempur F-5E Tiger II, AMX A-1M (setaraf dgn Hawk-209 Indonesia) dan A-29 Super Tucano.
Quote #2:
"Rather than spend billions of dollars acquiring a small number of stealth jets—The Netherlands could only afford 37 F-35s to replace more than twice that number of older F-16s—Brazil is doubling down on a less expensive fighter design, backed up by basic attack planes like the Super Tucanos and A-1s."
Perkembangan pesawat tempur F-5E Tiger II ini sendiri cukup menarik -- karena, walaupun FAB sempat menyewa Mirage-2000C bekas dari Perancis yg jauh lebih ampuh, dan dari segi usia jg lebih muda, mereka malah memilih untuk mempensiunkan Mirage-2000C daripada meng-upgrade pada saat masa pakainya habis. Sebaliknya, mereka justru menambah beberapa F-5E ex-Jordania -- dan meng-upgrade-nya ke FAB standard -- fully networked.
Quote #3:
The F-5s are the backbone of the FAB and also its most interesting equipment. Old by any standard, the twin-engine F-5s are small, nimble and inexpensive, but lack the sheer power, speed and radar-evading stealth of far pricier U.S. Air Force F-22s and other modern fighters.
Quote #4:
"Few air forces have ever taken this move of moving backward in time, giving up newly-made fighters (Mirage) for old ones (F-5E). But the FAB seems to reason that a small fleet of the latest jets—flying and fighting all alone—is actually INFERIOR to a bigger force of old, reliable fighters plugged into a cutting-edge information network."
Melihat keunggulan FAB Brazil dalam hal networking, perlengkapan radar yg terintegrasi, dan F-5E mereka yg sudah mendapat training, upgrade dan persenjataan yg bagus -- boleh dibilang AU Brazil adalah yg paling kuat di seluruh Amerika Selatan.
Sebagai pembanding, di dalam konflik, FAB akan dapat mengalahkan AU dari negara2 tetangga-nya yg memiliki pesawat lebih Wah!. Misalnya, AU Venezuela yg mempunyai 24 Su-30MK2 dan 20 F-16 Block-15OCU; atau Chillean Air Force yg mempunyai 46 F-16 MLU/Block-50.
Konteks pengalaman Brazil sebenarnya juga menjawab pertanyaan banyak orang;
"Apakah Indonesia sebenarnya membutuhkan Heavy Fighter?"
Jawabannya: Tidak perlu, kalau Indonesia memang tidak bisa memakainya 100% efektif.
Lagipula biaya operasional Heavy Fighter akan mengurangi jumlah pesawat tempur yg bisa dioperasikan Indonesia. Pembelian Heavy Fighter justru akan menyulitkan mencapai cita2 penambahan Skuadron pesawat tempur baru.
Sebaliknya, pesawat tempur ringan yg menjadi bagian dari suatu sistem yg bagus, akan dapat dengan mudah mengalahkan pesawat2 tempur "wah!" negara tetangga (Su-30MKM, F-15SG, F-35, atau mungkin bahkan J-15 dari Liaoning).
Kalau melihat FAB dari segi kemampuan dan kelebihan yg sudah dituliskan disini, kemudian meninjau kembali proses kompetisi F-X2 di Brazil -- arahnya sudah cukup jelas bahwa dari awal, FAB pasti akan memilih untuk membeli Gripen-E/F dibanding Super Hornet atau Dassault Rafale (dua finalist terakhir).
Quote penutup adalah pujian USAF di tahun 2004:
"“The Brazilian design of the system is world-class,” the U.S. Air Force stated in 2004, “and the way it has grown and adapted fits the needs of the country and the world.”
Kebutuhan Indonesia -- inilah prioritas utama. Bukan koleksi Alutsista gado2 yg sulit untuk diintegrasikan.
Bedul |
20 Dec 2014 01:02:48
@ pak melec, Dalam pertempuran Lembah Bekaa 9-11 juni 82, itu upaya israel merebut superioritas udara di Lebanon. Dimulai dengan 26 Phantom menghajar 19 radar Syiria dengan ARM yang dipancing aktiv dengan UAV. Lalu diikuti gelombang kedua yang terdiri dari 92 pesawat dari Skyhawk, Phantom, Kfir, F16 dan F15. Dan Syiria menghadang, mengerahkan 54 pesawat Fishbed dan Flogger sebagai pelapis kedua (tanpa Fitter). Karena hancurnya jaringan radar Syiria di Bekaa, maka GCI nya langsung dari Syria dibawah jamming berat israel dan kontur pegunungan alias mereka terbang buta. Akibatnya, Fishbed dan Flogger Syria disapu oleh sergapan israel. Tapi kalau dikatakan israel tidak ada korban pesawat, itu salah. Setidaknya 1 Phantom dijatuhkan rudal udud R3/K13 dari Flogger. Malah menurut klaim Syria mereka menjatuhkan 3 pesawat israel. Memang ini bodoh atau malasnya Syria. SAM mobil macam SA6 malah dibuat statis gak dipindah pindah. Giliran dipancing pake UAV, sontak aktifkan semua radar dan ketahuan dimana posisinya. Dan doktrin AU Syria njiplak doktrin VVS Soviet, terpaku dengan tuntunan dari GCI, begitu kena jamming seperti ayam kocar kacir dilabrak musang. Dan rata rata pilot yang hidup panjang yang mau improvisasi.